TintaSiyasi.id -- Setiap tahun, umat Islam selalu memperingati Tahun Baru Hijriah dengan penuh semarak. Pawai obor, zikir akbar, dan tausiyah menjadi tradisi yang akrab di berbagai daerah. Namun, di balik euforia tahunan ini, tersimpan pertanyaan refleksi yang tak jarang luput ditanyakan yaitu sejauh mana kita telah mengaktualisasikan makna hijrah dalam kehidupan modern saat ini?
Secara historis, hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan fisik. Itu adalah lompatan strategis menuju pembentukan masyarakat baru dengan asas Islam. Di Madinah, Rasulullah ﷺ tidak sekadar bertahan hidup, tetapi mendirikan institusi negara, menegakkan hukum syariah, dan memimpin masyarakat dengan sistem Islam secara kaffah.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ
"Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya dia akan mendapatkan di muka bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak." (QS. An-Nisa: 100)
Namun kini, makna hijrah seolah tereduksi menjadi perubahan gaya hidup personal semata. Dari tak berjilbab menjadi berjilbab. Dari lalai beribadah menjadi rajin shalat. Dari artis glamour menjadi penceramah. Padahal, problem utama umat Islam bukan pada urusan individu semata, tetapi pada sistem yang mendominasi kehidupan mereka.
Kita hidup dalam sistem sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan. Politik tak berpijak pada wahyu Allah. Ekonomi dikuasai korporasi dan oligarki. Hukum ditegakkan berdasarkan kepentingan elite, bukan atas dasar keadilan ilahiyah. Maka wajar jika problem sosial, perceraian, korupsi, dan kemiskinan merajalela.
Idealnya, hijrah sejati adalah berpindah dari sistem kufur menuju sistem Islam. Maknanya bukan sekadar niat atau langkah individual, melainkan transformasi ideologis dan sistemik. Perubahan sejati hanya mungkin terjadi jika sistem yang rusak diganti dengan sistem Islam yang kaffah dalam institusi Khilafah.
Allah SWT menegaskan:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (QS. An-Nisa: 65)
Maka, solusi bagi umat hari ini bukan sekadar menggalakkan hijrah gaya hidup. Kita perlu membumikan semangat hijrah Rasulullah ﷺ dengan mendakwahkan perubahan sistemik. Yakni, dengan kembali menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas kehidupan dalam seluruh aspek: politik, ekonomi, pendidikan, dan peradilan.
Inilah makna hijrah yang sejati: berpindah dari kegelapan sistem buatan manusia menuju cahaya aturan Sang Pencipta. Dari dominasi kapitalisme menuju keadilan Islam. Dari kebingungan ideologi ke kepastian nubuwwah.
Momentum Tahun Baru Hijriah seharusnya menjadi titik balik kesadaran kolektif umat Islam. Hijrah tidak boleh lagi hanya menjadi agenda tahunan yang sarat seremoni. Ia harus menjadi panggilan sejarah untuk kembali kepada sistem Islam yang paripurna dan membawa rahmat bagi seluruh alam. []
Oleh: La Ode Mahmud
Aktivis Muslim