×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Palestina, Genosida yang Terus Berlangsung dan Diamnya Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 | 10:02 WIB Last Updated 2025-06-24T03:02:18Z

TintaSiyasi.id -- Hari Raya Iduladha yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan dan kedamaian bagi umat Muslim, kembali berubah menjadi duka mendalam bagi rakyat Palestina. Pada Sabtu dini hari, 7 Juni 2025—bertepatan dengan hari kedua Idul Adha—sedikitnya 17 warga Palestina dilaporkan gugur akibat serangan brutal yang dilancarkan oleh militer Israel di Jalur Gaza bagian selatan, terutama di wilayah Khan Younis dan Rafah.

Serangan tersebut menyasar pemukiman dan tenda-tenda pengungsi yang telah lama menjadi tempat berlindung warga sipil. Di wilayah barat Khan Younis, 12 orang dilaporkan tewas, termasuk empat anggota dari satu keluarga yang hancur di tengah kengerian malam takbir. Lebih dari 40 warga lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan dan tembakan yang menghantam kawasan padat pengungsi.

Serangan pada hari suci ini bukan hanya bentuk kekejaman militer, tetapi juga penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi. Dunia internasional pun kembali dipertanyakan, karena respons yang ditunjukkan tak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan rakyat Gaza. (beritasatu.com, Sabtu, 7 Juni 2025)

Tragedi ini menambah daftar panjang kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung tanpa jeda di Gaza. Ketika dunia merayakan hari raya dengan sukacita, rakyat Palestina justru menyambutnya dengan air mata, kehilangan, dan derita yang tak kunjung usai.

Hingga hari ini, bumi Palestina masih bersimbah darah. Genosida demi genosida terus dilakukan oleh penjajah Zionis Yahudi tanpa henti. Bukan hanya pria dewasa atau para pejuang yang menjadi sasaran, tetapi juga bayi-bayi mungil yang baru terlahir ke dunia, yang tak punya dosa apa pun, ikut menjadi korban. Bagi Zionis, kejahatan bayi-bayi itu hanyalah karena mereka terlahir sebagai Muslim, dari rahim para ibu Palestina.

Pemblokiran bantuan kemanusiaan, penghancuran lahan pertanian, dan penghilangan akses terhadap kebutuhan dasar menjadi cara keji untuk membunuh perlahan-lahan satu generasi. Bahkan saat hari raya, momen sakral yang seharusnya penuh damai, justru dibalas dengan dentuman rudal dan jeritan duka.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah sikap dunia internasional yang nyaris tak bersuara. Negara-negara besar yang mengklaim diri sebagai penjaga HAM justru menutup mata. Mereka memilih diam, pura-pura tuli, atau sekadar bermain dalam retorika diplomasi yang hampa makna. Yang lebih miris adalah diamnya para penguasa negeri-negeri Muslim. Mereka hanya pandai berpidato, menyampaikan kecaman tanpa aksi, sementara rakyat mereka menyaksikan kehancuran Palestina hari demi hari.

Padahal, nurani adalah fitrah manusia. Ketika seorang bayi tak berdosa dibunuh, ketika seorang ibu meratapi jenazah anaknya, harusnya ada gelora kemanusiaan yang menggerakkan dunia untuk bertindak. Namun, ketika kepentingan materi lebih dikedepankan, ketika kekuasaan dijalankan atas dasar kapitalisme dan nasionalisme sempit, maka suara hati itu pun ikut terkubur.

Kapitalisme telah merampas kemanusiaan. Ideologi ini menempatkan materi sebagai pusat segalanya, dan mematikan rasa solidaritas terhadap sesama manusia. Nasionalisme yang diwariskan oleh penjajah Barat juga telah memisah-misahkan umat, sehingga rasa persaudaraan dalam iman tercerai-berai. Inilah sebabnya mengapa seruan jihad yang menggema dari lisan umat tak pernah direspons oleh penguasa, karena mereka berpikir bukan bagian dari proyek pembebasan, melainkan bagian dari sistem global yang justru merawat eksistensi penjajah.

Sesungguhnya, jihad sebagai bentuk pembelaan terhadap umat tertindas hanya mungkin ditegakkan oleh negara. Bukan negara bangsa sekuler seperti hari ini, tetapi negara yang lahir dari akidah Islam. Hanya sistem Islam yang diterapkan di negara yang memiliki keberanian, keabsahan, dan kekuatan syar’i untuk mengirimkan pasukan demi membebaskan bumi Palestina dan menjaga darah kaum Muslim.

Maka, sudah saatnya umat Islam tidak lagi berharap pada sistem yang melahirkan ketidakadilan. Sudah waktunya menanggalkan ilusi nasionalisme dan kapitalisme, dan kembali menggenggam satu kepemimpinan Islam yang akan membawa kemuliaan dan keadilan sejati. Tegaknya sistem aturan Islam dalam Negara membutuhkan perjuangan jamaah dakwah ideologis yang tidak lelah menyerukan perubahan hakiki. Jemaah ini akan terus membangun kesadaran umat dan menunjukkan jalan kemenangan melalui nashrullah.

Kini saatnya umat menjawab seruan itu. Bersatu, berjuang, dan menjemput janji Allah. Karena pembebasan Palestina tidak akan datang dari diplomasi kosong, melainkan dari kekuatan umat yang dipimpin oleh akidah dan syariat. Palestina butuh khilafah. Dunia butuh kepemimpinan Islam.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Adliyatul Hikmah Gustian
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update