Tintasiyasi.id.com -- Aksi besar-besaran telah dilakukan masyarakat dunia sebagai bentuk desakan agar Palestina segera terbebas dari pendudukan Israel. Sebagaimana yang diberitakan Liputan6.com (15/6/2025) aksi Global March To Gaza (GMTA) merupakan aksi solidaritas internasional, menunjukkan aksi protes, longmarch serta bantuan kemanusiaan untuk Palestina.
Aksi ini diikuti sekitar 10.000 masyarakat sipil (aktivis dan sebagainya) yang berasal dari 50 negara terdiri dari berbagai latar agama dan ras yang berbeda. Aksi ini berisi seruan untuk mengakhiri blokade dan genosida di Gaza.
Mirisnya, mereka yang berbondong-bondong ke Gaza, menunjukkan naluri global demi kemanusiaan, namun yang terjadi justru tertahan di perbatasan, gerbang Rafah di Mesir, jalur satu-satunya untuk masuk ke Gaza. Pemerintah Mesir tidak memberi izin dengan dalih keamanan, padahal sesungguhnya sedang mempertontonkan sebuah penghianatan.
Inilah yang terjadi saat dunia Islam berada dalam cengkraman penjajah. Saat aturan penjajah diberlakukan di negeri-negeri kaum Muslim. Tata kelola dunia yang berasaskan sekulerisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, kemudian melahirkan ikatan nasionalisme atau konsep Nation State yang notabene racun yang dibalut indah sedemikian rupa.
Hal itulah yang akhirnya membuat para pemimpin dunia Islam seolah buta dan tuli terhadap pembantaian Gaza. Padahal konsep negara bangsa atau Nation State itu sesungguhnya adalah warisan penjajah Inggris dan Prancis pasca perang dunia II yang membuat negara Islam, Khilafah Utsmaniyah runtuh tahun 1924.
Sebagaimana yang dijelaskan Syeikh Taqiyuddin An-Nahbhani dalam bukunya yang berjudul Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam), bahwa Nasionalisme merupakan ikatan yang paling lemah, rusak dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang yang sifatnya emosional, temporal dan karenanya nasionalisme tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.
Begitulah yang telihat hari ini, konsep nasionalisme maupun Nation State membuat para penguasa dan militer tidak mampu menolong saudara sesama Muslim di Palestina. Nurani mereka seolah tidak berfungsi lagi melihat puluhan ribu pembantain yang mayoritas korbannya bayi, anak-anak dan perempuan.
Alih-alih menolong, para penguasa negeri Muslim justru senantiasa melayani, tunduk dan melakukan hubungan kerja sama serta menjaga kepentingan penjajah Israel dan sekutunya Amerika Serikat (AS).
Padahal, nasihat Rasulullah telah jelas, Rasul menggambarkan hubungan sesama kaum Muslim itu ibarat satu tubuh, jika salah satu bagian tubuh sakit maka seluruh tubuh akan mengalami kesakitan. Namun, realitas saat ini justru jauh panggang dari api.
Karenanya, umat Muslim mesti menyadari bahwa konsep Nasionalisme yang dicekoki selama ini adalah bagian dari alat penjajahan. Artinya, para penjajah menggunakan itu untuk melanggengkan penjajahannya, memecah belah umat, menanamkan egosentris agar tidak ada kepedulian dengan saudara sesama Muslim di luar wilayah teritorial negaranya.
Dengan demikian, umat Islam sudah saatnya menyusun agenda sendiri terkait solusi untuk Palestina. Karena, solusi Palestina bukan sekadar soal kemanusiaan namun bersifat politik. Untuk itu, umat Islam mesti mewujudkan persatuan dan melakukan tranformasi kepemimpinan secara global ke arah Islam.
Langkah awal yang bisa dilakukan yakni mulai belajar dan bergabung dengan gerakan politik ideologis yang senantiasa membumikan pemikiran Islam, mendorong persatuan tanpa sekat negara bangsa dan telah terbukti secara konsisten memperjuangkan tegaknya syariat Islam di berbagai penjuru negeri.[]
Oleh: Tenira Sawitri, S.Sos.
Analis Mutiara Umat Institute)