TintaSiyasi.id -- Koalisi global yang terdiri atas serikat pekerja, gerakan solidaritas, dan lembaga hak asai manusia lebih dari 80 negara mengumumkan peluncuran inisiatif “Global March To Gaza” (pawai global ke Gaza).
Aksi ini (konvoi steadfastness) bertujuan untuk menembus blokade dan masuk ke wilayah Gaza dengan berjalan kaki sebagai bentuk respon langsung terhadap krisis kemanusiaan yang semakin memburuk sejak pengepungan zionis di mulai pada Oktober 2023.
Peserta aksi berencana untuk melintasi Tunisia, Libya, dan Mesir. Sebelum mencapai Rafah perbatasan dengan Mesir yang sebagian besar tetap ditutup sejak militer Zionis menguasai sisi Gaza pada bulan Mei 2024.
Menurut Saif Abu Koshk, ketua aliansi internasional melawan pendudukan Israel, sekitar 4.000 orang dari berbagai belahan dunia akan berpartisipasi dalam pawai tersebut (Gazamedia.net, 13/06/2025).
Gejolak amarah masyarakat terhadap kondisi Gaza tidak bisa lagi dibendung, mereka sudah mencoba berbagai upaya untuk menolong masyarakat Gaza seperti melakukan global march ke gaza. Tetapi, malah menghalangi perjuangan membebaskan palestina secara hakiki.
Karena itu, masyarakat seharusnya juga menyadari bahwa untuk menolong masyarakat Gaza dibutuhkan perubahan besar tidak cukup pada amalan praktis saja seperti mengirim bantuan, boikot produk, dan aksi besar-besaran. Hal ini memang bisa memberikan tekanan karena mampu mewujudkan dan memperlihatkan kekuatan umat Islam yang sesungguhnya tetapi cara ini hanya bertahan sementara atau parsial.
Namun, bagaimana caranya agar kekuatan ini bisa benar-benar memberi tekanan? Maka yang dilakukan yaitu harusnya diiringi dengan sebuah pemahaman ideologis. Karena pada pemahaman ideologis ini akan mengarahkan perjuangan umat kepada perjuangan yang hakiki sehingga palestina benar-benar merdeka. Di mana seluruh tanah Palestina harus kembali kepangkuan kaum Muslim dan tidak ada sejengkal tanah pun yang diduduki oleh Zionis Yahudi.
Justru cara ini tidak pernah digunakan oleh para penguasa, contohnya Mesir bahkan menghalang-halangi upaya umat Islam untuk membebaskan tanah Palestina. Malahan penguasa Muslim mengarahkan solusi mereka untuk menjadi solusi dua negara (two state solution) padahal ini adalah solusi yang mencederai hati dan perasaan seluruh kaum Muslim di dunia terutama Palestina.
Lahirnya solusi ini karena pemahaman nasionalisme yang telah mematikan hati nurani rasa kemanusiaan para penguasa Muslim saat ini. Padahal penguasa Muslim menyaksikan genosida yang terjadi di Gaza bersimbah darah dan meregang nyawa. Paham ini menekankan pada persatuan dan kemandirian negara dalam menghadapi tantangan global. Serta memanfaatkan sistem kapitalis untuk mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan, sehingga tidak ada rasa kasihan dan empati sebagai sesama Muslim. Padahal rasa kemanusiaan itu merupakan fitrah (sifat dasar) yang Allah Ta’ala berikan pada tiap manusia sebagai manifestasi gharizah nau’, yaitu naluri berkasih sayang. Karena sekat-sekat negara bangsa yang membuat para penguasa negeri-negeri Muslim menganggap genosida di Gaza bukan tanggung jawab mereka.
Sebenarnya ini merupakan sesuatu yang mudah jika negara-negara disekitarnya seperti Mesir, Turki, dan Yordania mengirimkan bala tentaranya untuk menyelamatkan Gaza tetapi ini tidak dilakukan, karena Palestina berbeda negara (nasionalisme).
Konsep nasionalisme dan negara bangsa inilah yang disuntikkan ke tubuh umat Islam (penguasa-penguasa Islam) untuk meracuni pemikiran dan pemahaman mereka agar umat Islam tidak bersatu dan tercerai-berai.
Sayangnya, banyak penguasa-penguasa Muslim yang justru menjalankan nasionalisme ini dengan penuh kebanggaan. Padahal dengan konsep nasionalisme inilah yang telah membunuh jutaan kaum Muslim. Serta mengambil alih sumber daya milik kaum Muslim dan membelenggu tangan dan kaki tentara negeri-negeri Muslim agar tidak berjihad. Semangat jihad tentara-tentara di negeri-negeri Muslim dipadamkan dengan konsep nasionalisme dan sekat negara bangsa.
Di sini jelas, penguasa hari ini tidak benar-benar berdiri di sisi Gaza. Mereka telah berkhianat kepada masyarakat, khususnya umat Islam di Gaza. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa umat telah membutuhkan pemimpin yang menjadi junnah (perisai). Pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari sistem Islam, yakni khilafah.
Hanya dari khilafah, lahir sosok panglima Salahuddin Al-Ayyubi ataupun Sultan Abdul Hamid II yang menjaga Palestina dengan darah dan jiwa raga mereka. Khilafah tidak akan terwujud kecuali dengan persatuan umat. Hal ini menuntut ada sebuah perjuangan dari diri kaum Muslim untuk mewujudkan hal tersebut.
Rasulullah telah mencontohkan perjuangan tersebut dengan cara dakwah fikriyyah (dakwah pemikiran) bersama kelompok ideologisnya, Rasulullah mendapatkan kekuasaan yang menolong di Madinah untuk mewujudkan kepemimpinan junnah bagi umat Islam.
Untuk bisa menyatukan pemikiran dan perasaan umat Islam dan tentara negeri-negeri Muslim di seluruh dunia, maka harus melepaskan diri dari paham naionalisme dan pihak yang melindunginya.
Oleh karena itu, umat Islam seharusnya membangun kesadaran yang benar pada diri umat dan menunjukkan jalan kemuliaan bagi umat. Yaitu dengan pemahaman ideologis yakni dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah dengan cara membentuk kelompok jamaah dakwah Islam ideologis dan bersama-bersama berjuang untuk menjemput pertolongan Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Sandrina Luftia
Aktivis Muslimah