TintaSiyasi.id -- Kasus penggusuran lahan terjadi kembali, sejumlah warga yang tergabung dalam aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur menggelar demonstrasi di depan Gedung Balai Kota Jakarta pada Senin, 21 April 2025. Mereka datang dari wilayah Cengkareng, Kapuk, dan Jakarta Barat dengan membawa satu pesan, menolak penggusuran rumah warga.
Ketua Aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur, M. Andreas menuding bahwa penggusuran tersebut dilakukan atas perintah seseorang, yang mengklaim memiliki tanah seluas 21,5 hektare berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 188/PK/Pdt/2019. Menurut Andreas, wilayah itu telah dihuni oleh sekitar 3.000 kepala keluarga selama lebih dari 20 tahun. Selain itu Andreas menuturkan terkait keresahan warga yang terusik dengan keberadaan alat berat dan truk pengangkut tanah yang masuk ke wilayah mereka tanpa izin resmi sejak awal Maret. (Kompas.com, 22-04-2025)
Konflik penggusuran lahan ini sudah banyak terjadi, entah itu akibat kepentingan korporasi, oligarki, ataupun mafia tanah. Meskipun terkadang ada di beberapa kasus serupa, di mana warga sebenarnya telah memiliki bukti berupa sertifikat tanah. Namun, dengan adanya surat sertifikat itu pun tidak lantas membuat kepemilikan tanah menjadi legal dan jauh dari gangguan.
Sejatinya, kasus konflik penggusuran lahan yang terjadi ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola hari ini. Dan sudah semestinya hal ini bisa menjadi bahan perenungan dan evaluasi bagi para pemimpin hari ini.
Kasus penggusuran lahan yang marak terjadi sejatinya juga disebabkan karena kepemimpinan hari ini yang jauh dari fungsi utamanya sebagai pengurus rakyat, dan juga disebabkan karena pengaturan kepemilikan lahan yang berbasis pada asas manfaat atau materi semata.
Tanah yang sejatinya termasuk kebutuhan dasar bagi umat manusia. Di atasnya manusia membangun tempat untuk berteduh dan tinggal di sana. Namun sangat disayangkan bahwa hari ini tata kelola pertanahan dalam sistem demokrasi kapitalisme hanya berpihak kepada para pemilik modal semata. Apa buktinya? Hal ini bisa kita lihat bagaimana hari ini banyaknya aset tanah yang dikuasai oleh swasta.
Di satu sisi, rakyat kesusahan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak akibat tidak memiliki tanah. Namun, di sisi lain negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalisme hanya berperan sebagai regulator atau pembuat kebijakan yang justru membuka jalan atau memudahkan bagi para mafia tanah dan swasta untuk mempermainkan kepemilikan tanah. Hal ini jelas sangat jauh dari bagaimana gambaran pemimpin dalam Islam yang menempatkan posisi dan tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan umat.
Sungguh, masyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme ini terus berada di bawah bayang-bayang kerakusan para pemilik modal dan penguasa. Semua ini sungguh akan berbeda ketika kepemilikan lahan ditangani dengan sistem Islam.
Islam memandang bahwa tanah merupakan bagian dari segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi, yang hakikatnya adalah milik Allah Ta'ala sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut:
وَلِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
Artinya: "Milik Allah lah kerajaan langit dan bumi dan hanya kepada Allah kembalinya seluruh makhluk." (QS. An-Nur ayat 42)
Meskipun Allah Ta'ala pemilik hakiki. Namun, Allah mensyariatkan kepemilikan yang di antaranya boleh dimiliki oleh manusia. Cara yang dapat ditempuh untuk memiliki lahan yaitu jual beli, waris, hibah, ihya'ul mawat yang artinya menghidupkan tanah mati, tahjir yaitu membuat batas pada tanah mati, dan iqtha yaitu pemberian dari negara kepada rakyat.
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiyah, pemimpin atau khalifah tidak boleh sembarangan dalam menetapkan kebijakan misal sesuai kepentingan individu ataupun untuk kelompoknya sendiri. Pemimpin di dalam Islam dalam membuat dan menetapkan kebijakan harus berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan dalam menjalankan amanahnya sebagai pengurus rakyat, pemimpin di dalam Islam akan memprioritaskan dan mendahulukan kepentingan dan kebutuhan rakyatnya. Sehingga pemimpin dalam Islam akan memastikan bahwa kebutuhan rakyatnya seperti sandang, pangan dan papan, termasuk juga pendidikan, kesehatan dan keamanan akan dirasakan oleh rakyatnya dan bahkan semua itu bisa diperoleh dengan mudah dan gratis oleh rakyatnya.
Di dalam Islam, negara akan memperhatikan kepemilikan harta tiap individu. Dalam hal ini termasuk tanah. Dalam sistem kepemimpinan Islam, negara tidak boleh merampas ataupun menggusur lahan rakyat dengan jalan memaksa dan tanpa ridha pemilik tanah. Hal ini sesuai dengan hadis dari Rasulullah ﷺ.
“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari)
Dalam sistem Islam, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum jika pemilik tanah tersebut ridha. Sebaliknya, jika pemilik tanah tidak ridha maka negara tidak boleh sewenang-wenang menggusur dengan jalan paksaan.
Hanya saja, semua ini hanya dapat terlaksana ketika Islam dijadikan sebagai aturan yang mengatur kehidupan kita. Tentu dengan diterapkannya aturan Islam, maka kepemimpinan yang ada akan memandang bahwa amanah kepemimpinan itu sebagai amanah besar, yang mana akan ada hisabnya di akhirat kelak. Wallahu a'lam bishshawab. []
Asih Lestiani
(Aktivis Muslimah)