Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Soal Kelaparan di Gaza, Kita Bisa Apa?

Senin, 19 Mei 2025 | 19:00 WIB Last Updated 2025-05-19T12:00:54Z
Tintasiyasi.id.com -- “Jahat sekali. Mereka (210ni5) itu sangat jahat”. Inilah salah satu ungkapan perasaan relawan yang pernah ke Gaza sebagaimana diunggah kanal youtube TVOne.

Mereka adalah saksi mata terjadinya blokade bantuan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya untuk Masyarakat di Gaza yang terdampak perang. Akhirnya, Masyarakat Gaza banyak yang kelaparan.

Kelaparan di Gaza adalah contoh nyata dari kelaparan yang disebabkan ulah manusia, dalam hal ini genosida oleh Israel. Kelaparan ini disebabkan oleh konflik politik dan ditengarai menjadi strategi kotor perang kaum 210ni5 Yahudi. Hal ini cenderung lebih disengaja dan mematikan, sehingga berdampak pada jutaan orang lebih parah daripada kelaparan alami.

Jutaan warga Palestina di Jalur Gaza menghadapi malapetaka kelaparan. Puluhan orang termasuk anak-anak tewas karena kelaparan. Warga Gaza hanya bisa makan satu kali dalam dua hingga tiga hari akibat blokade ketat yang diberlakukan oleh Israel.

Hal tersebut diungkapkan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Selasa (6/5/2025) sebagaimana dilansir MetroTvNews, Juru bicara UNRWA Adnan Abu Hasna, dalam wawancara dengan Al-Ghad TV mengungkapkan bahwa lebih dari 66.000 anak di Gaza mengalami malnutrisi akut.

Setiap hari warga Gaza harus berdesakan di dapur umum untuk mendapatkan makanan. Banyak yang pulang dengan tangan hampa meski sudah mengantre lama. Hal ini karena menipisnya stok makanan akibat blokade Zionis Israel. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa 2,4 juta warga Gaza menghadapi situasi kemanusiaan yang kritis. Kepala dari 12 organisasi bantuan internasional bahkan menyatakan bahwa kelaparan besar kemungkinan akan segera melanda hampir seluruh wilayah Gaza. Bank Dunia menyatakan, hampir 2,4 juta jiwa warga Gaza kini sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas serangannya yang terus berlangsung dan menewaskan warga Gaza.

Bukannya menghiraukan, dengan congkaknya, Israel justru mengambil ‘gebrakan’ dengan memblokade seluruh jalur penyeberangan ke Gaza sejak 2 Maret 2025, menghentikan aliran makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya. Blokade Israel terjadi di wilayah yang 90% penduduknya bergantung pada bantuan kemanusiaan. 

Merespons hal ini, Komisaris Tinggi HAM PBB memperingatkan bahwa membuat warga sipil kelaparan sebagai cara peperangan adalah kejahatan perang. Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, hambatan birokrasi harus dilenyapkan dan hukum serta ketertiban harus dipulihkan agar badan-badan PBB dapat menyalurkan bantuan.

WHO juga menyerukan akses segera untuk semua bantuan kemanusiaan, dimulai dengan makanan dan obat-obatan bagi anak-anak yang sangat kekurangan gizi yang memerlukan penanganan darurat.

Namun, berbagai kecaman dari dunia internasional tersebut, ternyata tidak membuat 210ni5 Yahudi meredakan kebrutalan dan blokadenya. Miris, lembaga-lembaga internasional—seperti PBB—benar-benar tidak bisa bertindak apa pun.

PBB hanya menyerukan tindakan “terpadu” untuk menghentikan “bencana kemanusiaan” di Gaza. Demikian pula dengan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Meski pengadilan memutuskan bahwa pihak 210ni5 bersalah atas bencana perang dan menyebut Netanyahu sebagai penjahatnya, nyatanya tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyeret ke meja pengadilan. Bahkan pengadilan ICC disebut sebagai “gelaran sirkus” dan dituding sarat politisasi.

Malapetaka kelaparan di Gaza sejatinya adalah tanggung jawab seluruh umat manusia, terlebih umat Islam sebagai saudara seakidah. Setiap muslim wajib sekuat tenaga memberikan perhatian, pembelaan, dan pertolongan kepada kaum muslim di Gaza dengan memberikan bantuan harta, tenaga, ataupun seruan dakwah, termasuk senantiasa mendoakan mereka agar selalu mendapatkan pertolongan Allah SWT, sekaligus mendoakan kehancuran untuk kaum 210ni5 Yahudi dan para pendukungnya.

Seruan jihad yang menggema, diantaranya melalui fatwa Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS) pada 4/4/2025 memang patut didukung. Sekjen IUMS Ali al-Qaradaghi menyerukan kepada semua negara muslim untuk segera campur tangan secara militer, ekonomi, dan politik untuk menghentikan genosida dan penghancuran menyeluruh ini.

Sekjen IUMS juga mengecam diamnya penguasa Arab dan Dunia Islam terhadap krisis Gaza sebagai dosa besar menurut hukum Islam.
Memang sudah jelas bahwa solusi semata wayang yang sesuai ajaran Islam untuk menuntaskan krisis Gaza adalah jihad fi sabilillah. 

Tidak lain dengan mengerahkan kekuatan militer untuk melindungi warga Gaza dan mengusir entitas Yahudi. Bukan dengan jalan diplomasi apalagi hanya narasi basa-basi yang selama ini dimainkan para pemimpin Arab dan Dunia Islam. Tidak cukup pula sekadar memerintahkan para imam dan khatib membacakan doa untuk kaum muslim Gaza.

Dalam keyakinan Muslim, Al-Qur’an telah memerintahkan jihad defensif (jihad difaa’i) atas setiap invasi musuh yang ditujukan kepada negeri-negeri muslim. Allah Swt. berfirman, “Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah ia secara seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 194).

Atas hal itu, para penguasa negeri muslim di sekitar Palestina wajib mengerahkan pasukan militer untuk menyelamatkan muslim Gaza. Sikap berdiam diri para penguasa tersebut adalah dosa besar di hadapan Allah swt. Sebab Allah Swt. telah memerintahkan, “Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, kalian wajib memberikan pertolongan.” (QS Al-Anfal [8]: 72).


Hanya saja, jihad ini tidak bisa efektif jika dilakukan secara individual maupun kelompok individu. Jihad yang efektif harus di bawah komando pemimpin negara super power, yaitu Khilafah Islamiah sebagaimana dahulu para khalifah melakukannya. Khilafah Islamiah merupakan kepemimpinan umum kaum muslim sedunia untuk menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. 

Oleh karenanya, bantuan harta atau donasi dan sebagainya sebagai wujud empati kemanusiaan terhadap saudara muslim di Gaza harus diback-up dengan memasifkan perjuangan untuk menegakkan kembali perisai hakiki umat Islam, yaitu Khilafah Islam. Pada masa dahulu, Khilafah inilah yang kredibel mengomando pasukan jihad untuk menyudahi kebrutalan 210ni5 Yahudi. Begitu juga untuk masa sekarang, khilafah tetap yang kredibel untuk itu sekaligus merobohkan peradaban penopangnya, kapitalisme sekuler. 

Bagi Netanyahu dan para pendukungnya, khilafah adalah mimpi buruk. Berita kembalinya khilafah telah mengusik mereka siang dan malam.

“Kami tidak akan mengizinkan berdirinya kekhalifahan Islam, dan kami akan melanjutkan tekanan militer sampai Ham*s disingkirkan,” demikian kutipan pernyataan Netanyahu yang dimuat media Al-Quds, 23-04-2025.
Sebelumnya, 22-04-2025, beberapa media lain, seperti Al-Jazeera Mesir dan Hurriyet Daily News juga memuat pernyataan senada, “Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kami tidak akan membiarkan berdirinya kekhalifahan beberapa kilometer jauhnya di pesisir Mediterania.”

Umat Islam semestinya makin memperkuat keyakinan bahwa Khilafah Rasyidah kedua yang mengikuti metode kenabian, insyaallah akan datang dengan membawa kemuliaan, menyudahi kehinaan. Khilafah adalah janji Allah dan bisyarah Rasulullah saw., ‘Tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhaajinnubuwah. Mimpi buruk yang menghantui Netanyahu dan para pemimpin Barat akan menjadi kenyataan yang akan mereka saksikan dengan mata kepala mereka. “Itulah janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS Ar-Rum: 6]. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Wallahua’lam bishshowwab.[]

Oleh: Pipit Agustin
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update