Pendahuluan: Umat yang Bergerak adalah Umat yang Hidup
TintaSiyasi.id-- Dalam sejarah kebangkitan peradaban Islam, selalu ada tiga kekuatan utama yang saling menguatkan: komunikasi yang menyentuh, literasi yang mencerdaskan, dan aksi yang menggerakkan. Ketiganya bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari satu jalinan yang, jika disinergikan, mampu melahirkan gelombang perubahan yang dahsyat.
Kini, di abad ke-21 yang ditandai oleh keterhubungan digital, kolaborasi lintas sektor, dan derasnya arus informasi, ketiga hal ini menjadi semakin penting. Namun tantangannya juga makin kompleks: banjir informasi, degradasi makna, dan aktivisme semu yang lebih sibuk di dunia maya daripada realitas.
Pertanyaannya adalah: bagaimana kita membangun kembali sinergi antara komunikasi, literasi, dan aksi — agar umat Islam tidak sekadar eksis, tapi juga transformatif?
1. Komunikasi: Membangun Jembatan Jiwa
Komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan. Ia adalah seni
menyentuh hati. Dalam era kolaborasi, kemampuan berkomunikasi menentukan seberapa luas jaringan dakwah, seberapa kuat gerakan sosial, dan seberapa dalam nilai-nilai Islam bisa ditanamkan dalam masyarakat multikultural.
"Sesungguhnya sebagian dari cara berbicara itu ada yang sangat memikat dan mempengaruhi (siapa pun yang mendengarnya)." (HR. Bukhari)
Komunikasi yang baik dalam konteks dakwah dan pembangunan umat haruslah:
• Empatik, bukan menggurui
• Humanis, bukan normatif kaku
• Kontekstual, bukan tekstual belaka
Kita butuh juru bicara umat yang tidak hanya paham dalil, tapi juga fasih dalam memahami zaman, mampu berdialog lintas generasi dan mazhab pemikiran. Komunikasi hari ini bukan hanya lewat lisan, tapi juga narasi visual, audiovisual, dan digital. Maka dakwah dan pergerakan sosial umat harus masuk ke semua kanal — podcast, YouTube, TikTok, Instagram, dan panggung publik.
2. Literasi: Menyulut Api Kesadaran
Jika komunikasi adalah jembatan, maka literasi adalah bahan bakar. Tidak ada perubahan tanpa kesadaran. Tidak ada kesadaran tanpa pengetahuan. Umat yang malas membaca, lemah menulis, dan pasif mencerna informasi adalah umat yang mudah dibentuk oleh narasi asing dan kapitalis.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu…” – ini adalah wahyu pertama, bukan tanpa alasan.
Literasi hari ini bukan hanya soal membaca buku, tapi:
• Mampu menyaring informasi dari media sosial
• Mampu membaca realitas sosial, politik, dan ekonomi umat
• Mampu menulis pemikiran dan membangun argumentasi
Budaya literasi adalah fondasi keberlanjutan peradaban. Tapi literasi yang hanya berhenti di kepala, tanpa menyentuh tindakan, akan melahirkan generasi pengamat, bukan penggerak.
3. Aksi: Dari Kata Menjadi Gerakan
Aksi adalah puncak dari komunikasi dan literasi. Kita tidak butuh lebih banyak wacana tanpa kerja nyata. Kita butuh umat yang turun ke jalan, masuk ke desa, masuk ke dunia pendidikan, ekonomi, dan teknologi.
Aksi yang dimaksud bukan sekadar demonstrasi. Tapi:
• Membuka ruang pendidikan gratis
• Memberdayakan ekonomi umat
• Menyantuni yang lemah, mengadvokasi yang terpinggirkan
• Membangun teknologi berbasis nilai tauhid
Di era kolaborasi, aksi bukan hanya personal, tapi kolektif. Kolaborasi antara ormas, lembaga zakat, komunitas kreatif, pesantren, tokoh muda, dan pengusaha muslim adalah keniscayaan. Tidak ada lagi ruang untuk ego sektoral dan persaingan internal. Hari ini adalah era sinergi.
“Tangan Allah bersama jamaah.” – (HR. Tirmidzi)
Membangun Ekosistem Kolaboratif Umat
Kita perlu membangun ekosistem kolaboratif yang menjadi ruang bertemunya tiga unsur ini:
• Komunikator ulung yang menyuarakan nurani umat
• Literator dan cendekia yang menanamkan wawasan dan visi
• Aktivis sosial yang menggerakkan perubahan konkret
Dengan didukung oleh teknologi dan semangat ukhuwah, umat bisa melahirkan:
• Gerakan literasi Qur’ani digital
• Jaringan dakwah entrepreneur
• Koalisi media Islam
• Aksi kolaboratif kemanusiaan lintas komunitas
Penutup: Umat yang Bergerak, Dunia yang Berubah
Sinergi komunikasi, literasi, dan aksi adalah jalan kita menuju kemuliaan. Jika kita ingin peradaban Islam kembali bangkit, maka kita harus:
• Berkomunikasi dengan hati dan strategi
• Menumbuhkan literasi yang tajam dan beradab
• Menggerakkan aksi yang nyata dan kolaboratif
Umat yang bisa menyatukan ketiganya akan menjadi umat yang bukan hanya dibicarakan, tetapi membicarakan dunia. Bukan hanya menjadi korban arus globalisasi, tetapi menjadi penentu arah sejarah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Maka mari bergerak bersama — dari komunikasi menuju pemahaman, dari pemahaman menuju perubahan. Dari perubahan menuju rahmat bagi seluruh alam.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)