TintaSiyasi.id -- Dalam lintasan panjang perjalanan ruhani, setiap manusia tak bisa lepas dari lingkungan yang membentuk arah hidupnya. Salah satu faktor paling kuat dalam lingkungan adalah teman. Mereka adalah cermin diri, penyambung semangat, dan dalam banyak kasus, penentu nasib akhir seseorang. Maka tak heran jika para ulama menaruh perhatian sangat besar terhadap siapa yang layak dijadikan teman sejati.
Ibnu Athaillah as-Sakandari, seorang sufi agung dari Mesir, dalam kitab al-Hikam menuliskan sebuah hikmah yang tajam sekaligus menggetarkan:
"Jangan pernah berteman dengan orang yang keadaan spiritualnya tidak membangkitkan semangatmu untuk beribadah, dan ucapannya tidak menuntunmu kepada cahaya Allah."
Kalimat ini bukan hanya sebuah nasihat, tapi pedoman dalam membangun hubungan sosial yang bersih dan berkah. Di baliknya terkandung prinsip penting: bahwa pertemanan bukanlah sekadar hubungan duniawi, melainkan bagian dari strategi keselamatan akhirat.
Teman Adalah Cermin: Siapa Dirimu Ditentukan oleh Siapa di Sekitarmu
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Seseorang itu berada di atas agama temannya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia berteman."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menjelaskan bahwa kualitas agama seseorang bisa ditentukan oleh siapa yang dekat dengannya. Teman bukan hanya mempengaruhi perilaku lahiriah, tapi juga menyusup ke dalam jiwa. Ketika engkau duduk bersama orang-orang yang lalai dari Allah, lama-lama hatimu pun ikut lalai. Ketika engkau biasa mendengar candaan kosong dan ejekan terhadap agama, lambat laun dirimu kehilangan rasa hormat terhadap hal-hal suci.
Sebaliknya, jika engkau duduk bersama orang-orang yang selalu menyebut nama Allah, yang wajahnya menyejukkan karena ia banyak sujud, yang diamnya membawa hikmah, maka engkau akan terbawa kepada kedekatan dengan Sang Pencipta. Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Athaillah: persahabatan yang menghadirkan semangat ibadah dan menuntun kepada cahaya.
Sahabat Sejati Adalah Mereka yang Membimbingmu ke Akhirat
Dalam dunia yang semakin dipenuhi hiruk-pikuk pencarian materi dan popularitas, sangat mudah untuk tenggelam dalam persahabatan semu—yang hanya berlandaskan kesamaan hobi, proyek bisnis, atau kepentingan duniawi. Namun persahabatan sejati menurut para ulama adalah yang tetap ada meskipun dunia telah runtuh, yaitu persahabatan yang berakar pada cinta kepada Allah.
Sayyiduna Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
"Sahabatmu adalah orang yang mengingatkanmu kepada Allah ketika engkau lupa, dan membantumu ketika engkau ingat."
Inilah sahabat yang sejati. Mereka tidak hanya hadir saat tertawa, tapi juga hadir saat air mata jatuh karena dosa. Mereka bukan hanya mengangkat kita dari kegagalan dunia, tapi menolong kita bangkit dari kejatuhan ruhani.
Bahaya Berteman dengan Orang yang Meremehkan Agama
Betapa banyak orang yang awalnya baik, namun kehilangan nur dan semangat hanya karena salah memilih teman. Mereka mengira bersikap ‘toleran’ terhadap kelalaian sahabatnya adalah kebaikan, padahal seringkali justru menjadi racun iman yang tak terasa.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menulis:
"Teman yang buruk adalah musuh dalam bentuk sahabat. Ia menjerumuskanmu dengan penuh kelembutan, menghias maksiat agar tampak ringan, dan menertawakan ketaatan agar tampak membosankan."
Orang yang meremehkan agama, tidak menjaga lisannya, tidak memuliakan waktu-waktu ibadah, seringkali menjadi penyebab turunnya bala. Bukan karena kehadirannya langsung membawa musibah, tetapi karena kita tidak lagi menjaga adab terhadap Allah dalam pergaulan kita. Maka tak heran jika banyak kerisauan hati, kesempitan rezeki, dan lemahnya iman berasal dari pergaulan yang salah arah.
Tanda-Tanda Sahabat yang Membawa Berkah
Berikut beberapa tanda teman yang menjadi "jalan cahaya" dalam hidupmu:
1. Ia mengingatkanmu kepada Allah, meskipun tanpa berkata apa-apa.
Wajahnya jernih karena banyak dzikir, perilakunya tenang karena yakin kepada takdir, dan hidupnya lurus karena takut kepada akhirat.
2. Ucapannya mengandung hikmah dan menumbuhkan rasa cinta kepada akhirat.
Ia tidak membicarakan aib orang lain, tidak merendahkan ulama, dan tidak bersenda gurau dengan maksiat.
3. Ia mendekat ketika imanmu melemah.
Seperti pelita, ia menerangi saat malam tiba. Ia membangunkanmu dengan doa, bukan celaan.
4. Ia mencintaimu karena Allah, bukan karena manfaat dunia.
Ia hadir saat engkau tidak memiliki apa-apa, dan tetap ada meskipun engkau telah kehilangan segalanya.
Menjadi Teman yang Mencerahkan, Bukan Sekadar Mencari
Alih-alih hanya mencari sahabat yang membimbing kita, hendaknya kita juga berusaha menjadi pribadi yang menuntun orang lain kepada kebaikan. Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Jadikan dirimu cahaya bagi yang lain: dengan akhlak yang lembut, lisan yang penuh doa, dan hati yang selalu bergantung kepada Allah.
Allah berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu (kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertakwa."
(QS. Az-Zukhruf: 67)
Kelak, semua sahabat akan menjadi penyesalan, kecuali sahabat yang dibangun atas dasar takwa. Mereka itulah yang akan saling mencari di akhirat, saling menolong dengan amal jariyah, dan saling memberi syafaat dengan izin Allah.
Penutup: Pilihlah Jalan Cahaya, Bukan Jalan Kelalaian
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan bersama orang-orang yang menjauhkan kita dari Allah. Carilah teman yang bila engkau melihatnya, engkau teringat akan tujuan akhir. Carilah sahabat yang jika engkau lupa, ia mengingatkanmu, dan jika engkau ingat, ia membantumu menuju Allah.
Ingatlah, seorang teman bisa menjadi tiket menuju surga, atau menjadi jerat menuju neraka. Maka bertemanlah karena Allah, demi Allah, dan menuju Allah.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)