TintaSiyasi.id -- Pendidikan adalah ujung tombak peradaban, tempat mencetak generasi muda yang cemerlang, cerdas, dan bertakwa. Namun, tujuan pendidikan dalam sistem kapitalisme saat ini bukan lagi untuk mencetak generasi muda yang demikian, tetapi untuk mencetak para pekerja yang memiliki nilai-nilai ekonomis tinggi—bukan keterampilan diri. Maka sangatlah wajar jika para calon mahasiswa berambisi meraih nilai tertinggi, meskipun dengan cara yang salah.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, publik tengah dihebohkan dengan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) tahun 2025. Terkait dugaan soal yang bocor di berbagai platform media sosial (medsos), panitia menegaskan bahwa itu bukanlah bocoran soal, melainkan kecurangan oleh oknum peserta yang merekam soal di sesi pertama UTBK. (Beritasatu.com, 24 April 2025)
Teknologi canggih yang seharusnya sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan—karena bisa meningkatkan efisiensi, aksesibilitas, dan kualitas pembelajaran—kini justru disalahgunakan untuk berbuat curang. Teknologi digunakan calon mahasiswa untuk mengakali tes UTBK demi mendapatkan nilai sempurna agar diterima di fakultas impian mereka.
Inilah akibat dari menjadikan nilai tinggi sebagai alat ukur penerimaan mahasiswa baru, bukan berdasarkan kecerdasan maupun keterampilannya. Akibatnya, mereka disibukkan dengan angka-angka semata. Namun sayangnya, demi meraih nilai itu, mereka tidak mengandalkan potensi diri, melainkan mengakali sistem. Sungguh, ini menggambarkan buruknya akhlak calon mahasiswa. Hal ini juga menunjukkan gagalnya sistem pendidikan kapitalisme dalam mewujudkan generasi yang berkepribadian Islam serta memiliki keterampilan dan ketangguhan menghadapi masa depan.
Kondisi ini diperkuat oleh survei KPK yang menyatakan bahwa terdapat 78 persen sekolah dan 98 persen kampus yang masih ditemukan kasus kecurangan seperti menyontek. Tak jarang mereka melakukannya secara terang-terangan. Bahkan ketika mendapatkan nilai tinggi karena menyontek, mereka merasa puas dan bangga, bukannya malu, bersalah, apalagi merasa berdosa.
Dari sini kita bisa melihat bahwa orientasi keberhasilan yang berfokus pada nilai tinggi telah mengabaikan aspek halal dan haram. Inilah fakta rusaknya sistem kehidupan saat ini yang berlandaskan sistem kapitalisme, di mana ukuran keberhasilan dan kebahagiaan hanya berorientasi pada hasil dan materi semata.
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang dibangun atas dasar akidah Islam. Dari sinilah generasi-generasi yang berkepribadian Islam akan terbentuk dalam diri mahasiswa. Mahasiswa akan melakukan segala perbuatannya berdasarkan pertimbangan halal dan haram. Mereka juga akan memiliki keterampilan yang andal serta menjadi agen perubahan dan pencetak masa depan peradaban emas.
Dengan kuatnya kepribadian Islam, kemajuan teknologi pun akan benar-benar dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Allah, demi meninggikan kalimat-Nya. Sesungguhnya, kemajuan sains dan teknologi adalah untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dan mempermudah aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hanya dengan sistem pendidikan Islam, generasi emas akan terwujud. Namun, sistem Islam akan menjadi nyata keberkahannya ketika umat menerima Islam sebagai ideologi yang diemban oleh sebuah negara yang disebut Daulah Khilafah Islamiyyah. Inilah tugas para pengemban dakwah ideologi Islam—untuk memahamkan umat agar mereka siap menyongsong tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu A’lam Bishawab
Oleh: Yeni
Aktivis Muslimah