TintaSiyasi.id -- Aksi-aksi bela Palestina semakin meluas. Dari jalanan Jakarta hingga jantung kota-kota besar dunia, suara umat menggema menuntut keadilan bagi Gaza yang hancur di bawah bom penjajah Israel. Lebih dari sekadar solidaritas kemanusiaan, seruan demi seruan yang muncul kini mulai menjurus pada tuntutan nyata: kirim pasukan pembebas dan tegakkan khilafah. Konferensi internasional pun digelar, tak hanya membicarakan penderitaan rakyat Palestina, tapi juga menyerukan jihad dan khilafah sebagai solusi strategis dan ideologis. Seruan ini menggema di Konferensi Global Bela Palestina yang menghadirkan Khaled Mashal, Kepala Biro Luar Negeri Hamas, yang mengatakan, “Jangan diam. Suarakan Palestina!” (sabili.id, 5 Mei 2025). Di Konferensi Kemenangan Gaza di Istanbul, sejumlah tokoh dunia Islam kembali menggaungkan dukungan pada perjuangan Palestina dan mengarah pada pentingnya persatuan umat dalam satu kepemimpinan Islam (nasional.sindonews.com, 4 Mei 2025).
Kondisi ini menunjukkan bahwa Barat keliru membaca arah kesadaran umat. Mereka pikir dengan normalisasi hubungan Arab-Israel, dukungan pada Palestina akan surut. Ternyata sebaliknya, agresi Israel justru menyulut api yang membakar sekat-sekat nasionalisme palsu di tubuh umat Islam. Bahkan Islamic Jihad Movement secara terbuka menyatakan bahwa Israel tak hanya membahayakan Palestina, tapi juga seluruh negeri Islam, dan menegaskan perlunya perlawanan menyeluruh terhadap entitas zionis tersebut (en.irna.ir, 3 Mei 2025). Hal ini menjadi bukti bahwa krisis Gaza justru membuka pintu yang lebih lebar bagi arus kesadaran umat akan kewajiban dan urgensi penegakan khilafah. Kesadaran ini mengalir deras, membanjiri tembok-tembok sekulerisme yang selama ini dibangun penjajah untuk menghalangi kebangkitan Islam.
Realitas ini pun menyiratkan fakta besar: semua upaya Barat untuk menghadang tegaknya khilafah—baik melalui perang pemikiran, demonisasi terhadap syariat, stigmatisasi radikal terhadap pejuang Islam, hingga intervensi politik—berangsur menjadi sia-sia. Krisis Gaza hari ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan juga titik balik sejarah. Gaza menjadi lonceng kematian bagi peradaban Barat yang dibangun di atas kezaliman, penjajahan, dan pemisahan agama dari kehidupan. Dalam waktu yang sama, krisis ini menjadi pertanda terbitnya fajar khilafah yang selama ini diperjuangkan oleh umat Islam. Maka, Gaza bukan hanya tempat penderitaan, melainkan juga ladang tumbuhnya kesadaran, tempat berkecambahnya harapan dan bangkitnya perjuangan ideologis yang global.
Namun, meskipun tegaknya khilafah adalah keniscayaan sejarah sebagaimana nubuwah Rasulullah Saw., bukan berarti ia akan hadir tanpa perjuangan. Justru di sinilah urgensi dakwah Islam ideologis menemukan momentumnya. Para pengemban dakwah wajib lebih masif menggencarkan dakwah penegakan khilafah ke semua kalangan—pelajar, mahasiswa, tokoh, ulama, pejabat, dan masyarakat umum—hingga opini umum yang tegak di atas kesadaran umum tentang khilafah benar-benar terwujud.
Rasulullah Saw. telah bersabda:
"...Kemudian akan ada Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah." (HR. Ahmad)
Hadis ini menjadi kabar gembira dan petunjuk arah perjuangan umat. Khilafah bukan utopia, melainkan janji kenabian yang akan datang kembali setelah masa kediktatoran dan sistem-sistem thaghut berlalu.
Sejarah pun mencatat bahwa hanya dengan kekuatan khilafah-lah Baitul Maqdis berhasil dibebaskan dari penjajahan. Pada tahun 637 M, di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., Yerusalem dibebaskan secara damai dari kekuasaan Bizantium. Beliau datang sendiri untuk menerima kunci kota, menandai Islam sebagai kekuatan pembebas, bukan penjajah. Kemudian pada tahun 1187 M, Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan kembali Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara salib setelah 88 tahun dijajah. Ia adalah panglima besar yang mengabdi pada misi jihad di bawah panji kekhilafahan Islam.
Kini, saat Israel memanggil ribuan tentara cadangan untuk memperluas perang di Gaza (aljazeera.com, 4 Mei 2025), dan ketika negara-negara seperti Inggris mulai menyatakan kesiapan untuk mengakui negara Palestina (viva.co.id, 5 Mei 2025), umat Islam harus menyadari bahwa solusi parsial tak akan menyelesaikan penderitaan ini. Palestina tidak butuh pengakuan semu dari negara-negara yang selama ini justru mendukung penjajahan. Palestina butuh pembebasan total. Dan itu hanya mungkin dengan kekuatan umat yang bersatu dalam institusi khilafah.
Maka, saat dunia menyaksikan kehancuran Gaza, umat Islam justru melihat cahaya yang menyingsing dari ufuk timur. Fajar khilafah telah tampak. Kini saatnya umat bergerak, tidak sekadar berdoa dan bersimpati, tapi turut menggelorakan dakwah penegakan khilafah sebagai satu-satunya solusi untuk Palestina dan seluruh umat Islam. Saatnya menjemput janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah: kembalinya khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua