×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meme Ciuman yang Mematikan: Layakkah Menghukum Pengunggahnya?

Selasa, 13 Mei 2025 | 21:15 WIB Last Updated 2025-05-13T14:15:56Z

TintaSiyasi.id -- Meme ciuman mengantarkan pada penangkapan. SSS, seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB),  ditangkap polisi gegara mengunggah meme Presiden RI Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo sedang berciuman dengan bantuan artificial intelligence (AI).

Polisi menjerat SSS dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 45 ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4). Pelanggaran tersebut termasuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Adapun Pasal 51 ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur tentang tindak pidana terkait pemalsuan dan manipulasi data elektronik (tempo.co, 10/5/2025). 

Aroma represifitas kembali menguar. Sebagaimana terjadi sebelumnya, UU ITE seringkali digunakan sebagai dasar hukum bagi pemerintah untuk menjerat orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan. Apalagi UU ini memang dikenal memiliki banyak pasal karet yang terkandung. 

"Meme ciuman" tersebut mestinya dipahami sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Medium untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Toh selama ini publik menganggap pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Prabowo itu seolah satu kesatuan hingga muncul satire matahari kembar.

Pasal Karet dalam UU ITE Menghambat Kebebasan Berekspresi Warga Negara

Kebebasan berpendapat (berekspresi) merupakan hal penting dalam masyarakat. Ditambah, keberadaan media sosial saat ini sangat memudahkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya. Di tengah realitas sosial inilah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diberlakukan. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur pertukaran informasi dan transaksi elektronik.

Namun, UU ITE yang pada dasarnya diharapkan mampu mengatur kebebasan berpendapat dalam media sosial ternyata mengalami ketidaksesuaian pada penerapannya. UU ITE justru dianggap membatasi atau bahkan membungkam kebebasan berpendapat itu sendiri. Terdapat pasal yang menuai kontra dan memiliki ketidakjelasan dalam implementasinya sehingga menjadi kelemahan di dalamnya. Inilah yang dianggap sebagai pasal karet dalam UU ITE.

Pasal karet merupakan sebutan untuk mendeskripsikan peraturan yang dapat dikatakan bersifat subjektif, sehingga memungkinkan munculnya penafsiran ganda dalam penerapannya. Pasal tersebut sesuai dengan sifat karet itu sendiri, elastis sehingga dapat ditarik ulur. Ditarik ulur dalam hal ini adalah memiliki batasan yang cakupannya sangat luas sehingga mampu digunakan untuk menjangkau tujuan dari pihak berkepentingan.

Meski pemerintah resmi memberlakukan UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun materi yang tertuang di dalamnya masih menuai kritik dari berbagai kalangan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE memandang, UU ini masih memuat sejumlah pasal bermasalah dan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi justru menemukan UU 1/2024 masih mempertahankan masalah lama. Pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Kemudian Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B. 

Selain itu, DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru. Seperti Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Padahal ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. 

Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Sementara Pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru ini,  berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana UU terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya. Dengan demikian, UU ITE yang seharusnya memberikan pengaturan untuk menjamin kebebasan berekspresi (berpendapat) namun justru memberangusnya demi kepentingan kekuasaan.

Pengunggah Meme Ciuman Para Petinggi Negeri Tidak Layak untuk Dihukum

Kasus penangkapan seorang mahasiswi ITB, SSS, karena mengunggah meme ciuman antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo, memicu perdebatan publik. Sebagian masyarakat menilai tindakan tersebut sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan satire politik, sementara pihak lain menganggapnya melanggar norma dan etika publik. Untuk menilai apakah pengunggah meme layak dihukum atau tidak, penting untuk menimbang argumen dari kedua sisi.

Argumen Pro: Layak Dihukum

Pertama, melanggar norma kesusilaan dan etika publik. Meme yang memvisualisasikan dua tokoh negara dalam situasi intim bisa dianggap melanggar norma kesusilaan di masyarakat Indonesia, yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai konservatif dan sopan santun dalam kehidupan publik.

Kedua, pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap kepala negara. Menampilkan presiden dalam meme yang dianggap tidak pantas dapat ditafsirkan sebagai bentuk penghinaan terhadap institusi negara, yang bisa mengganggu wibawa negara di mata publik maupun internasional.

Ketiga, berpotensi memecah-belah atau menimbulkan kebencian. Di era digital, konten visual menyebar dengan cepat dan bisa ditafsirkan beragam. Meme semacam ini bisa memicu perpecahan opini, provokasi, atau bahkan dijadikan alat propaganda untuk mendiskreditkan pihak tertentu.

Argumen Kontra: Tidak Layak Dihukum

Pertama, bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. UUD 1945 Pasal 28E dan berbagai konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia menjamin hak warga untuk menyatakan pendapat. Meme tersebut bisa dipandang sebagai kritik simbolik terhadap relasi kekuasaan, bukan penghinaan personal.

Kedua, satire politik sebagai instrumen demokrasi. Bila konsisten dengan prinsip demokratis, mestinya satire dan parodi merupakan bentuk kontrol sosial terhadap kekuasaan. Meme bukanlah bentuk ujaran kebencian, melainkan alat sindiran yang umum digunakan dalam budaya politik modern.

Ketiga, bahaya kriminalisasi ekspresi. 
Jika ekspresi seperti meme dikriminalisasi, hal ini membuka pintu pada pembungkaman kritik dan kebebasan sipil yang lebih luas. Ini menciptakan iklim ketakutan dan otoritarianisme.  

Dari pro kontra di atas, secara hukum positif Indonesia, pengunggah meme mungkin dapat dijerat dengan pasal-pasal tertentu, terutama dari UU ITE. Namun dari perspektif jaminan kebebasan warga negara untuk berpendapat, penghukuman semacam ini tidak proporsional dan justru mengancam kebebasan berekspresi. 

Maka secara prinsipil, pengunggah meme tidak layak dihukum dan kasus ini seharusnya menjadi pemicu evaluasi terhadap penggunaan hukum yang cenderung represif terhadap ekspresi kritis. Dalam hal ini, generasi muda butuh dirangkul, bukan dipukul.

Strategi Penyelesaian Kasus Unggahan Meme Ciuman Petinggi yang Memenuhi Rasa Keadilan dan Pembinaan Warga Negara

Penyelesaian kasus seperti unggahan meme ciuman Presiden  Prabowo dan Presiden ke-7 Jokowi oleh seorang mahasiswi (SSS) perlu mengedepankan prinsip keadilan restoratif, bukan sekadar penegakan hukum secara represif. Pendekatan ini bertujuan menyeimbangkan antara penegakan hukum, perlindungan terhadap kehormatan simbol negara, dan pembinaan warga negara terutama dari kalangan muda. Berikut strategi penyelesaiannya:

Pertama, pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Dilakukan dengan cara; mediasi antara pelaku dan pihak yang "dirugikan" (dalam hal ini bisa negara atau perwakilannya), mendorong permintaan maaf terbuka dari pelaku serta klarifikasi niat di balik unggahan, serta mendorong pemulihan nama baik pihak yang "dirugikan" tanpa harus menghukum secara pidana berat.

Kedua, pembinaan edukatif dan literasi digital. Dilakukan dengan memberikan pembinaan etika digital, yaitu pelatihan atau program mengenai batasan kebebasan berekspresi di ruang digital. Lalu melibatkan lembaga pendidikan dan tokoh masyarakat dalam proses pembinaan, serta 
kampanye literasi media sosial yang mengedukasi publik tentang potensi konsekuensi hukum dari unggahan digital.

Ketiga, proporsionalitas hukum. Berupaya mengevaluasi pasal yang digunakan (misalnya UU ITE atau pasal penghinaan terhadap presiden), apakah sudah tepat atau justru berpotensi melanggar kebebasan berekspresi. Selain itu, menghindari penggunaan hukum secara berlebihan yang bisa menimbulkan efek jera berlebihan (over-deterrence) bagi masyarakat umum.

Keempat, penyuluhan dan keterlibatan komunitas mahasiswa. 
Melibatkan organisasi mahasiswa, LSM, dan komunitas digital dalam diskusi tentang kebebasan berpendapat dan etika bermedia sosial. Serta mendorong dialog terbuka antara pemerintah dan generasi muda agar terjadi saling pemahaman, bukan hanya penindakan.

Oleh karena itu, strategi terbaik adalah mengutamakan pembinaan dan pendidikan daripada kriminalisasi, khususnya terhadap generasi muda yang masih dalam tahap eksplorasi identitas dan ekspresi. Ini akan membangun masyarakat yang lebih kritis dan bertanggung jawab secara sosial dan hukum.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)


Pustaka

Pasal Karet dalam UU ITE Terbaru Masih Mengancam Masyarakat yang Kritis, hukumonline.com, 5/1/2024

Opini

×
Berita Terbaru Update