TintaSiyasi.id -- Setelah viral kasus Pertamax oplosan yang sangat menzalimi rakyat, kini minyak goreng merek MinyaKita yang beredar di masyarakat juga disebut palsu. MinyaKita yang umumnya memiliki kemasan 1 liter dijual ke masyarakat dengan isi hanya 750–800 mililiter (ml). Selain itu, ditemukan pula penjualan MinyaKita yang melebihi harga eceran tertinggi (HET), yaitu Rp15.700 per liter. Volume yang tidak sesuai—seharusnya 1 liter tetapi hanya 750–800 ml—jelas merupakan bentuk kecurangan yang merugikan rakyat, terutama di bulan Ramadan saat kebutuhan bahan pokok meningkat.
Satgas Pangan Polri menyatakan sedang menyelidiki temuan ini. Ketua Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, menyebut bahwa penyelidikan tersebut merupakan tindak lanjut setelah ditemukan adanya ketidaksesuaian pada produk MinyaKita dalam inspeksi yang dilakukan di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan (Tirto.id, 13 Maret 2025).
Sebagaimana kita ketahui, minyak tersebut diproduksi oleh PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara, dan PT Tunas Agro Indolestari. Adanya MinyaKita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai di pasaran menunjukkan gagalnya negara mengatasi kecurangan para korporat yang tentu saja berorientasi pada keuntungan meskipun rakyat menjadi korbannya. Ini membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan berada di tangan korporasi, sedangkan negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapitalis. Negara hanya berperan sebagai regulator bagi para pengusaha. Bahkan, tidak ada sanksi yang menjerakan bagi perusahaan yang melakukan kecurangan, seperti dalam kasus MinyaKita dan Pertamax.
Semua ini akan terus terjadi dan berulang jika kita tetap berada di bawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dengan asas liberalismenya, para korporat mendapat "karpet merah" dari penguasa untuk menguasai rantai distribusi pangan dari hulu hingga hilir. Negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam menjamin kebutuhan pangan rakyat. Paradigma kapitalisme menjadikan negara abai terhadap perannya sebagai pengurus dan pelayan umat. Akibatnya, kehidupan rakyat semakin sulit dan sempit.
Sementara itu, dalam Islam sudah sangat jelas bahwa syariat melarang segala bentuk penipuan yang dapat merampas hak seseorang secara ilegal, baik dalam penjualan maupun transaksi lainnya, karena hal tersebut merupakan kejahatan, kecurangan, dan penyimpangan. Semua perilaku ini akan membawa dampak buruk di tengah masyarakat dan merupakan dosa di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW juga memperingatkan agar tidak melakukan kecurangan dan mengancam pelakunya dengan celaan. Beliau bersabda:
"Barang siapa yang berbuat curang, maka ia bukan termasuk golongan kita." (HR Muslim)
Sungguh jelas ancaman bagi pelaku kecurangan sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah SAW.
Islam menetapkan bahwa pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemimpin. Sebab, pemimpin adalah raa’in (pengurus umat). Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi mulai dari hulu hingga hilir.
Selain itu, untuk menjaga pasokan produk pangan seperti MinyaKita, negara wajib mengawasi rantai distribusi hingga sampai ke tangan masyarakat serta menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Qadhi hisbah akan melakukan inspeksi pasar. Jika ditemukan adanya kecurangan seperti dalam kasus MinyaKita, negara akan memberikan sanksi tegas, bahkan pelaku bisa dilarang melakukan usaha produksi maupun perdagangan. Ketegasan sanksi dalam Islam diterapkan agar memberi efek jera bagi pelaku dan menjadi pelajaran bagi masyarakat agar tidak melakukan hal serupa.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Aulia Wafa
Aktivis Muslimah