Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kursus Pranikah Cegah Perceraian, Cukupkah?

Minggu, 16 Maret 2025 | 21:53 WIB Last Updated 2025-03-16T14:53:25Z
TintaSiyasi.id -- Baru-baru ini, Menteri Agama (Menag) Nasruddin Umar mengumumkan rencana program kursus calon pengantin sebagai upaya pencegahan perceraian. Ia mengungkapkan bahwa program ini sangat penting bagi para calon pengantin. Berumah tangga bukan sekadar akad, tetapi juga membutuhkan kesiapan intelektual, emosional, serta materi. (DetikHikmah, 12 Maret 2025).

Adanya program kursus calon pengantin yang digagas oleh Menteri Agama patut diapresiasi, mengingat tingginya angka perceraian di Indonesia. Memang benar bahwa pernikahan membutuhkan kesiapan yang matang dalam aspek intelektual, emosional, dan materi. Namun, di sisi lain, terdapat faktor-faktor penyebab perceraian yang perlu ditangani secara menyeluruh. Maka, kursus pranikah saja tidak cukup jika akar permasalahan lainnya tidak diselesaikan secara tuntas.

Faktor Penyebab Tingginya Angka Perceraian

1. Faktor Ekonomi

Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga menjadi penyebab utama perceraian. Faktor ekonomi dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti minimnya lapangan kerja bagi laki-laki yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran serta banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, biaya hidup yang mahal, pendidikan dan kesehatan yang tinggi, serta berbagai pungutan pajak dan nonpajak yang ditetapkan pemerintah semakin membebani masyarakat, sementara gaji yang diperoleh justru semakin berkurang.

Ketika para kepala keluarga menghadapi berbagai kesulitan ekonomi ini, konflik dalam rumah tangga menjadi tak terelakkan. Akibatnya, banyak ibu yang terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga perannya sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga) terganggu. Jika peran ini tidak dijalankan sesuai tuntunan syariat, maka potensi munculnya masalah baru dalam rumah tangga semakin besar.

Sulitnya kondisi ekonomi juga mendorong sebagian orang mengambil jalan pintas dengan meminjam uang melalui pinjaman online (pinjol) atau terlibat dalam judi online (judol). Bukannya menyelesaikan masalah, justru menambah beban dan memicu keretakan rumah tangga.

Maka, sudah seharusnya negara berperan sebagai raa’in (pengurus) bagi rakyatnya dengan menyediakan lapangan kerja yang layak bagi para ayah sebagai pencari nafkah. Negara harus memberikan gaji yang cukup, menjamin kestabilan harga barang, serta menghapus pajak yang membebani rakyat. Selain itu, pendidikan dan layanan kesehatan harus digratiskan karena merupakan kebutuhan dasar masyarakat.

Negara juga harus memberantas praktik pinjol dan judol. Data menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-10 dunia dalam kasus judi online, dengan sekitar 8,8 juta warga terlibat dan nilai perputaran uang mencapai Rp600 triliun. Sementara itu, sebanyak 18 juta warga Indonesia terjerat pinjol dengan total transaksi mencapai Rp69 triliun. (Kompas.com, 24 November 2024).

Ironisnya, menurut survei Pew Research Center yang diterbitkan tahun 2024, Indonesia adalah negara paling religius di antara 102 negara lainnya. Namun, kenyataannya justru bertolak belakang. Mayoritas penduduk Muslim di negeri ini masih terjerumus dalam praktik riba dan judi yang jelas diharamkan oleh Allah.

2. Faktor Pendidikan

Sistem pendidikan saat ini tidak berlandaskan Islam, melainkan sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Kurikulum yang diterapkan tidak membentuk syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam), baik dalam pola pikir maupun pola sikap.

Akibatnya, individu yang lahir dari sistem sekuler tidak memiliki ketakwaan yang kuat, sehingga lebih mudah bermaksiat kepada Allah. Kepala keluarga yang tidak memahami tugasnya sebagai qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga cenderung lalai dalam mencari nafkah dan melindungi keluarganya. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Demikian pula dengan para ibu yang tidak memahami peran mereka sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga) serta madrasatul ula (sekolah pertama bagi anak-anaknya). Ketika suami dan istri tidak memahami kewajiban masing-masing, konflik dalam rumah tangga pun menjadi hal yang lumrah.

Oleh karena itu, negara harus mengganti kurikulum sekuler dengan kurikulum pendidikan Islam agar dapat melahirkan generasi yang bertakwa dan berakhlak mulia.

3. Faktor Pergaulan

Pergaulan bebas tanpa batas antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor lain penyebab perceraian. Banyak wanita tidak menutup aurat, serta terjadi ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan) dan khalwat (berdua-duaan tanpa mahram). Akibatnya, perselingkuhan, perzinaan, kehamilan yang tidak diinginkan, serta aborsi semakin marak terjadi.

Selain itu, perilaku LGBT semakin eksis di masyarakat, bahkan melibatkan mereka yang telah berumah tangga. Contohnya, baru-baru ini, sebanyak 56 pria di kawasan Hotel Rasuna Said, Jakarta Selatan, tertangkap basah sedang berpesta seks sesama jenis. Na’udzubillah min dzalik.

4. Faktor Media Sosial

Tayangan-tayangan di media sosial hari ini banyak yang merusak moral dan mental masyarakat. Gaya hidup hedonisme, pornografi, serta propaganda LGBT ditampilkan secara terbuka tanpa malu. Semua ini berdampak negatif pada pola pikir dan perilaku masyarakat.

Sekularisme: Akar Masalah

Akar dari seluruh permasalahan ini adalah sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak lagi menjadi tolok ukur dalam bertindak, melainkan hanya manfaat materi semata.

Dalam sistem sekuler, kebebasan individu dijamin tanpa batas, sementara hukum yang diterapkan cenderung lemah dalam memberikan sanksi bagi pelaku kemaksiatan.

Islam sebagai Solusi

Berbeda dengan sistem sekuler, negara Islam (khilafah) menjadikan akidah Islam sebagai dasar dalam mengatur kehidupan dan bernegara. Khilafah akan menerapkan ekonomi Islam, pendidikan Islam, pergaulan Islam, serta mengatur media sosial sesuai syariat Islam.

Negara Islam akan: Membuka lapangan kerja bagi para ayah sebagai pencari nafkah. Menjamin kebutuhan dasar rakyat tanpa bergantung pada pajak. Memberikan pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas secara gratis. Menegakkan hukum Islam, seperti hukuman cambuk bagi pezina yang belum menikah (ghairu muhsan), rajam bagi pezina yang sudah menikah (muhsan), hukuman mati bagi pelaku homoseksual, serta qisas bagi pembunuh. Menyaring tayangan media sosial agar sesuai dengan nilai Islam.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, angka perceraian dapat ditekan, dan kesejahteraan umat dapat terwujud.

Kesimpulan

Penerapan syariat Islam secara kaffah tidak mungkin terwujud dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Ketika hukum Allah tidak dijalankan, berbagai problematika sosial akan terus bermunculan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim memperjuangkan tegaknya Daulah Islam agar Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat kembali terwujud.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Aqila Deviana, Amd.Keb.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update