TintaSiyasi.id -- Korupsi di negeri ini ibarat virus yang tak kunjung mati. Tahun demi tahun, kasus baru muncul, pejabat ditangkap, rakyat marah, lalu ... lupa. Ironisnya, kita terus berharap hasil berbeda, padahal sistem yang kita pelihara justru menjadi akar masalah. Apakah kita benar-benar serius ingin memberantas korupsi, atau justru sistem sekuler ini sudah terlalu nyaman bagi para pencuri uang rakyat?
Kasus Besar, Kerugian Fantastis
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Subholding dan sejumlah kontraktor (KKKS) pada periode 2018–2023. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp193,7 triliun. Jumlah yang luar biasa besar, setara dengan anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat—membangun rumah sakit, sekolah, atau memperbaiki layanan publik (beritasatu.com, 25/02/2025).
Modus yang digunakan pun beragam, mulai dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah dan BBM melalui perantara broker, hingga penyelewengan kompensasi serta subsidi. Semua dilakukan demi keuntungan segelintir orang, sementara rakyat makin terhimpit dalam kesulitan ekonomi.
Namun, kasus ini hanyalah puncak gunung es. Korupsi terus berulang, tak peduli siapa pemimpinnya atau lembaga pengawasnya. Pertanyaannya, mengapa korupsi sulit diberantas meski kita memiliki undang-undang dan lembaga antikorupsi?
Akar Masalah: Sistem yang Rusak
Korupsi bukan sekadar kejahatan individu. Ia adalah produk dari sistem yang membentuk dan memeliharanya. Di bawah sistem sekuler-kapitalisme, agama dipisahkan dari kehidupan. Moral dan hukum berjalan sendiri-sendiri. Para pejabat bebas mengejar keuntungan pribadi karena aturan moral dianggap sebagai urusan pribadi.
Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini malah membuka ruang lebar bagi korupsi. Pemilu berbiaya mahal mendorong kandidat berburu sponsor. Setelah menang, mereka merasa "berutang" pada donatur, dan korupsi menjadi jalan cepat untuk "balik modal." Tak hanya itu, sanksi hukum yang ringan dan celah hukum yang lebar membuat para koruptor merasa aman. Tak heran, setelah keluar dari penjara, banyak koruptor yang kembali hidup mewah.
Bahkan, di masyarakat, pola pikir kapitalisme semakin mengakar. Materi menjadi tolok ukur kesuksesan, halal-haram diabaikan, dan agama hanya dijadikan urusan privat. Rasa takut kepada Tuhan memudar karena sistem memang mendidik manusia untuk mengejar dunia, bukan akhirat.
Solusi Islam: Solusi dari Akar
Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem kehidupan yang komprehensif, termasuk dalam memberantas korupsi. Solusi Islam menyasar tiga pilar utama: individu, masyarakat, dan negara.
Pertama, individu dibentuk melalui pendidikan Islam sejak dini. Bukan hanya cerdas intelektual, tetapi juga memiliki ruh keimanan yang kuat. Mereka sadar bahwa setiap perbuatan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sehingga tidak tergoda melakukan korupsi meski ada peluang.
Kedua, masyarakat aktif menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Lingkungan sosial yang Islami mendorong saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kejahatan. Masyarakat tidak tinggal diam saat melihat kezaliman, termasuk korupsi.
Ketiga, negara menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Hukum Islam menekankan pencegahan dan efek jera. Untuk korupsi besar, sanksinya bisa sangat berat, bahkan hukuman mati. Ini bukan sekadar hukuman, tetapi juga penebusan dosa (jawabir), yang membuat pelaku sadar atas kesalahannya dan memberi pelajaran bagi masyarakat.
Dalam sistem pemerintahan Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan ajang mencari keuntungan. Pemimpin dipilih karena amanah dan kompetensi, bukan karena kekuatan dana kampanye. Tidak ada politik uang, sehingga pemimpin tidak merasa wajib "balik modal." Negara pun menjamin kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, papan—sehingga tekanan ekonomi yang sering menjadi alasan korupsi dapat ditekan.
Pendidikan Islam juga mencetak generasi berakhlak mulia, cerdas dalam ilmu sains dan teknologi, serta memiliki jiwa kepemimpinan. Mereka menggunakan ilmunya untuk maslahat umat, bukan untuk memperkaya diri.
Saatnya Berani Berubah
Selama sistem sekuler-kapitalisme masih diterapkan, peluang korupsi akan terus terbuka lebar. Solusi tambal sulam hanya memperpanjang umur penyakit. Korupsi tak akan punah tanpa perubahan sistem. Islam hadir sebagai solusi hakiki. Menciptakan lingkungan bersih dari tradisi kelam korupsi bukan hanya mimpi, tetapi keniscayaan jika diterapkan secara kaffah.
Saatnya umat menyadari bahwa hanya dengan kembali pada aturan Allah, negeri ini bisa melahirkan generasi yang amanah, profesional, dan bebas dari korupsi. Pertanyaannya, beranikah kita keluar dari sistem lama yang terbukti gagal dan mulai menempuh jalan perubahan sejati?
Oleh: Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi