Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hakikat Syukur menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Selasa, 25 Maret 2025 | 04:40 WIB Last Updated 2025-03-24T21:40:57Z
TintaSiyasi.id-- Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang sufi besar dalam tradisi Islam, menjelaskan hakikat syukur bukan hanya sebagai ungkapan lisan, tetapi sebagai kondisi hati dan tindakan nyata yang mencerminkan rasa terima kasih kepada Allah.

Menurut beliau, syukur memiliki tiga tingkatan utama:

1. Syukur dengan lisan (شكر باللسان)
o Mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Allah, seperti membaca Alhamdulillah atas nikmat yang diberikan.
o Tidak mengeluh dan selalu menyebut kebaikan Allah dalam setiap keadaan.

2. Syukur dengan hati (شكر بالقلب)
o Menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah semata, bukan dari usaha pribadi atau makhluk lain.
o Tidak merasa sombong atau merasa lebih hebat karena nikmat yang diberikan.

3. Syukur dengan perbuatan (شكر بالجوارح)
o Menggunakan nikmat yang diberikan Allah untuk kebaikan dan dalam ketaatan kepada-Nya.
o Menjaga diri dari kemaksiatan dan menghindari penyalahgunaan nikmat.

Hakikat Syukur dalam Pandangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Beliau menegaskan bahwa syukur yang sejati adalah ketika seseorang tidak hanya mengingat nikmat yang diberikan, tetapi juga menggunakan nikmat tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Syukur bukan hanya untuk nikmat yang menyenangkan, tetapi 
juga untuk ujian dan kesulitan, karena semua itu adalah bagian dari kasih sayang Allah.

Orang yang benar-benar bersyukur adalah mereka yang semakin rendah hati dan semakin rajin beribadah ketika mendapatkan nikmat, bukan sebaliknya.

Syukur adalah jalan menuju maqam tertinggi dalam perjalanan spiritual. Semakin seseorang bersyukur, semakin Allah tambahkan nikmat-Nya, seperti dalam firman-Nya:
"Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7).

Dengan demikian, menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, syukur adalah kunci menuju kedekatan dengan Allah dan menjadi tanda bahwa seseorang benar-benar mengenal Allah dengan hatinya. 

Syukur adalah engkau tidak berbuat maksiat kepada Allah SWT dengan nikmat-Nya.

Ya, pernyataan itu sangat sesuai dengan ajaran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Syukur sejati bukan sekadar ucapan, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang menggunakan nikmat Allah dengan benar dan tidak menggunakannya untuk bermaksiat.
Jika seseorang mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah tetapi tetap menggunakannya untuk hal-hal yang dilarang-Nya, maka itu adalah bentuk kufur nikmat.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani juga menekankan bahwa syukur adalah bentuk ketaatan kepada Allah dalam setiap keadaan. Beliau berkata:
"Syukur adalah ketika engkau tidak menggunakan nikmat yang diberikan Allah untuk bermaksiat kepada-Nya."

Maknanya:
Jika diberikan rezeki, gunakan untuk hal yang halal dan sedekah.
Jika diberi ilmu, gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengajarkannya kepada orang lain.
Jika diberi kesehatan, gunakan untuk beribadah, bukan untuk berbuat dosa.

Jadi, syukur bukan hanya menerima dan mengakui nikmat, tetapi memastikan bahwa nikmat tersebut digunakan sesuai dengan ridha Allah SWT. 

Syukur adalah mengikat segala sesuatu yang ada dan memburu segala sesuatu yang hilang.

Ungkapan “Syukur adalah mengikat segala sesuatu yang ada dan memburu segala sesuatu yang hilang” mengandung makna yang dalam dalam konteks tasawuf dan ajaran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

1. "Mengikat segala sesuatu yang ada"
o Maksudnya adalah menjaga dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan oleh Allah dengan cara yang benar, yaitu dalam ketaatan.
o Jika seseorang bersyukur atas nikmat ilmu, rezeki, atau kesehatan, ia akan menjaganya dengan tidak menyalahgunakan nikmat tersebut untuk maksiat.
o Syukur juga menjadi pengikat nikmat, sebagaimana Allah berfirman:
"Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu..." (QS. Ibrahim: 7).
o Artinya, syukur menjadikan nikmat tetap bertahan dan bertambah, sementara kufur nikmat menyebabkan nikmat itu hilang.

2. "Memburu segala sesuatu yang hilang"
o Syukur bukan hanya tentang menerima apa yang ada, tetapi juga usaha untuk mendapatkan kembali kebaikan yang telah hilang.
o Jika seseorang kehilangan ketakwaan, ilmu, atau keberkahan, maka dengan syukur, ia akan berusaha mencari dan mengembalikannya.
o Ini juga berarti bahwa syukur mendorong seseorang untuk terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah, tidak hanya puas dengan keadaan yang ada, tetapi juga mencari yang lebih baik dalam keridhaan-Nya.

Intisari Makna:
Syukur bukan sekadar menerima, tetapi juga menjaga dan memperjuangkan nikmat.
Dengan syukur, nikmat tidak hanya bertahan, tetapi juga bertambah.
Syukur adalah kesadaran aktif untuk selalu berada dalam kebaikan dan berusaha mendapatkan kembali yang hilang dalam perjalanan menuju Allah.

Makna ini sejalan dengan ajaran Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa syukur adalah kunci kelanggengan nikmat dan jalan menuju peningkatan spiritual. 

Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur terhadap adanya pemberian, sedangkan ahli syukur adalah orang yang bersyukur karena adanya cobaan.

Ungkapan ini menggambarkan dua tingkatan syukur dalam ajaran tasawuf, termasuk dalam pemahaman Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

1. Orang yang bersyukur → Bersyukur ketika mendapat nikmat
o Ini adalah tingkatan syukur dasar yang dimiliki kebanyakan orang.
o Mereka bersyukur saat menerima rezeki, kesehatan, kebahagiaan, atau kemudahan dalam hidup.
o Namun, jika diuji dengan kesulitan, mereka mungkin sulit untuk tetap bersyukur.

2. Ahli syukur → Bersyukur bahkan dalam cobaan
o Ini adalah maqam yang lebih tinggi, yaitu mereka yang memahami bahwa segala sesuatu datang dari Allah, baik nikmat maupun ujian.
o Mereka bersyukur bukan hanya karena diberi sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga karena ujian yang mendekatkan mereka kepada Allah.
o Mereka melihat ujian sebagai cara Allah membersihkan hati, meningkatkan kesabaran, dan menguatkan iman.

Mengapa Ahli Syukur Bisa Bersyukur dalam Cobaan?
Mereka yakin bahwa Allah tidak mungkin menzalimi hamba-Nya.
Mereka memahami bahwa setiap ujian adalah peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka melihat ujian sebagai tanda kasih sayang Allah yang ingin mengangkat derajat mereka.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sering menekankan bahwa cobaan adalah jalan bagi orang-orang pilihan Allah untuk mencapai maqam yang lebih tinggi dalam spiritualitas. Orang yang benar-benar mengenal Allah (‘arif billah) akan melihat cobaan sebagai tanda kebaikan-Nya, bukan sebagai azab.

Kesimpulan:
Syukur biasa: Bersyukur saat mendapat nikmat.
Syukur sejati (maqam ahli syukur): Bersyukur atas segala ketetapan Allah, termasuk cobaan.
Ahli syukur memahami bahwa di balik setiap cobaan, ada rahmat 
Allah yang lebih besar.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update