Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kritik Ahli Fikih terhadap Penerapan Hukum Ihya`ul Mawat untuk Pemagaran Laut yang Dilakukan oleh Oligarki

Jumat, 14 Februari 2025 | 15:05 WIB Last Updated 2025-02-14T14:50:45Z

Tintasiyasi.ID -- Menerima pertanyaan dari Mahfudz yang berdomisili di Kudus terkait dengan pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki, yang disebut oleh sebagian pihak sebagai bentuk menghidupkan tanah mati/terbengkalai (ihya`ul mawat) yang tujuannya supaya tidak terjadi penelantaran tanah, atau dengan kata lain, supaya tanah itu tidak terbengkalai, karena katanya membiarkan tanah terbengkalai adalah dosa, Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi memberikan penjelasan secara gamblang.

   

“Tanggapan saya  terhadap kasus pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki tersebut, yang kemudian dicoba untuk dilegalisasi secara FIkih, adalah sebagai berikut,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Jumat (14/02/2025).

 

Pertama, menerapkan hukum ihya`ul mawat untuk pemagaran laut, adalah tidak tepat. “Karena tanah terbengkalai itu (al-mawat) itu atau lengkapnya dalam FIkih disebut al-ardhu al mawat, ada takrifnya (definisinya) yaitu:

 

الْمَوَاتُ هِيَ الْأَرْضُ الَّتِي لَا مَالِكَ لَهَا وَلَا يَنْتَفِعُ بِهَا أَحَدٌ

 

‘Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya.’,” ucapnya dalam Bahasa Arab al mawaat hiya al ardhullaty laa maalika lahaa walaa yantafi'u bihaa ahadun yang di kutip dari pendapat Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 78.

 

Maka dari itu, lanjutnya, ketika terjadi pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki, yang kemudian dilegitimasi secara syariat sebagai kegiatan ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), sesungguhnya telah terjadi 3 (tiga) kekeliruan yang fatal sbb:

 

(1) Yang dipagari itu faktanya bukan tanah mati (al-ardhu al-mawaat), melainkan laut (al-bahr). Jadi menerapkan hukum ihya`ul mawaat (menghidupkan tanah mati) untuk memagari laut, bukan untuk tanah, adalah suatu kekeliruan dan bentuk pemaksaan hukum Fikih yang tidak pada tempatnya.

 

(2) Selain itu, al-bahr (laut) itu tidak memenuhi definisi tanah mati (al-ardhu al-mawaat), karena tanah mati itu syaratnya adalah tidak ada pemiliknya (laa maalika lahaa). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al Iqtishadi fil Islam, hlm. 78).

 

“Padahal laut itu ada pemiliknya, bukan tidak ada pemiliknya. Pemilik laut tiada lain adalah masyarakat umum, karena laut kategorinya adalah milik umum (al-milkiyyah al-'aammah), karena masuk kategori min maraafiq al-jamaah (merupakan benda yang pemanfaatannya menjadi hak jemaah/masyarakat secara umum), sesuai sabda Nabi saw.:

 

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ

 

Kaum muslimin berserikat dalam tiga benda; padang gembalaan, air, dan api. (HR Abu Dawud, no. 3477).

 

(3) Menerapkan hukum ihya`ul mawaat untuk laut juga tidak dibenarkan, karena al-mawaat itu syaratnya adalah "wa laa yantafi'u biha ahadun", artinya tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 78).

 

“Padahal laut (al-bahr) yang dipagari itu, yang memanfaatkannya bukannya tidak ada, melainkan ada, dan bahkan banyak, misalnya para nelayan yang mencari ikan di pantai atau di laut lepas Pantai,” jelasnya.

 

Kedua, andaikata benar bahwa yang ditelantarkan itu tanah, padahal faktanya laut (bukan tanah), maka perkataan "membiarkan tanah terbengkelai adalah dosa" memang ada benarnya, akan tetapi bukan berarti negara lalu menyerahkan tanah terbengkalai itu kepada oligarki.

 

“Karena penyerahan tanah terbengkalai oleh negara kepada oligarki justru adalah suatu dosa, karena akan mengakibatkan harta itu hanya beredar di antara orang kaya saja, yaitu kaum oligarki saja, sesuatu yang justru diharamkan dalam Islam, sesuai firman Allah Swt.:

 

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ

 

Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS Al Hasyr: 7),” kutipnya.

 

Ketiga, adapun fakta bahwa yang dipagari itu laut (al-bahr), bukan tanah (al-ardhu), maka negara tidak berhak sama sekali menyerahkan laut itu kepada oligarki untuk dipagari.

 

“Karena laut itu statusnya adalah milik umum (al-milkiyyah al-'aammah), sehingga negara tidak berhak memberikan sesuatu yang menjadi milik umum kepada individu-individu masyarakat, apalagi kepada individu swasta oligarki,” terangnya.

 

Terdapat kaidah FIkih yang berlaku umum dalam masalah tersebut:

 

ماَ كاَنَ داَخِلاً فِي الْمِلْكِيَّةِ الْعَامَّةِ لاَ يَجُوْزُ لِلدَّوْلَةِ أَنْ تُعْطِيَ أَصْلَهُ لِأَحَدٍ

 

“Setiap barang apa saja yang termasuk ke dalam milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah), tidak boleh bagi negara untuk memberikan zat asalnya kepada seorang pun (menjadi milik individu/swasta).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 223).

 

Keempat, oligarki yang melakukan pemagaran laut itu, faktanya adalah orang-orang non-Muslim (kafir). “Maka dari itu, pemagaran laut yang mereka lakukan itu akan dapat menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan oleh Islam, yaitu dominasi atau hegemoni kaum oligarki yang non-Muslim (kafir) itu atas kaum Muslim,” tegasnya.

 

Hal ini telah dilarang dalam Islam sesuai firman Allah Swt.:

 

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًاࣖ   

 

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan/menguasai orang-orang mukmin. (QS An-Nisa`: 141)

 

Kiai Shiddiq memberikan kesimpulannya, “Penerapan hukum ihya`ul mawat untuk menjustifikasi pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki, adalah tidak tepat.”

 

“Justifikasi ini yang seolah-olah bagus karena bertujuan menyelamatkan aset yang terbengkalai, hakikatnya adalah suatu pembodohan kepada masyarakat luas dan dukungan kepada oligarki yang mencengkeram masyarakat dan mendominasi penguasa, dengan cara menyalahgunakan hukum Fikih, khususnya hukum ihya`ul mawat (menghidupan tanah mati/terbengkalai). Wallahu a'lam,” pungkasnya.[] Rere

 

 

Opini

×
Berita Terbaru Update