“Tanggapan saya terhadap kasus pemagaran laut yang dilakukan
oleh oligarki tersebut, yang kemudian dicoba untuk dilegalisasi secara FIkih,
adalah sebagai berikut,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Jumat (14/02/2025).
Pertama, menerapkan hukum ihya`ul
mawat untuk pemagaran laut, adalah tidak tepat. “Karena tanah terbengkalai
itu (al-mawat) itu atau lengkapnya dalam FIkih disebut al-ardhu al
mawat, ada takrifnya (definisinya) yaitu:
الْمَوَاتُ هِيَ الْأَرْضُ الَّتِي
لَا مَالِكَ لَهَا وَلَا يَنْتَفِعُ بِهَا أَحَدٌ
‘Tanah mati adalah tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya.’,” ucapnya
dalam Bahasa Arab al mawaat hiya al ardhullaty laa maalika lahaa walaa
yantafi'u bihaa ahadun yang di kutip dari pendapat Syekh Taqiyuddin
An-Nabhani di dalam kitab Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 78.
Maka dari itu, lanjutnya, ketika
terjadi pemagaran laut yang dilakukan oleh oligarki, yang kemudian dilegitimasi
secara syariat sebagai kegiatan ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati),
sesungguhnya telah terjadi 3 (tiga) kekeliruan yang fatal sbb:
(1) Yang
dipagari itu faktanya bukan tanah mati (al-ardhu al-mawaat), melainkan
laut (al-bahr). Jadi menerapkan hukum ihya`ul mawaat
(menghidupkan tanah mati) untuk memagari laut, bukan untuk tanah, adalah suatu
kekeliruan dan bentuk pemaksaan hukum Fikih yang tidak pada tempatnya.
(2) Selain
itu, al-bahr (laut) itu tidak memenuhi definisi tanah mati (al-ardhu
al-mawaat), karena tanah mati itu syaratnya adalah tidak ada pemiliknya (laa
maalika lahaa). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al Iqtishadi fil Islam,
hlm. 78).
“Padahal laut
itu ada pemiliknya, bukan tidak ada pemiliknya. Pemilik laut tiada lain adalah
masyarakat umum, karena laut kategorinya adalah milik umum (al-milkiyyah
al-'aammah), karena masuk kategori min maraafiq al-jamaah (merupakan
benda yang pemanfaatannya menjadi hak jemaah/masyarakat secara umum), sesuai
sabda Nabi saw.:
الْمُسْلِمُونَ
شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
Kaum
muslimin berserikat dalam tiga benda; padang gembalaan, air, dan api. (HR
Abu Dawud, no. 3477).
(3) Menerapkan
hukum ihya`ul mawaat untuk laut juga tidak dibenarkan, karena al-mawaat
itu syaratnya adalah "wa laa yantafi'u biha ahadun", artinya
tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizham Al-Iqtishadi
fil Islam, hlm. 78).
“Padahal laut
(al-bahr) yang dipagari itu, yang memanfaatkannya bukannya tidak ada,
melainkan ada, dan bahkan banyak, misalnya para nelayan yang mencari ikan di
pantai atau di laut lepas Pantai,” jelasnya.
Kedua, andaikata benar
bahwa yang ditelantarkan itu tanah, padahal faktanya laut (bukan tanah), maka
perkataan "membiarkan tanah terbengkelai adalah dosa" memang ada
benarnya, akan tetapi bukan berarti negara lalu menyerahkan tanah terbengkalai
itu kepada oligarki.
“Karena penyerahan tanah
terbengkalai oleh negara kepada oligarki justru adalah suatu dosa, karena akan
mengakibatkan harta itu hanya beredar di antara orang kaya saja, yaitu kaum
oligarki saja, sesuatu yang justru diharamkan dalam Islam, sesuai firman Allah
Swt.:
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ
الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
Agar harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS Al Hasyr: 7),”
kutipnya.
Ketiga, adapun fakta bahwa
yang dipagari itu laut (al-bahr), bukan tanah (al-ardhu), maka
negara tidak berhak sama sekali menyerahkan laut itu kepada oligarki untuk
dipagari.
“Karena laut itu statusnya adalah
milik umum (al-milkiyyah al-'aammah), sehingga negara tidak berhak
memberikan sesuatu yang menjadi milik umum kepada individu-individu masyarakat,
apalagi kepada individu swasta oligarki,” terangnya.
Terdapat kaidah FIkih yang
berlaku umum dalam masalah tersebut:
ماَ كاَنَ داَخِلاً فِي الْمِلْكِيَّةِ
الْعَامَّةِ لاَ يَجُوْزُ لِلدَّوْلَةِ أَنْ تُعْطِيَ أَصْلَهُ لِأَحَدٍ
“Setiap barang apa saja yang
termasuk ke dalam milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah), tidak boleh bagi
negara untuk memberikan zat asalnya kepada seorang pun (menjadi milik
individu/swasta).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī
Al-Islām, hlm. 223).
Keempat, oligarki yang
melakukan pemagaran laut itu, faktanya adalah orang-orang non-Muslim (kafir). “Maka
dari itu, pemagaran laut yang mereka lakukan itu akan dapat menimbulkan kondisi
yang tidak dibenarkan oleh Islam, yaitu dominasi atau hegemoni kaum oligarki
yang non-Muslim (kafir) itu atas kaum Muslim,” tegasnya.
Hal ini telah dilarang dalam
Islam sesuai firman Allah Swt.:
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ
عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًاࣖ
Dan Allah sekali-kali tidak
akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan/menguasai
orang-orang mukmin. (QS An-Nisa`: 141)
Kiai Shiddiq memberikan kesimpulannya,
“Penerapan hukum ihya`ul mawat untuk menjustifikasi pemagaran laut yang
dilakukan oleh oligarki, adalah tidak tepat.”
“Justifikasi ini yang seolah-olah
bagus karena bertujuan menyelamatkan aset yang terbengkalai, hakikatnya adalah
suatu pembodohan kepada masyarakat luas dan dukungan kepada oligarki yang
mencengkeram masyarakat dan mendominasi penguasa, dengan cara menyalahgunakan
hukum Fikih, khususnya hukum ihya`ul mawat (menghidupan tanah
mati/terbengkalai). Wallahu a'lam,” pungkasnya.[] Rere