Tintasiyasi.id.com -- Kasus penarikan ijazah oleh STIKOM Bandung terhadap 233 mahasiswa periode 2018-2023, yang baru-baru ini mencuat, menyoroti banyak aspek terkait kualitas pendidikan di Indonesia.
Pembatalan kelulusan ini tidak hanya menandakan adanya masalah administratif di tingkat kampus, tetapi juga mengungkapkan kegagalan sistem pendidikan kapitalis dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.
Insiden ini memberi gambaran jelas tentang bagaimana sistem yang didorong oleh prinsip kapitalisme lebih mengutamakan keuntungan material ketimbang kualitas pendidikan dan kesejahteraan mahasiswa.
Sebagai awal, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) mengungkapkan adanya berbagai ketidaksesuaian dalam proses kelulusan di STIKOM Bandung.
Beberapa temuan, seperti perbedaan nilai akademik, ketidaksesuaian jumlah Satuan Kredit Semester (SKS), dan tidak adanya uji plagiasi terhadap karya ilmiah mahasiswa, menunjukkan buruknya pengelolaan akademik di institusi tersebut.
Kejanggalan ini mengarah pada kegagalan pihak kampus dalam menjaga integritas dan kualitas pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Namun, inti dari masalah ini lebih dalam daripada sekadar kesalahan administratif. Jika kita telaah lebih jauh, permasalahan ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh paradigma kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan bukan lagi dilihat sebagai hak dasar setiap warga negara untuk mengembangkan potensi diri, melainkan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Kampus-kampus yang beroperasi di bawah sistem ini sering kali lebih fokus pada pencapaian keuntungan material dan mengejar laba daripada pada kualitas akademik dan integritas lembaga pendidikan.
Sistem kapitalisme menciptakan sistem pendidikan yang sangat bergantung pada biaya dan keuntungan. Dalam konteks ini, kampus-kampus swasta, seperti STIKOM Bandung, sering kali menghadapi tekanan untuk menjaga jumlah mahasiswa yang terus berkembang, meskipun kualitas akademik yang diberikan tidak selalu terjamin.
Fokus pada keuntungan ini mengarah pada penyusunan kurikulum yang lebih mengutamakan "kepraktisan" daripada pengembangan intelektual yang mendalam. Hal ini tercermin dalam kebijakan STIKOM Bandung yang lebih menekankan kesiapan kerja mahasiswa, dengan banyak lulusan yang sudah bekerja sebelum lulus.
Meskipun hal ini memberikan keuntungan jangka pendek bagi mahasiswa, pendekatan ini juga membawa konsekuensi jangka panjang, seperti kurangnya perhatian terhadap standar akademik yang seharusnya dipegang teguh.
Kebijakan kampus yang lebih praktis dan berorientasi pada pasar juga terlihat dari keputusan untuk tidak menerapkan uji plagiasi, yang akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab pembatalan ijazah tersebut.
Selain itu, masalah ketidaksesuaian SKS, yang seharusnya memenuhi standar minimal 144 SKS, menunjukkan adanya kelalaian dalam pemantauan proses akademik. Kampus, dalam hal ini, terjebak dalam mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Di sisi lain, kebijakan ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga memperburuk citra sistem pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.
Ketidakterbukaan dan kurangnya transparansi dalam menangani masalah ini semakin memperburuk keadaan. Alumni yang terdampak merasa terpinggirkan karena kurangnya penjelasan yang jelas mengenai keputusan ini.
Arif, salah satu alumni yang terdampak, menyoroti bahwa ketidakterbukaan informasi membuat situasi ini semakin membingungkan dan menambah ketidakpercayaan terhadap institusi.
Hal ini mempertegas bahwa dalam sistem kapitalisme, keputusan-keputusan yang diambil sering kali lebih didorong oleh pertimbangan praktis dan material daripada pada kepentingan mahasiswa sebagai individu yang membutuhkan jaminan kualitas pendidikan.
Kritik terhadap kasus ini juga datang dari berbagai kalangan, termasuk Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, yang melihat masalah ini sebagai bagian dari kegagalan sistem pendidikan yang lebih besar di Indonesia.
Ia menilai bahwa sistem pendidikan kita saat ini cenderung terlalu berfokus pada aspek administratif dan keuntungan finansial, sementara tujuan utama pendidikan—yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas moral serta intelektual bangsa—sering kali terabaikan.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai barang dagangan, dan ini berakibat pada menurunnya kualitas akademik secara keseluruhan.
Sebagai alternatif, sistem pendidikan Islam memberikan jawaban atas kegagalan ini dengan menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara.
Dalam sistem Islam, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja, tetapi juga untuk membentuk karakter dan kecerdasan yang sesuai dengan ajaran agama.
Negara memiliki peran penting dalam memastikan bahwa pendidikan dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali dan tanpa dibebani biaya yang memberatkan.
Selain itu, prinsip-prinsip moral dan etika dalam pendidikan Islam menjamin bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya mengutamakan keuntungan materi, tetapi juga integritas dan kualitas.
Meskipun STIKOM Bandung berkomitmen untuk melakukan perbaikan, seperti menambah jumlah dosen dan meningkatkan fasilitas pendidikan, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mengatasi masalah sistemik yang ada.
Perbaikan tata kelola akademik dan transparansi informasi adalah langkah yang harus segera diambil agar kepercayaan mahasiswa, alumni, dan masyarakat dapat dipulihkan. Proses perbaikan ini harus melibatkan seluruh elemen kampus dan pemerintah untuk memastikan bahwa pendidikan yang diberikan tidak hanya memenuhi standar administratif, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi mahasiswa.
Kesimpulannya, kasus penarikan ijazah di STIKOM Bandung bukan hanya sekadar masalah internal kampus, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem pendidikan kapitalis yang berfokus pada keuntungan material ketimbang pada kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Pendidikan harus dikembalikan pada esensinya sebagai sarana untuk mengembangkan potensi individu, bukan sekadar produk komersial. Jika sistem pendidikan terus dipengaruhi oleh prinsip kapitalisme, maka kualitas pendidikan di Indonesia akan terus terancam, dan masa depan generasi muda akan semakin terabaikan.[]
Oleh: Prayudisti Shinta.P.
(Aktivis Muslimah)