TintaSiyasi.id -- Dibongkar! Akhirnya, TNI Angkatan Laut bersama nelayan membongkar pagar laut misterius sepanjang 30,16 km di perairan pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1) (cnnindonesia.com, 18/1/2025). Struktur pagar laut ini terdiri dari bambu rerata enam meter, dengan anyaman bambu, paranet, dan pemberat dari karung pasir. Diketahui dibangun tanpa izin dari pemerintah pusat maupun daerah. Proses pembangunannya mulai Juli 2024, tetapi baru menarik perhatian luas setelah viral pada Januari 2025 (kompas.com, 11/1/2025).
Anehnya, sang pemilik pagar laut belum terungkap dan tetap misterius. Hingga Selasa (14/1/2025), ada tiga pihak yang disebut sebagai pemiliknya. Pertama, diduga punya pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, karena telah melakukan reklamasi pantai tak jauh dari situ. Namun manajemen PIK 2 membantah. Kedua, Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang mengklaim, pagar laut tersebut dibangun oleh masyarakat setempat karena bermanfaat yaitu memitigasi ancaman tsunami, mencegah abrasi, dan mendukung kegiatan ekonomi seperti tambak ikan. Ketiga, seorang nelayan di Pulau Cangir, dekat pagar laut, membocorkan sosok artis terkenal yang diduga menjadi pemiliknya (tribunnews.com, 14/1/2025).
Bila benar dugaan pemilik pagar laut adalah pengembang PIK2 atau bahkan artis, tentu sangat disayangkan. Bagaimana bisa individu memiliki laut, sementara laut termasuk kepemilikan umum (rakyat)? Bukankah hanya orang yang dekat dengan kekuasaan, yang berani memagari laut? Anehnya lagi, pemerintah daerah maupun pusat mengaku tidak tahu siapa pemilik pagar ilegal tersebut. Ketidaktahuan pemerintah ini menjadi indikasi kegagalan fungsi negara sebagai pelindung kedaulatan. Pun menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terhadap wilayahnya sendiri.
Konsep Pengelolaan Laut dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam
Dari sisi regulasi, kita bisa melihat bahwa pengelolaan laut di Indonesia mengintegrasikan aspek hukum internasional, nasional, dan lokal untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat pesisir dan seluruh bangsa. Hukum nasional Indonesia yang terwujud dalam berbagai peraturan, mengatur pengelolaan laut melalui beberapa aspek penting:
Pertama, kedaulatan dan hak Indonesia atas Laut. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan diimplementasikan melalui UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia mengklaim wilayah lautnya hingga 200 mil laut sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang memberikan hak kepada negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di dalamnya.
Kedua, pengelolaan SDA laut. Pengelolaan sumber daya laut, termasuk perikanan, pertambangan, dan ekosistem laut, diatur oleh berbagai UU seperti UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengelolaan ini menekankan pada pemanfaatan yang berkelanjutan dan pemeliharaan ekosistem laut agar tidak mengalami kerusakan.
Ketiga, keamanan Laut. Hukum nasional Indonesia juga mencakup pengaturan tentang keamanan laut, termasuk dalam hal pencegahan pencurian ikan ilegal dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di laut. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta peraturan terkait aparat penegak hukum seperti TNI AL, Bakamla, dan Polairud, bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah laut Indonesia.
Keempat, konservasi dan perlindungan laut. Indonesia juga mengatur pentingnya konservasi laut untuk melindungi keanekaragaman hayati laut. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur perlindungan spesies laut yang terancam punah serta kawasan konservasi laut seperti taman nasional laut dan cagar biosfer.
Demikian konsep pengelolaan laut dalam perspektif hukum nasional Indonesia. Adapun dalam konsep Islam, secara mendasar kita harus memahami terlebih dahulu tentang hukum kepemilikan laut. Syaikh Abdul Qodim Zallum di dalam kitabnya al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya laut, sungai, danau, teluk, kanal umum seperti terusan Suez, lapangan umum, masjid-masjid, merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak bagi setiap individu rakyat.” Sebab yang menjadikannya kepemilikan umum ialah karakter pembentukannya yang mencegah seorang individu untuk memilikinya.
Dengan demikian, wilayah laut adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu. Berbagai aset atau wilayah yang menjadi kepemilikan umum adalah milik seluruh kaum Muslim. Mereka memiliki hak sama dalam memanfaatkannya tanpa dibedakan apakah dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, yang baik maupun yang tidak baik. Karena laut adalah kepemilikan umum, maka negara tidak berhak menjual wilayah laut kepada individu atau korporasi. Pada hakikatnya laut itu bukan milik negara namun milik seluruh kaum Muslim.
Sementara aktivitas memagari laut adalah salah satu bentuk proteksi terhadap suatu wilayah tertentu, yang di dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh negara. Dalam riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Allah dan Rasulnya” yaitu oleh negara.
Kalaupun negara ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi itu tiada lain adalah untuk kemaslahatan umum, misalnya memproteksi suatu wilayah untuk keperluan jihad, kebutuhan fakir miskin, dan untuk kemaslahatan kaum Muslim secara keseluruhan. Tidak seperti proteksi pada masa jahiliyah yaitu memproteksi dengan memberikan hak istimewa kepada individu tertentu untuk diproteksi bagi dirinya sendiri.
Dari sisi bahwa laut adalah kepemilikan umum dan adanya larangan memproteksi suatu wilayah untuk kepentingan individu, maka jelas hukum aktivitas memagari laut yang dilakukan selain oleh negara adalah haram. Di sisi lain kita mengetahui bahwa laut adalah tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dalam mencari nafkah. Jika laut tersebut dipagari dan membuat para nelayan kesulitan mencari nafkah, maka ini akan membahayakan banyak nelayan yang sehari-harinya mencari nafkah dengan mencari ikan dan sebagainya.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu, negara sebagai pengurus urusan rakyat harus bertindak tegas ketika ada pihak yang memagari laut. Pun tidak boleh memberikan izin memagari laut karena laut bukanlah milik negara, namun milik umum yang setiap individu rakyat berhak untuk memanfaatkannya. Selain itu laut adalah tempat yang menjadi hajat hidup orang banyak yang akan membahayakan banyak pihak jika dipagari atau diproteksi untuk kepentingan individu atau korporasi tertentu.
Dampak Pemagaran Laut terhadap Kedaulatan Negara dan Kehidupan Masyarakat Nelayan
Secara ideologis, pemagaran laut misterius di perairan pesisir utara Tangerang mencerminkan kegagalan negara dalam mengontrol aktor-aktor tertentu yang mungkin bergerak secara ilegal atau tidak transparan hingga mengancam kedaulatan. Berikut beberapa dampak signifikan terhadap kedaulatan negara serta kehidupan masyarakat nelayan;
Pertama, dampak terhadap kedaulatan negara.
a. Penguasaan wilayah secara ilegal. Pemagaran laut oleh pihak tertentu tanpa izin dapat merusak tatanan pengelolaan wilayah laut yang sah, menantang kewenangan negara atas pengelolaan sumber daya alam (SDA) di laut. Hal ini bisa menurunkan kontrol negara terhadap sumber daya perikanan dan keberlanjutannya.
b. Pelanggaran hukum internasional. Pemagaran laut secara ilegal berpotensi melanggar hukum internasional terkait hak akses bebas untuk semua pihak di perairan yang seharusnya terbuka, seperti dalam konvensi hukum laut internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara atas wilayah perairan.
Kedua, dampak terhadap kehidupan masyarakat nelayan.
a. Kehilangan akses ke sumber daya laut. Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut bisa kehilangan akses ke tempat-tempat penangkapan ikan yang dulunya terbuka. Hal ini mengurangi hasil tangkapan mereka, memperburuk kondisi ekonomi, dan mengancam mata pencaharian mereka.
b. Kerusakan ekosistem laut. Pemagaran laut ilegal seringkali melibatkan pembangunan yang merusak ekosistem pesisir, seperti terumbu karang dan mangrove. Ekosistem ini penting bagi kelangsungan hidup biota laut yang menjadi sumber ikan dan hasil laut lainnya.
c. Tingkat ketegangan sosial. Ketika nelayan atau kelompok masyarakat lokal merasa kehilangan akses (hak) mereka atas SDA laut, hal ini dapat memicu ketegangan sosial antara nelayan dengan pihak yang melakukan pemagaran.
d. Nilai kerugian ekonomi akibat pagar laut ilegal mencapai Rp116,91 miliar per tahunnya berdasar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Dengan perincian; Rp93,31 miliar per tahun penurunan pendapatan nelayan, Rp18,60 miliar per tahun peningkatan biaya operasional, dan Rp5 miliar per tahun kerusakan ekosistem laut (republika.co.id, 19/1/2025).
Secara keseluruhan, pemagaran laut secara ilegal tidak hanya merugikan kedaulatan negara dalam mengelola SDA, tetapi juga membahayakan kehidupan sosial dan ekonomi nelayan yang bergantung pada kelestarian ekosistem laut.
Strategi Pengelolaan Laut yang Menjamin Kedaulatan Negara dan Melindungi Kesejahteraan Masyarakat
Sebagai agama sekaligus ideologi yang bermisi rahmatan lil 'alamin, Islam memiliki strategi mengelola laut yang dapat menjamin kedaulatan negara dan melindungi kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam terkait pengelolaan SDA, perlindungan terhadap lingkungan, dan keadilan sosial. Beberapa pendekatan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah (pemimpin/pengelola) di bumi yang diberikan amanah untuk memelihara keseimbangan alam. Dalam konteks ini, laut dan SDA di dalamnya harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan keadilan. Pengelolaan laut yang berkelanjutan dapat menjamin keberlangsungan ekosistem dan kedaulatan negara khususnya wilayah laut.
Kedua, pentingnya syariat dalam pengelolaan SDA. Dalam Islam, pengelolaan laut harus berlandaskan pada hukum syariat, yang mengatur tentang pembagian dan pemanfaatan SDA secara adil dan merata. Misalnya, pengelolaan sumber daya ikan harus menghindari eksploitasi berlebihan dan memberikan hak kepada masyarakat pesisir untuk menikmati hasil laut tanpa merusak ekosistem.
Ketiga, perlindungan terhadap lingkungan laut. Islam menekankan perlunya menjaga kelestarian alam, termasuk laut, dari kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Ini termasuk larangan terhadap praktik merusak seperti penangkapan ikan yang merusak habitat atau polusi laut. Negara dengan dukungan syariat, dapat mengambil langkah preventif dan kuratif untuk melindungi ekosistem laut, seperti menerapkan kebijakan perlindungan laut dan sanksi terhadap perusak lingkungan.
Keempat, pembangunan ekonomi berbasis laut. Islam mendukung pembangunan ekonomi yang adil, di mana masyarakat pesisir dan nelayan dapat memperoleh manfaat dari kekayaan laut tanpa mengeksploitasi secara berlebihan. Negara dapat merumuskan kebijakan yang memberikan akses yang adil terhadap sumber daya laut bagi masyarakat, sambil tetap menjaga keberlanjutan ekosistem.
Kelima, kedaulatan negara di laut. Islam mengajarkan pentingnya menjaga kedaulatan negara atas wilayahnya, termasuk laut teritorialnya. Negara harus memiliki kebijakan tegas dalam melindungi wilayah laut dari ancaman luar. Negara juga dapat memperkuat pertahanan laut dan diplomasi maritim untuk menjaga kedaulatan negara di laut.
Keenam, pendidikan dan kesadaran masyarakat. Dalam Islam, ilmu pengetahuan adalah kunci untuk memahami cara terbaik mengelola SDA. Negara perlu mengedukasi masyarakat pesisir dan nelayan tentang cara-cara pengelolaan laut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kedaulatan negara di laut.
Walhasil, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan laut, negara dapat menjaga kedaulatan wilayah lautnya sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir dan menjamin kesejahteraan mereka melalui pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan. Keidealan ini akan terwujud bila negara menerapkan sistem Islam kaffah, bukan kapitalisme sekuler seperti saat ini yang justru memberi ruang leluasa bagi individu (korporasi) untuk memiliki dan mengelola laut sebagai kepemilikan umum. []