TintaSiyasi.id -- Menyikapi wacana pemerintah menaikka tarif pajak pertambahan nilai (PPN) mejadi 12 persen yang diberlakukan tahun 2025, Pengamat Ekonomi Syariah Ustazah Nida Sa'adah, mengatakan itu akan menjadikan masyarakat makin sulit hidupnya dan menyebabkan ekonomi akan makin hancur.
"Dibalik rencana pemerintah yang ingin mendapatkan pajak yang besar dari rakyatnya, tetapi multiplayer efek yang terjadi adalah justru masyarakat makin sulit hidupnya. Kemudian tadi, dampak lanjutan, pengangguran akan makin bertambah luas. Berarti ekonomi akan makin hancur, makin kacau," ungkapnya dalam kanal YouTube Supremacy, Sabtu (29/11/2024). Ancaman Frugal Living Bagi Ekonomi Indonesia | Economic Understanding.
Ia menguraikan, pertama adanya fenomena frugal living (gaya hidup masyarakat dengan mengurangi tingkat konsumsi mereka, mengurangi pengeluaran mereka terutama di sisi kebutuhan pengeluaran sekunder dan tersier) namun masyarakat melakukan karena tekanan keadaan bukan karena pilihan.
"Karena yang dikurangi dalam pengeluaran atau belanja dari masyarakat kita lihat justru di sisi kebutuhan primer. Tidak lagi di sisi Kebutuhan sekunder dan tersier. Itu karena sangat rendahnya tingkat income atau pendapatan masyarakat," ungkapnya.
Ia melanjutkan, apabila frugal living ini dilakukan oleh banyak lapisan masyarakat bisa jadi bukan karena mereka mengikuti seruan tetapi memang karena bertahan di tengah situasi yang sangat sulit. Bagaimana mereka tetap berusaha bisa memenuhi kebutuhan pokonya, sementara pungutan pajak yang dikenakan pemerintah makin tinggi.
"Maka kita lihat tadi frugal living itu menjadi satu pilihan yang pada akhirnya mau tidak mau harus dilakukan, masyarakat dihadapan pada situasi dia harus mengurangi belanja kebutuhan primernya karena tekanan keadaan, karena pajak yang sangat tinggi bahkan tadi di sektor primer untuk kebutuhan pangannya dikenakan pajak yang juga sangat tinggi. Sehingga mereka berusaha memenuhi kebutuhan pokok tadi dengan mengurangi belanja," paparnya.
Kedua, ancaman PHK massal. Dampak lanjutan dari langkah yang dilakukan oleh masyarakat dengan istilah frugal living itu. Konsumsi rumah tangga selama ini bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia itu di atas 50 persen. Jadi bisa dibayangkan kalau masyarakat mengurangi tingkat konsumsinya karena tidak ada pilihan lain. Maka kemungkinan besar akan ada penurunan yang drastis pada kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto. Hal ni kalau dilihat dampak multiplayernya jika masyarakat mengurangi belanjanya karena tekanan keadaan berarti ada kondisi sulit bagi perusahaan.
"Sebagai dampak lanjutan, masyarakat mengurangi tingkat belanjanya. Pilihan terburuk yang akan kita lihat adalah jika perusahaan terus menerus berada pada situasi itu pasarnya lesu, daya belinya makin anjlok, konsumennya makin berkurang, maka kemungkinan besar akan dilakukan pemutusan hubungan kerja massal oleh perusahaan," urainya.
Jadi bisa dibayangkan sesuatu yang direncanakan pemerintah bahwa mereka akan mendapatkan pemasukan yang besar pada saat PPN itu dinaikkan prosentasenya justru yang terjadi apabila daya beli makin anjlok, perusahaan banyak melakukan PHK. Berarti mereka juga kehilangan banyak profit maka juga sudah bisa kita tebak sejak awal target pajak pun juga tidak akan tercapai.
Namun, disisi lain, pajak yang dikenakan ke masyarakat yang makin besar porsinya, ternyata tidak terjadi kepada investor yang mereka itu berinvestasi dalam jangka panjang 40 sampai 50 tahun. Artinya investor yang justru dia banyak melakukan eksploitasi, eksplorasi termasuk memanfaatkan pangsa pasar, memanfaatkan sumber daya manusia itu malah mendapatkan pembebasan pajak dari pemerintah. Sementara untuk rakyatnya sendiri yang income-nya makin tergerus malah dikenakan pajak.
"Jadi dari sisi logika makro ekonomi saja itu sudah tidak sambung antara rencana yang dijalankan dengan target yang ditetapkan," ungkapnya.
Solusi Islam
Ia menjelaskan dalam fiqih Islam, pungutan yang tidak ditetapkan berdasarkan prinsip syariah ini yang disebut dengan shahibul maks, kata Rasulullah dia tempatnya di neraka. Berarti dilarang mengenakan pungutan yang tidak ditetapkan berdasarkan aturan syariah. Karena sebetulnya untuk pemasukan negara itu ada banyak mekanisme yang sudah ditetapkan di baitul mal.
Sementara, untuk hubungan luar negeri berdasarkan ijma' sahabat kalau mereka mengenakan pungutan, maka hubungannya itu adalah resiprokal artinya dengan bergaining position yang setara. Jadi bukan eksploitasi, di manipulasi, hubungan dagang dijalankan dengan negara yang tidak memusuhi Islam, tidak memanipulasi Islam, tidak menjajah pasar kaum muslimin.
"Jadi bargaining position (posisi tawar) setara kalau mereka mengenakan pungutan maka dikenakan pungutan yang sama. Jadi tidak ada pembebasan pungutan kepada pedagang dari negara luar atau siapapun yang datang dari luar untuk melakukan aktivitas ekonomi dalam negara. Itu berdasarkan prinsip syariah, sementara kalau kita bicara bagaimana cara syariah menjaga daya beli masyarakat agar stabil, maka tentu kita lihat ada banyak regulasi baik makro dan mikro yang memang harus ditata ulang, diganti dengan prinsip yang diajarkan Nabi dicontohkan dalam praktek kenegaraan beliau," paparnya.
Sehingga, kalau bicara moneter, maka Islam mengajarkan moneter yang stabil adalah menggunakan emas dan perak. Ini memang tidak bisa dijalankan selama mata uangnya terjajah oleh negara besar. Untuk bisa kembali menerapkan mata uang dinar dan dirham (emas dan perak) maka butuh negara yang independen yang mandiri, yang tidak terjajah, tidak terhegemoni oleh negara lain.
"Kemudian kalau bicara tentang bagaimana memicu produktifitas ekonomi agar setiap orang daya belinya stabil, maka Islam memastikan semua sektor rill bisa diakses oleh laki-laki yang dia menjadi penanggung jawab nafkah bagi keluarganya. Begitu juga dengan semua sistem transaksi akad yang dijalankan itu ditutup peluang aktivitas ribawi. Ditutup peluang aktivitas ekonomi yang ada aspek gharar (ketidakpastian) maysir (spekulasi). Karena itu semua yang membuat distribusi harta itu tidak berjalan secara lancar dan akhirnya banyak orang yang sulit mengakses lapangan pekerjaan. Karena harta itu hanya dikuasai oleh pihak tertentu termasuk dalam hal ini ada regulasi untuk menata kepemilikan aset dimuka bumi. Tidak hanya menjadi dua tetapi ada tiga. Tidak hanya dua individu dan negara tetapi dalam Islam ada kepemilikan negara, individu dan umum (masyarakat)," terangnya.
Seharusnya, Indonesia yang memiliki aset yang melimpah bisa mensejahterakan semua masyarakat yang hidup di dalamnya. Muslim dan non Muslim dan termasuk nanti di yaumul hisab. Maka semua Muslim yang tinggal di negeri ini jika menggunakan sistem syariah dia bisa memberikan pertanggung jawaban kepada Allah. Bahwa aset yang Allah ciptakan di muka bumi Indonesia ini telah ditata dengan prinsip yang telah Allah berikan, telah diatur dengan regulasi yang telah Allah turunkan kepada RasulNya.
"Namun ketika itu semua ditinggalkan maka yang kita lihat hanya ada dua sebagaimana yang telah Allah jelaskan di dalam firmannya. Manusia hanya mendapatkan kehinaan ketika dia hidup di dunia sangat sulit, semua serba rumit untuk mendapatkan income yang memadai saja sangat-sangat berat dan terlebih nanti di yaumul hisab, di akhirat dikatakan akan mendapatkan azab yang sangat pedih, nauzubillah semoga kondisi sulit ini menyadarkan kita semua bahwa Indonesia darurat penerapan syariah dalam negara khilafah Islam," pungkasnya. [] Alfia Purwanti