tintasiyasi.id.com -- Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025 mendapat penolakan dari berbagai pihak. Petisi penolakan kebijakan tersebut dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Dalam cuitannya, akun itu menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN.
"Kenaikan PPN tersebut secara langsung akan membebani masyarakat karena menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Kalau keputusan menaikkan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai harga sabun mandi sampai bahan bakar minyak (BBM) akan ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat akan terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,"bunyi cuitan akun tersebut.
Penolakan keras juga disampaikan oleh Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang mengancam akan mogok kerja jika kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu tidak dibatalkan.
"Jika pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen dan tidak menaikkan upah minimum sesuai dengan tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia,"kata Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal, Selasa (19/11).
Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman menilai, kenaikan PPN ini akan berdampak pada masyarakat dan pengusaha.
"Bagi masyarakat, kenaikan PPN akan meningkatkan inflasi sekitar 0,97 persen, mengurangi daya beli, dan menurunkan upah riil hingga 0,96 persen,"tuturnya kepada Media Umat, Jumat (13/12).
Di samping itu, kata Rizal, bagi pengusaha, biaya produksi cenderung meningkat akibat penyesuaian harga bahan baku dan barang, sehingga marjin keuntungan dapat menurun. Hal ini dapat mempengaruhi utilisasi kapasitas produksi terutama sektor-sektor ekonomi yang padat karya, yang berpotensi menekan lapangan kerja dengan penurunan jumlah tenaga kerja hingga 0,94 persen.
"Hal ini tentu saja, kenaikan PPN 12 persen akan menekan produktivitas sektor industri, yang justru saat ini produktivitas sektoral harus ditingkatkan karena sebagai engine of growth tinggi. Terlebih dengan target pertumbuhan ekonomi di atas 5.2 persen hingga 8 persen,"ujarnya.
Meski kenaikan 1 persen PPN tampaknya kecil, kata Rizal, tetapi efeknya signifikan terhadap biaya hidup, terutama bagi kelompok menengah ke bawah yang menghabiskan sebagian besar penghasilan untuk konsumsi.
"Tantangan berupa penurunan daya beli dan konsumsi rumah tangga sebesar 0,26 persen serta perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga 0,17 persen setara dengan Rp 20,1 triliun perlu diperhatikan agar dampak negatifnya tidak menghambat pemulihan ekonomi,"ungkapnya.
Selain itu, lanjut Rizal, turunnya daya beli akan berimplikasi pada menghambatnya capaian target pertumbuhan ekonomi tahun 2025, yakni 5,2 persen. "Termasuk juga GNI per kapita. Yang notabene menjadi indikator makro penting dalam melihat kinerja ekonomi dan kesejahteraan,"terangnya.
Rizal mengingatkan, kenaikan PPN 12 persen tahun depan berpotensi menimbulkan kontraksi pertumbuhan ekonomi. "Sebaiknya ditunda dulu pelaksanaannya. Hingga kondisi ekonomi dan kinerja sektor ekonomi proper dengan berdampak terhadap pembentukan nilai tambah agregat yang tinggi guna mendukung pertumbuhan ekonomi tinggi,"pungkasnya.[]
Oleh: Rahmat
(Praktisi Pendidikan]