TintaSiyasi.id -- Almarhum Faisal Basri, Ekonom Senior dan Politikus menyatakan alasannya menjaga jarak dari kekuasaan adalah karena tak sanggup menghadapi gejolak di lingkungan sistem politik.
“Karena saya tidak sanggup untuk menghadapi itu, kalo saya ada di dalam, saya udah gila barangkali, kan,” ujarnya dalam tayangan ulang Kenangan Dua Jam Bersama Faisal Basri: Ekonom Lurus dan Bersahaja di kanal Youtube Refly Harun, Kamis (5/9/2024).
Ia mengatakan, sulit untuk mengubah sistem yang sedang berjalan saat ini jika dilakukan sendirian.
“Karena mengubah ini, jangan berambisi kita bisa mengubah secara individu, ga bisa, harus berjamaah,” terangnya tegas.
Faisal sendiri pernah menjabat sebagai Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) periode 1998-2000. Ia bercerita, kala itu dirinya berkorban untuk cuti sementara sebagai PNS dan hanya memiliki lima ratus ribu rupiah sebagai pendapatan utamanya. Dirinya mengakui dengan pendapatan sebesar itu, teramat berat untuk menghidupi dua orang anak dan satu orang istri.
“Nah, orang seperti itu masuk politik, nggak kriyip-kriyip matanya kalo ditawarin ratusan juta?” selorohnya.
Dari pengalamannya terjun ke dunia politik tersebut, Faisal merasa amat sulit mencoba memperbaiki rusaknya sistem politik di Indonesia.
“Karena lapisan pembaru itu masih tipis, sama yang ingin status quo,” jelasnya.
Namun, dibalik sitem perpolitikan yang rusak ini. Dirinya percaya masih banyak orang-orang baik yang nantinya mampu menyelesaikan permasalahan sistemik ini.
“Sejelek apa pun proses politik itu memunculkan manusia-manusia berkualitas yang makin banyak. Ya, kita bisa menyelesaikan masalah itu dengan sumber daya manusia yang ada, tetapi ya sangat disayangkan mereka itu masih jaga jarak gitu, orang-orang baik ini menjaga jarak gitu dan makin banyak aja saya lihat yang muda-muda itu untuk hijrah keluar.” jelasnya.
“Saya melihat sekarang social mobility itu sekarang rendah sekali. Jadi orang baik, tetapi tidak bisa mobilitas ke atas karena ditutup aksesnya oleh sistem itu, oleh sistem oligarki, oleh politik turunan, dinasti.” sambungnya.
Ia meyakini bahwa permasalahan mengenai social mobility ini dapat diselesaikan dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Ia menaruh harapan besar pada generasi muda terutama pada gen Z.
“Saya punya keyakinan bahwa gen Z ini ditambah post gen Z itu yang umurnya masih dibawah 9tahun, ini kan ujung tombak untuk menghadapi 2045 ini, kita jadi ulang tahun emas beneran gitu atau masih terseok-seok gini. Kalo saya lihat value-nya udah berubah,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa generasi muda tersebut akan menjadi kontrol sosial yang baik di masyarakat nantinya.
“Misalnya kalo ada keganjilan gitu ya, orang tuanya pegawai negeri, tetapi kok mobilnya banyak, rumahnya banyak, ayah korupsi ya. Udah bisa anak sekarang bilang gitu itu. Jadi, ada kontrol sosial, jadi social control yang lebih baik akan menghasilkan generasi yang lebih baik.” sambungnya
“Nah, generasi ini sekarang barangkali sedang merunduk. Mereka tidak mau langsung berhadapan dengan medan yang berat ini. Jadi, mereka undur diri, mereka hijrah dulu mencari apa, arena yang tidak menghadapi masalah-masalah seperti itu. Namun, suatu ketika kalo di call mereka akan berjuang demi ibu pertiwi.” harapnya optimis. [] Hima Dewi