Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Jangan Menyakiti Allah dan Rasulullah

Sabtu, 28 September 2024 | 23:14 WIB Last Updated 2024-09-28T16:14:40Z

Tintasiyasi.ID -- Guru Wahyudi Ibnu Yusuf, Pemimpin Pondok Pesantren Darul Ma'arif Kalimantan Selatan menyampaikan bahwa hati-hati, jangan menyakiti Allah dan Rasulullah.

"Hati-hati, jangan menyakiti Allah dan Rasulullah," unggahnya pada laman Facebook-nya Wahyudi Ibnu Yusuf Reborn, Jumat (20/09/2024).

Ia mengutip Al-Qur'an surah Al-Ahzab ayat 57 yang artinya, Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat. Serta menyiapkan bagi mereka siksaan yang menghinakan.

Ia juga mengutip pendapat Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur'an yang merupakan pendapat mayoritas ulama, menyatakan bahwa maksud dari menyakiti Allah adalah ingkar kepada-Nya, menyekutukan-Nya, menuduh Allah memiliki anak, mensifatinya dengan sifat yang tidak layak, seperti keyakinan orang-orang Nasrani yang menyatakan bahwa Al-Masih adalah anaknya Allah (Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran,  8/398). 

"Di zaman sekarang di antara bentuk menyakiti Allah adalah memuliakan orang-orang yang menyakiti Allah," ungkapnya. 

Ia menjelaskan bahwa memuliakan orang yang menuduh Allah memiliki anak, mencium tangan, dan kepalanya dengan maksud mendapat berkah, itu termasuk menyakiti Allah. 

"Padahal keberkahan pada agama tauhid, agama yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun jua. Itu lah dinul-Islam," lanjutnya. 

Ia juga menyampaikan bahwa menurut Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menyakiti Rasulullah menurut zahir ayat bersifat umum, berlaku pada apa saja (baik keyakina, perkataan, dan perbuatan) yang dapat menyakiti beliau. (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 3/1510)

"Apa saja yang dapat menyakiti Rasulullah, di antaranya: pertama, tidak berselawat saat nama beliau disebut; kedua, menghina, memfitnah, dan menuduh beliau dengan tuduhan yang keji; ketiga, tidak mempercayai kabar yang akan terjadi yang disampaikan oleh beliau, penaklukan Kota Roma, kembali berjayanya umat Islam di fase kelima (fase khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), Imam Mahdi dsb. Padahal Nabi kita tidak berkata berdasarkan khayalan atau hawa nafsu, yang beliau sampikan adalah wahyu. 

"Keempat, menganggap ada agama, ideologi, atau aturan hidup yang lebih baik dari apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad; kelima, mengabaikan Al-Quran dengan tidak mengimani, tidak mempelajari, tidak mentadaburi, tidak mengamalkan, termasuk menganggap Al-Quran setara atau bahkan lebih rendah dari ucapan atau aturan buatan manusia," tutupnya.[] Lilis

Opini

×
Berita Terbaru Update