TintaSiyasi.com -- Menanggapi makin meningkatnya jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengungkapkan bahwa itu menunjukkan adanya problem (masalah) sistemis.
"Menunjukkan ada problem sistemis di sini," jelasnya dalam Kabar Petang: Ada Andil Negara Atas Melesatnya Gangguan Jiwa? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (16/7/2024).
Maka dari itu, dia mengatakan tidak bisa hanya dengan membawa korban atau pasien untuk mendapatkan perawatan mental. Tetapi memang harus ada sistem yang melindungi pribadi dan keluarga sehingga mereka aman dari tekanan sosial, ekonomi, dan tekanan secara hukum.
"Memang harus perubahan sistemis," ujarnya.
Pengamat sosial politik itu menilai memang ada persoalan besar secara global hari ini. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) ada sekitar satu miliar orang di dunia ini mengalami gangguan jiwa (depresi, anxiety, bipolar dan lain-lain). Sedangkan di Indonesia, data Kementrian Kesehata menyatakan satu dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa.
"Berarti memang ada persoalan besar bukan hanya di Indonesia, tetapi juga secara global," katanya.
Ia mengatakan pemicu orang mengalami gangguan jiwa, karena mengalami berbagai macam tekanan, seperti tekanan ekonomi, sosial, konflik keluarga, dan sebagainya. Pemicu yang paling banyak, disebabkan keadaan ekonomi. Dunia pada hari ini memang terjadi ketimpangan. Satu kutub ada segelintir orang yang menguasai sekian puluh persen bahkan di atas 80 persen kekayaan dunia, sementara di sisi lain banyak orang yang mereka sangat menderita.
Hal itu, kata Iwan juga terjadi di Indonesia. Orang yang satu persen, bisa menguasai hampir 80 persen kekayaan nasional sementara sisanya harus bertarung untuk bisa bertahan hidup. Wajar kemudian muncul tekanan jiwa, depresi, stres, anxiety, ketakutan yang menyebabkan orang mengalami gangguan jiwa.
"Begitu peliknya kehidupan menyebabkan banyak orang akan mengkhawatirkan tentang masa depannya. Kalau kita lihat, ada sistem sosial yang tidak sehat, kemudian sistem ekonomi yang tidak sehat. Karena dengan jumlah yang begitu besar, ini berarti ada pemicu yang bukan datang semata-mata dari internal orang yang bersangkutan, tetapi juga dari faktor eksternal, yaitu sistem kehidupan yang sudah tidak sehat sehingga memproduksi gangguan jiwa di tengah masyarakat," jelasnya.
Sekularisme
Kasus ODGJ yang bukan lagi bersifat kasuistik, melainkan problem sistemis ini menurut Iwan berpangkal dari sistem kehidupan hari ini yang berbasis sekularisme, yaitu memarginalkan agama.
"Padahal, agama itu merupakan fondasi kehidupan yang bisa membuat seseorang yang secara pribadi dan kejiwaan itu dia kuat, dia tahu prinsip takdir, dia yakin prinsip tawakal, dia juga senantiasa ikhtiar, maka pijakannya adalah akidah atau iman," jelasnya.
Dia menyayangkan, dunia pendidikan saat ini hanya mengajarkan sebatas hapalan kepada anak didik, bukan untuk membentuk karakter islami, sehingga yang tertanam adalah karakter yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan hari ini, kata Iwan meniscayakan persaingan ekonomi yang sempurna. Rakyat dalam negara yang menganut sistem ini diminta berjuang sekuat tenaga untuk tetap bertahan dalam kondisi sesulit apa pun.
"Kondisi seperti ini dalam sistem demokrasi itu enggak diperhatikan. Karena negara hanya sebagai regulator. Karena secara ideologi, mereka sudah membatasi diri untuk tidak masuk ke dalam ranah privat atau keluarga ketika kemudian ada persoalan di sana," ujarnya.
Akibatnya, individu ataupun keluarga tidak punya sistem kehidupan yang bisa melindunginya dari berbagai macam tekanan (ekonomi, sosial, dan lain-lain). Kapitalisme yang membuat warga itu harus berjuang sendiri dengan minim dari negara atau pemerintah. Sementara lingkungan sosial juga sama.
"Jadi, ini sudah kondisi yang berpotensi besar dan terbukti menciptakan manusia yang penuh dengan gangguan kejiwaan," pungkasnya.[] Tenira