Tintasiyasi.ID -- Menjawab pertanyaan seorang hamba Allah di sebuah grup Whatsapp tentang kebolehan mengumumkan berita kematian di masjid atau medsos (media sosial), karena ada ustaz yang mengatakan jika mengumumkan berita kematian di medsos itu tidak boleh, Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. mengatakan bahwa hukum mengumumkan kematian itu boleh menurut syarak, selama tidak disertai hal-hal yang haram atau hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala jahiliah.
“Hukum mengumumkan kematian itu boleh menurut syarak, selama tidak disertai hal-hal yang haram, atau hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala jahiliah, misalnya disertai ratapan (al-niyahah), menangis dengan keras, dsb. Kebolehan ini bersifat umum, baik melalui pengeras suara di masjid, di sosmed (Facebook, Twitter, WA, Telegram), di media massa (TV, koran, majalah), dan sebagainya. (Hamzah ‘Abul Karim Hammad, Hukmu Al-Na’yi AlMutawaffā ‘Abra Wasā`il Al-Tawāshul Al-Ijtimā’i fi Al-Fiqh Al-Islāmi, dalam Majallah Al-Jāmi’ah Al-Islāmiyyah, Edisi 202, Tahun 1444 H, hlm. 597)," tuturnya menjelaskan dalam rubrik Kajian Soal Jawab Fiqih di YouTube NS LIVE, Kamis (25/07/2024).
Kiai Shiddiq menambahkan, “Hanya saja sebagian ulama
menyatakan makruh hukumnya mengumumkan kematian di masjid jika suaranya keras.
Jika suaranya tidak keras, hukumnya boleh. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40, hlm. 380). Uraian hukum syarak yang kami rajihkan
di atas, dapat dikaji secara detail dalam penjelasan berikut ini.”
Syekh Nashiruddin Al-Albani berkata:
وَيَجُوزُ إعلانُ الْوَفَاةِ إِذا لَمْ يَقْتَرِنْ بِهِ مَا يُشْبِهُ
نَعْيَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَقَدْ يَجِبْ ذَلِكَ إِذَا لَنا يَكُنْ عِنْدَهُ مَنْ
يَقُوْمُ بِحَ هِ مِنَ الْغُسْلِ وَالتَّكْفِيْنِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهَ وَنَحْوَ
ذَلِكَ
“Boleh hukumnya mengumumkan kematian
jika hal ini tidak disertai dengan hal-hal yang menyerupai pengumuman berita
kematian ala jahiliah. Hukumya bisa menjadi wajib, jika orang yang meninggal itu tidak
mempunyai orang yang menunaikan hak dia, seperti memandikan, mengafani, menyalatkan,
dan semisalnya.” (Nashiruddin Al-Albani, Ahkām Al-Janā`iz wa Bida’uhā,
hlm. 45).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
النَّعْيُ لَيْسَ مَمْنُوْعاً كُلَّهُ، وَإِنَّما نُهِيَ عَمَّا كَانَ
أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَصْنَعُوْنَهُ
“Tidak semua pengumuman berita kematian itu dilarang. Yang
dilarang itu hanyalah pengumuman berita kematian (al-na’yu) sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah.” (Imam Ibnu Hajar
Al-’Asqalani, Fathul Bāri Syara..h Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm.
140).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani lalu menjelaskan pengumuman
berita kematian (al-na’yu) ala jahiliah yang dilarang itu misalnya:
فَكَانُوا يُرْسِلُونَ مَنْ يُعْلِنُ بِخَبَرِ مَوْتِ المَيِّتِ عَلَى
أَبْوابِ الدَّوْرِ وَالْأَسْواقِ
“Maka mereka itu dulu biasa mengutus seseorang untuk
mengumumkan berita meninggalnya seseorang di pintu-pintu gerbang rumah dan
pintupintu pasar-pasar.”(Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bāri Syarah
Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm. 140).
Imam An-Nawawi menjelaskan hal serupa mengenai pengumuman
berita kematian (al-na’yu) ala jahiliah yang dilarang:
وَإِنَّمَا الْمُرَادُ النَّعْيُ الْجَاهِلِيَّةُ الْمُشْتَمِلُ عَلى
ذِكْرِ الْمَفَاخِرِ وَغَيْرِها
“Yang dimaksud (dengan pengumuman berita kematian yang dilarang),
adalah pengumuman kematian jahiliah yang mengandung penyebutan hal-hal yang membanggakan
(dari yang meninggal), dsb.”(Imam An-Nawawi, Syara..h Shahīh Muslim, Juz
VII, hlm. 21).
Dalil bolehnya al-na’yu (mengumumkan kematian) selama
tidak menyerupai tradisi jahiliah (seperti meratap [niyāhah], menangis
dengan keras, memukul-mukul pipi, membangga-banggakan kedudukan orangnya, dsb),
adalah hadis sbb :
1. Dalil Pertama
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَ بِمَوْتِ النَّجَاشِي فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ
فِيهِ ، فَخَرَجَ بهم إلى المُصَلَّى ، فصف بهمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا. متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw. mengumumkan kematian Raja Najasyi di hari wafatnya. Dan Nabi
saw. ke luar menuju musala bersama para. sahabat, lalu
mengimami mereka salat (gaib) dan beliau bertakbir sebanyak empat kali. (HR Bukhari dan Muslim)
2. Dalil Kedua
Dalil lainnya yang membolehkan al-na’yu
(mengumumkan kematian) selama tidak seperti yang dilakukan oleh kaum jahiliah,
adalah hadis sbb:
عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولَ اللهِ ﷺ أَلَا
أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي؟ إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا، حَتَّى
لَقُوا الْعَدُوِّ ، فَأَصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ،
فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ، ثُمَّ أَخَذَ اللوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ
فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شهيداً، أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ،
فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ الوَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ :::
فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتى أَصِيْبَ شَهِيداً فَاسْتَغْفِرُوا له . رواه أحمد
وصححه الأرناؤوط.
Dari Abu Qatadah ra., dia berkata, Nabi saw. bersabda, “Maukah aku beritahukan
kepadamu tentang tentara.. kamu dalam pera..ng ini (Perang Mu`tah)? Sungguh
mereka telah berangkat berperang hingga akhirnya bertemu musuh, lalu Zaid pun
syahid. Maka mintakanlah ampunan baginya. (Orang-orang pun memintakan ampunan
bagi Zaid). Kemudian Ja’far bin Abu Thalib mengambil alih liwa (panji hitam),
dan perang pun pecah hingga akhirnya Ja’far terbunuh sebagai syahid. Aku
bersaksi dia mendapat syahadah. Maka mintakanlah ampunan baginya. (Orang-orang
pun memintakan ampunan bagi Ja’far). Lalu liwa diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah
dan maka ia kokohkan kedua kakinya sampai dia terbunuh syahid, maka mintakanlah
ampunan baginya. (HR
Ahmad, dishahihkan oleh Syekh Syu’aib Al-Arna`uth)
3. Dalil Ketiga
Dalil lainnya yang membolehkan al-na’yu
(mengumumkan kematian) selama tidak seperti yang dilakukan oleh kaum jahiliah,
adalah hadis sbb:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ
شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ
عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ إِذَنْتُمُونِي قَالَ
فَكَأَنَّهُمْ صَغَرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ
فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوعَةٌ
ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ
بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada seorang
wanita berkulit hitam atau seorang pemuda yang biasanya menyapu masjid. Suatu
ketika Rasulullah saw. kehilangan orang itu, sehingga
beliau pun menanyakannya. Para sahabat menjawab, "Orang itu telah
meninggal." Rasulullah saw. bersabda, “Mengapa kalian tidak
memberitahukan kepadaku?" Sepertinya mereka menganggap remeh urusan
kematiannya. Rasulullah saw. pun bersabda, "Tunjukkanlah kepadaku di mana
letak kuburannya." Maka para sahabat pun menunjukkan kuburannya, dan
akhirnya beliau menyalatkannya. Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya
kuburan-kuburan ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah
benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena salat yang aku kerjakan atas
mereka. (HR. Muslim,
no. 1588)
Berdasarkan dalil-dalil hadis Nabi saw. di atas, jelaslah bahwa boleh
hukumnya pengumuman kematian itu (al-na’yu) jika hal ini tidak disertai
dengan hal-hal yang menyerupai pengumuman berita kematian ala jahiliah. Dengan demikian, kita dapat
memahami hadis Hudzaifah bin Al-Yaman ra. yang melarang pengumuman kematian (al-na’yu)
secara mutlak dalam hadis sbb:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ
كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ
أَفَلَا كُنْتُمْ إِذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَرُوا أَمْرَهَا أَوْ
أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ
قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوعَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
Huzaifah bin al-Yaman ra., dia berkata, ”Apabila aku meninggal, maka
janganlah kamu beritahukan kepada siapa pun, sesungguhnya aku khawatir itu adalah pengumuman kematian
(al-na’yu), padahal aku pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. melarang dari pengumuman kematian (al-na’yu).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis Hudzaifah bin Al-Yaman ra.
tersebut yang melarang pengumuman kematian (al-na’yu) secara mutlak,
sesungguhnya tidaklah demikian halnya, karena yang dilarang sesungguhnya
bukanlah pengumuman kematian (al-na’yu) itu sendiri, melainkan pengumuman
kematian (al-na’yu) yang mengikuti cara-cara kaum jahiliah. Maka tepat
sekali Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika berkata:
النَّعْيُ لَيْسَ مَمْنُوْعاً كُلَّهُ،
وَإِنَّما نُهِيَ عَمَّا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَصْنَعُوْنَهُ
“Tidak semua pengumuman berita
kematian itu dilarang. Yang dilarang itu hanyalah pengumuman berita kematian (al-na’yu)
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliah.” (Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul
Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhārī, Juz III, hlm. 140)
Secara lebih rinci, pengumuman berita kematian (al-na’yu)
itu ada 5 (lima) macam sbb: pertama, pengumuman kematian yang mubah; kedua,
pengumuman kematian yang sunah; ketiga, pengumuman kematian yang wajib; keempat,
pengumuman kematian yang makruh; kelima, pengumuman kematian yang haram.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40, hlm. 377-381).
Pertama, pengumuman kematian yang mubah. Adalah pengumuman kematian yang menurut
Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan
oleh syariah atau (عَمَلُ مُحَرَّمٌ),
yakni hal-hal seperti kebiasaan orang-orang jaman jahiliah dulu sebelum Islam,
misalnya mengutus seseorang untuk mengumumkan berita meninggalnya seseorang di
pintu-pintu gerbang rumah dan pintu-pintu pasar-pasar, ada niyāhah yaitu
ratapan, atau menangis dengan suara keras, menampar-nampar pipi, dan
sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40, hlm.
379).
Kedua, pengumuman kematian yang sunnah. Adalah pengumuman
kematian yang selain tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah
atau (عَمَلُ
مُحَرَّمٌ)
, ditujukan secara khusus kepada para tetangga (jiran) dan teman-teman (ashdiqa`).
Dan jika ada tujuan agar banyak orang yang menyalatkan jenazah orang yang
meninggal, kata Imam Nawawi, mengumumkan kematian hukumnya mustahab (sunah).
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40, hlm. 377)
Ketiga, pengumuman kematian yang wajib. Adalah pengumuman kematian ketika orang
yang meninggal itu tidak mempunyai orang yang menunaikan hak jenazah yang
sifatnya wajib, seperti memandikan, mengafani, menyalatkan, menguburkan,
menyelesaikan utang piutangnya, dan semisalnya. (Nashiruddin Al-Albani, Ahkām
Al-Janā`iz wa Bida’uhā, hlm. 45).
Keempat, pengumuman kematian yang makruh. Adalah pengumuman kematian yang
terdapat dalam dua bentuk : (1) Pengumumannya ditujukan kepada orang-orang selain teman (shadīq),
tetangga (jīrān) dan keluarga (qarīb). (2) Pengumumannya disertai
nidā` (seruan/ajakan) untuk menyalatkan orang yang meninggal, dsb.
Termasuk pengumuman yang dimakruhkan, adalah pengumuman kematian dengan suara
keras di masjid. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40,
hlm. 380)
Kelima, pengumuman kematian yang haram. Adalah pengumuman kematian yang
mengikuti tradisi kaum jahiliah, yang menurut ulama Hanabilah, cirinya disertai
dengan ratapan (an-nahīb), menangis dengan suara keras (al-bukā`
bishautin ‘ālin), menyebut-nyebut kebaikan orang yang meninggal dan
kehebatan-kehebatannya untuk tujuan membanggakan diri/pamer (al-mubāhāh),
dan menunjukkan kesedihan (izh-hār al-jaza’). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-40, hlm. 380). Wallahualam.[] Rere