TintaSiyasi.id -- Defisit Ganda atau double deficit adalah defisit dalam neraca transaksi berjalan atau current account deficit atau balance of payment dan defisit dalam APBN atau government budget balance. Ini berarti bahwa ekonomi nasional lebih besar uang keluar dari Indonesia dibandingkan uang masuk ke Indonesia dan angaran pemerintah juga demikian harus berhutang besar untuk menutupi kekurangan belanja dalam melanjutkan pemerintahan.
Jika ini terus berlanjut maka ekonomi Indonesia akan terkuras karena perdagangannya barang dan jasa defisit atau lebih banyak impor dari pada ekspor. Lebih banyak uang keluar dari Indonesia dibandingkan uang masuk karena pembayaran utang, bunga dan keuntungan investasi yang kabur ke luar negeri.
Demikian juga dengan anggaran pemerintah akan makin menyusut, menyempit, melemah terhadap kebutuhan, karena defisit ditutup dengan utang yang besar yang akirnya akan makin menyedot keuangan pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo beserta bunganya. Begitu seterusnya.
Bagaimana perkiraan current account deficit? Diperkirakan defisit akan melebar secara bertahap menjadi 0,9% pada tahun 2024 dan 1,5% pada tahun 2025, dari 0,3% pada tahun 2023, seiring dengan penurunan harga komoditas. Tantangan masa transisi 2025 lebih berat, sehingga perlu persiapan matang sekarang. Terutama berkaitan dengan penyusunan RAPBN tahun 2025 sekarang ini.
Bagaimana kondisi APBN itu sendiri? Fitch Rating menggambarkan rasio penerimaan umum pemerintah pada tahun 2022 sebesar 15,1% PDB, telah berbalik menjadi 14,3% pada tahun 2023, jauh di bawah median kategori nrgara peringkat utang 'BBB' sebesar 22,1%. Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan pendapatan seperti menaikkan tarif PPN sebesar 1% pada tahun 2022, yang seharusnya menghasilkan pendapatan tambahan sebesar 0,3% hingga 0,4% PDB tahun ini, namun diperkirakan penurunan harga komoditas akan memiliki dampak negatif yang lebih besar.
Kendala untuk membiayai defisit yang jauh lebih besar digambarkan Bank Indonesia yang membiayai setengah dari defisit normal yakni sebesar 6,1% pada puncak guncangan pandemi pada tahun 2020. Diperkirakan defisit akan meningkat menjadi 2,5% dari PDB pada tahun 2024, ketika sebagian besar pemerintahan saat ini masih berada dalam kondisi yang sulit. Ketidakpastian masih menyelimuti sehingga diperkirakan deficit akan sebesar 2,9% untuk tahun 2025. Ditambah ada kebutuhan anggaran yang besar untuk membiayai program dan proyek baru pemerintahan yang terpilih dalam Pilpres 2024.
Deficit ganda semacam ini akan membuat Indonesia makin tergantung dan sekaligus terkuras oleh pihak luar. Kemampuan keuangan dalam menopang pembangunan nasional makin menyempit karena tekanan yang besar dalam menutupi kewajiban eksternal. Sekarang Indonesia hanya mengandalkan kenaikan harga komoditas dalam membalance perdagangan internasional dan mengandalkan dana murah untuk membalance APBN. Namun kenaikan harga komoditas itu tidak dapat diharapkan dalam kondisi global yang resesi. Demikian dana murah menjadi mimpi disaat usaha Bank Sentral Amerika menaikan suku bunga dalam menarik uang dan mengatasi inflasi di AS.
Hilirisasi atau pembangunan Industri dasar menuai tantangan regulasi harga acuan komoditas. Satu sisi pemerintah tetap mengandalkan pendapatan dari sektor perdagangan komoditas, akan tetapi industrialisasi atau hilirusasi di dalam negeri membutuhkan harga komoditas murah untuk diberikan nilai tambah dalam industri nasional. Dalam hal hiliriisasi pemerintah harus menghilangkan konflik interest oligarki sumber daya alam yang merupakan elite terkuat di Indonesia saat ini. Regulasi yang kuat dalam sumber daya alam dan komoditas yang dihasilkanya adalah unsur penentu bagi Indonesia keluar dari kerangkeng defisit ganda yang berkepanjangan. Mudah mudahan. []
Oleh: Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia