Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pelita Makrifat menurut Ibnu Athaillah .

Selasa, 18 Juni 2024 | 05:29 WIB Last Updated 2024-06-17T22:29:31Z
Tintasiyasi.id.com -- Ibnu Athaillah al-Sakandari, seorang ulama besar dari Mesir yang terkenal dengan karya-karyanya dalam bidang tasawuf, memberikan pandangan yang mendalam tentang makrifat (pengetahuan atau pengenalan kepada Allah) dalam karyanya yang terkenal,

"Al-Hikam" (Kata-kata Bijak). Salah satu konsep yang diuraikannya adalah "Pelita Makrifat", yang mengacu pada pengetahuan spiritual yang mendalam dan pencerahan hati yang diperoleh melalui perjalanan tasawuf. Berikut adalah beberapa inti sari dari konsep tersebut menurut Ibnu Athaillah:

Pertama, makrifat sebagai cahaya Ilahi
Ibnu Athaillah menggambarkan makrifat sebagai cahaya yang menerangi hati dan jiwa. Cahaya ini adalah karunia dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang mencari-Nya dengan ikhlas dan tulus. Makrifat bukan hanya pengetahuan intelektual, tetapi lebih kepada pencerahan batin yang membawa seseorang lebih dekat kepada Allah.

Kedua, proses pembersihan diri
makrifat diperoleh melalui proses pembersihan diri (tazkiyah al-nafs). Hati harus dibersihkan dari segala penyakit spiritual seperti kesombongan, riya, dan cinta dunia. Ibnu Athaillah menekankan pentingnya mujahadah (usaha keras) dalam mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan ibadah serta zikir kepada Allah.

Ketiga, peran guru spiritual
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang guru (murshid) sangat penting. Ibnu Athaillah menekankan bahwa seorang murid membutuhkan bimbingan dari seorang guru yang telah mencapai tingkat makrifat. Guru tersebut membantu murid dalam menapaki jalan menuju Allah, memberikan nasihat, dan mengarahkan murid dalam ibadah dan zikir.

Keempat, fana’ dan baqa
Ibnu Athaillah sering berbicara tentang konsep fana’ (lenyapnya ego) dan baqa’ (kekal dalam Allah). Dalam makrifat, seorang hamba mencapai keadaan di mana ego dan keakuan lenyap, dan hanya Allah yang ada dalam kesadarannya. Ini adalah tahap di mana hamba merasa bersatu dengan kehendak Allah, segala tindakannya menjadi manifestasi dari kehendak Ilahi.

Kelima, cinta dan kerinduan kepada Allah. Makrifat juga ditandai dengan cinta yang mendalam dan kerinduan kepada Allah. Ibnu Athaillah menyatakan bahwa makrifat menumbuhkan rasa cinta yang tulus kepada Allah, yang melampaui segala bentuk cinta duniawi. Cinta ini memotivasi hamba untuk selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridha-Nya.

Keenam, zikir sebagai zarana makrifat.
Ibnu Athaillah menekankan pentingnya zikir (mengingat Allah) dalam mencapai makrifat. Zikir adalah sarana utama untuk membersihkan hati dan mengisinya dengan cahaya Ilahi. Melalui zikir yang terus-menerus, hati menjadi lebih peka terhadap kehadiran Allah dan lebih mampu menerima pencerahan spiritual.

Ketujuh, kesadaran akan ketiadaan diri.
Salah satu hikmah penting dari makrifat adalah kesadaran akan ketiadaan diri (self-annihilation). Seorang yang mencapai makrifat menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang lemah dan segala sesuatu yang dimilikinya berasal dari Allah. Kesadaran ini membawa kepada tawadhu’ (kerendahan hati) dan sikap tawakkal (berserah diri) yang total kepada Allah.

Makrifat menurut Ibnu Athaillah adalah pencerahan spiritual yang dalam, yang hanya dapat dicapai melalui proses yang serius dalam ibadah, pembersihan diri, dan zikir yang tulus. Ini adalah cahaya Ilahi yang menerangi hati dan membawa seorang hamba lebih dekat kepada Allah, dengan perasaan cinta, kerinduan, dan kesadaran akan kebesaran-Nya. Pelita Makrifat adalah simbol dari perjalanan spiritual yang penuh makna dan tujuan, yang mengarahkan seorang Muslim untuk selalu mencari ridha dan kedekatan dengan Allah.

Seorang hamba ketika mencari pelita makrifat ia harus memiliki usaha sungguh-sungguh dan kerendahan hati.

Benar sekali, seorang hamba yang mencari pelita makrifat harus memiliki usaha yang sungguh-sungguh dan kerendahan hati. Makrifat, atau pengenalan mendalam kepada Allah, tidak bisa dicapai tanpa kesungguhan dalam ibadah dan ketulusan dalam hati. Berikut adalah beberapa poin yang menjelaskan bagaimana usaha sungguh-sungguh dan kerendahan hati berperan dalam pencarian makrifat:

Usaha Sungguh-Sungguh (Mujahadah)

Pertama, Ibadah yang Konsisten dan Khusyuk.

- Shalat lima waktu, shalat sunnah, puasa, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya harus dilakukan dengan penuh konsentrasi dan penghayatan. Konsistensi dalam ibadah menunjukkan keseriusan kita dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua, Zikir dan Doa.

- Melakukan zikir dan doa secara rutin adalah cara untuk selalu mengingat Allah dan memohon petunjuk-Nya. Zikir membantu membersihkan hati dari kotoran dunia dan mendekatkannya kepada cahaya Ilahi.

Ketiga, Menuntut Ilmu.

- Mencari ilmu, terutama ilmu agama, adalah bagian penting dari mujahadah. Dengan memahami ajaran-ajaran Islam lebih mendalam, kita bisa lebih mengetahui cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Keempat, Mengendalikan Hawa Nafsu.

- Mengendalikan hawa nafsu adalah salah satu bentuk mujahadah yang paling berat. Ini termasuk menjauhi maksiat, menjaga diri dari godaan dunia, dan melatih diri untuk selalu taat kepada Allah.

Kelima, Sabar dan Istiqamah.

- Kesabaran dan istiqamah (konsistensi) dalam beribadah dan menghadapi ujian hidup sangat penting. Allah menguji hamba-Nya dengan berbagai cobaan, dan kesabaran dalam menghadapinya adalah tanda kesungguhan kita dalam mencari makrifat.

Kerendahan Hati (Tawadhu’)

Pertama, Menyadari Kelemahan Diri.

- Seorang hamba harus menyadari bahwa dirinya lemah dan tidak berdaya tanpa pertolongan Allah. Kesadaran ini membawa kepada sikap tawadhu’, yaitu rendah hati dan tidak sombong.

Kedua, Mengakui Keagungan Allah.

- Kerendahan hati tercermin dari pengakuan akan kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa segala kekuatan, ilmu, dan kemampuan kita berasal dari Allah.

Ketiga, Bersikap Sopan dan Santun.

- Sikap sopan dan santun kepada sesama manusia adalah cerminan dari kerendahan hati. Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik dalam hal ini, beliau selalu bersikap lembut dan menghormati orang lain.

Keempat, Menerima Nasihat dan Kritik.

- Seorang hamba yang tawadhu’ akan selalu terbuka terhadap nasihat dan kritik. Mereka tidak merasa lebih baik dari orang lain dan selalu siap untuk memperbaiki diri.

Kelima, Berserah Diri kepada Allah.

- Tawakkal, atau berserah diri kepada Allah, adalah bentuk kerendahan hati yang paling tinggi. Ini berarti kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah atas kehendak Allah dan kita menerima dengan lapang dada.

Mencari pelita makrifat membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dalam beribadah dan mengendalikan diri, serta kerendahan hati dalam setiap tindakan dan sikap. Mujahadah dan tawadhu’ adalah dua elemen penting yang harus dimiliki oleh seorang hamba yang ingin mencapai makrifat. Dengan usaha yang sungguh-sungguh dan hati yang ikhlas serta rendah hati, seorang hamba bisa meraih pencerahan spiritual dan kedekatan yang lebih intim dengan Allah SWT.

MembakarNafsu dan Inabah ( Kembali kepada Allah SWT )

Dalam konteks tasawuf dan spiritualitas Islam, "membakar nafsu" dan "inabah" (kembali kepada Allah SWT) adalah konsep yang sangat penting. Keduanya merupakan bagian dari proses penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai kedua konsep tersebut:

Membakar Nafsu

"Membakar nafsu" merujuk pada upaya keras untuk mengendalikan dan menaklukkan hawa nafsu yang sering kali membawa manusia kepada dosa dan kelalaian. Nafsu dalam Islam sering dikategorikan sebagai sesuatu yang negatif jika tidak dikendalikan, karena dapat menjauhkan seseorang dari jalan yang benar. Proses ini melibatkan:

Pertama, Mujahadah (Berjuang Melawan Nafsu).

- Ibadah yang Konsisten: Menjalankan shalat, puasa, zakat, dan haji dengan konsisten dan khusyuk membantu mengendalikan nafsu.

- Zikir dan Doa: Membantu menjaga hati agar selalu mengingat Allah dan menenangkan jiwa dari godaan nafsu.

- Puasa Sunnah: Selain puasa wajib di bulan Ramadhan, puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis dapat membantu mengekang nafsu dan melatih disiplin diri.

Kedua, Menjauhi Maksiat dan Dosa.

- Menghindari Lingkungan yang Buruk: Menjauhkan diri dari lingkungan yang bisa memicu nafsu negatif.

- Menjaga Pandangan dan Pendengaran: Mengontrol apa yang dilihat dan didengar agar tidak tergoda oleh hal-hal yang dilarang.

Ketiga, Menguatkan Akidah dan Akhlak.

- Menuntut Ilmu Agama: Dengan pemahaman agama yang baik, seseorang lebih mampu mengendalikan nafsu sesuai dengan ajaran Islam.

- Memperbaiki Akhlak: Berusaha untuk selalu berbuat baik, jujur, dan adil dalam segala tindakan.

Inabah (Kembali kepada Allah SWT)

"Inabah" adalah istilah dalam tasawuf yang berarti kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan, serta bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut. Inabah adalah langkah penting dalam proses taubat dan pembaruan diri. Berikut adalah langkah-langkah dalam inabah:

Pertama, Taubat Nasuha.

- Menyesali Dosa: Merasa menyesal atas dosa yang telah diperbuat.

- Meninggalkan Dosa: Berhenti dari perbuatan dosa dan bertekad untuk tidak mengulanginya.

- Memohon Ampunan: Berdoa dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah dilakukan.

- Mengganti Perbuatan Buruk dengan Perbuatan Baik: Berusaha untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak untuk menutupi dosa yang telah dilakukan.

Kedua, Istiqamah dalam Kebaikan:

- Konsisten dalam Ibadah: Melakukan ibadah dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

- Berusaha untuk Selalu di Jalan yang Benar: Menjaga diri agar selalu berada di jalan yang diridhai Allah.

Ketiga, Menguatkan Hubungan dengan Allah:

- Dzikir dan Doa: Selalu mengingat Allah dalam setiap aktivitas sehari-hari.

- Merenungkan Kebesaran Allah: Memperbanyak tafakur (merenung) tentang ciptaan Allah dan kebesaran-Nya.

Keempat, Memperbaiki Diri dan Lingkungan:

- Menjadi Teladan yang Baik: Berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi keluarga dan masyarakat.

- Mengajak Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran: Aktif dalam mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk.

Membakar nafsu dan inabah adalah dua aspek penting dalam perjalanan spiritual seorang Muslim. Membakar nafsu melibatkan usaha keras dan disiplin untuk mengendalikan keinginan dan godaan duniawi yang dapat menjauhkan kita dari Allah.

Sementara itu, inabah adalah proses kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan dan tekad untuk memperbaiki diri. Keduanya memerlukan kesungguhan hati, kesabaran, dan komitmen yang kuat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah SWT.

Kesabaran dan Banyak Bersyukur kepada Allah SWT

Kesabaran (sabr) dan bersyukur (shukr) kepada Allah SWT adalah dua konsep yang sangat penting dalam Islam, yang membantu seorang Muslim dalam menghadapi berbagai ujian dan menghargai nikmat yang diberikan oleh Allah. Berikut adalah penjelasan mengenai kedua konsep tersebut:

Kesabaran (Sabr)

Kesabaran (sabr) dalam Islam bukan hanya sekedar menahan diri dari keluhan atau keputusasaan dalam menghadapi ujian, tetapi juga mencakup sikap tekun dan sabar dalam menjalani ketaatan kepada Allah SWT. Berikut adalah beberapa aspek kesabaran:

Pertama, Sabar dalam Ujian dan Cobaan:

- Kesabaran adalah sikap yang penting dalam menghadapi ujian hidup seperti penyakit, kehilangan, atau cobaan lainnya. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

Kedua, Sabar dalam Ketaatan kepada Allah:

- Menjaga kesabaran dalam menjalankan kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya, meskipun terkadang mungkin berat atau menyulitkan.

Ketiga, Sabar dalam Menjauhi Dosa:

- Mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi perbuatan dosa membutuhkan kesabaran yang besar. Ini mencakup menahan diri dari godaan dan menghadapi tekanan untuk melanggar perintah Allah.

Keempat, Sabar dalam Berinteraksi dengan Orang Lain:

- Menghadapi konflik, ketidaksetujuan, atau kesulitan dalam hubungan dengan orang lain dengan sabar dan penuh pengendalian diri.

Kelima, Sabar dalam Meraih Tujuan:

- Mencapai tujuan yang baik dan menjalani proses perbaikan diri dengan sabar, tanpa terburu-buru atau kehilangan harapan.

Bersyukur (Shukr)

Bersyukur (shukr) kepada Allah SWT adalah sikap mengakui dan menghargai nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepada kita, baik berupa nikmat fisik, materiil, maupun spiritual. Berikut adalah aspek-aspek bersyukur:

Pertama, Mengakui Nikmat-Nikmat Allah:

- Bersyukur artinya menyadari dan mengakui segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita sehari-hari, seperti kesehatan, rezeki, keluarga, dan keamanan.

Kedua, Menggunakan Nikmat-Nikmat dengan Baik:

- Menggunakan segala nikmat yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya, tanpa berlebihan atau menyia-nyiakan.

Ketiga, Menyebarkan Kebaikan:

- Membagikan nikmat yang kita terima kepada orang lain atau memanfaatkannya untuk kebaikan bersama.

Keempat, Bersyukur dalam Kesusahan:

- Bersyukur tidak hanya di saat senang dan bahagia, tetapi juga di saat sedang mengalami kesulitan atau penderitaan. Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya." (QS. Ibrahim: 34)

Kelima, Bersyukur dengan Tindakan dan Lisan:

- Melakukan perbuatan syukur dengan beribadah, berdzikir, dan mengucapkan terima kasih kepada Allah.

Hubungan Antara Sabr dan Shukr

Kesabaran (sabr) dan bersyukur (shukr) saling terkait dalam praktik spiritual seorang Muslim. Ketika seseorang mengalami ujian atau cobaan, ia perlu bersabar dalam menghadapinya dan pada saat yang bersamaan tetap bersyukur atas segala nikmat yang masih dimilikinya. Sabar membantu menghadapi ujian dengan tenang dan penuh keteguhan hati, sedangkan bersyukur mengingatkan kita untuk tidak mengambil nikmat yang diberikan Allah dengan sebelah mata.

Kesabaran (sabr) dan bersyukur (shukr) merupakan dua sikap yang sangat penting dalam Islam. Sabar membantu kita menghadapi ujian dan cobaan dengan tenang dan tekun, sedangkan bersyukur mengajarkan kita untuk mengakui dan menghargai segala nikmat yang diberikan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempraktikkan kedua sikap ini, seorang Muslim dapat memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupannya.

Keridhaan dengan Ketetapan-Ketetapan Allah SWT.

Keridhaan dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT merupakan sikap yang sangat penting dalam Islam, yang mencerminkan kepatuhan dan kepercayaan penuh kepada kebijaksanaan dan rencana Allah dalam mengatur segala sesuatu di alam semesta ini. 

Berikut adalah beberapa aspek yang terkait dengan konsep ini:
Pengertian Keridhaan dengan Ketetapan Allah SWT

Pertama, Kepatuhan dan Ketaatan. Merupakan sikap untuk menerima segala ketentuan dan ketetapan Allah SWT tanpa rasa keberatan atau penolakan, baik dalam hal ujian, kesulitan, maupun hal-hal yang menyenangkan.

Kedua, Tawakkal dan Keyakinan. Tawakkal adalah meletakkan kepercayaan penuh kepada Allah SWT, bahwa setiap ketetapan-Nya adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Ini mencerminkan keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT tahu apa yang terbaik untuk kita.

Ketiga, Menerima Qada dan Qadar. Qada dan Qadar merujuk pada ketentuan dan takdir Allah SWT atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita. Sebagai hamba yang ridha, kita harus menerima baik buruknya kejadian sesuai dengan rencana Allah SWT.

Aspek-aspek Penting dalam Keridhaan

Pertama, Reda dalam Ujian dan Cobaan. Ketika menghadapi ujian atau cobaan, seorang Muslim yang ridha dengan ketetapan Allah akan menerima dengan sabar dan menghadapinya dengan ikhlas, tanpa mengeluh atau merasa putus asa.

Kedua, Syukur dalam Kenikmatan: Saat menikmati nikmat dan kebahagiaan dalam hidup, keridhaan dengan ketetapan Allah berarti mengakui bahwa semua itu adalah anugerah-Nya yang patut disyukuri.

Ketiga, Menerima Nasib dengan Lapang Dada. Apapun yang menjadi nasib atau keadaan kita, baik dalam hal kesehatan, kekayaan, atau kebahagiaan, seorang Muslim yang ridha akan menerima dengan hati yang lapang.

Keempat, Menghindari Rasa Penolakan dan Pemberontakan. Tidak ada tempat untuk rasa penolakan atau pemberontakan terhadap keputusan Allah. Sebaliknya, kita harus mencari hikmah di balik setiap ketetapan-Nya.

Kelima, Meningkatkan Iman dan Tawakkal. Keridhaan dengan ketetapan Allah merupakan cara untuk memperkuat iman dan tawakkal kita kepada-Nya. Dengan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna, kita bisa lebih tenang dan mantap dalam menjalani kehidupan.

Contoh dari Al-Qur'an dan Sunnah

- Surah Al-Baqarah (2:216): "Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan mungkin (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

- Hadis Rasulullah SAW: "Ajaib bagi orang mukmin, sesungguhnya segala urusannya adalah baik baginya. Ini hanya berlaku bagi orang mukmin, tidak ada bagi orang kafir. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya." (HR Muslim)

Kesimpulan

Keridhaan dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT merupakan sikap yang mencerminkan ketaatan, tawakkal, dan keimanan yang kuat kepada Allah. Ini adalah bentuk penerimaan yang penuh pengertian bahwa segala sesuatu yang Allah atur adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Dengan memperkuat sikap ini dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim dapat mencapai ketenangan dan kebahagiaan batin yang lebih dalam serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Oleh: DR Nasrul Syarif M.Si.
(Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku BIGWIN)

Opini

×
Berita Terbaru Update