Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

UIY: Lebih Baik Tidak Menghukum Orang yang Bersalah daripada Salah Menghukum

Senin, 17 November 2025 | 07:48 WIB Last Updated 2025-11-17T00:48:04Z

TintaSiyasi.id -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada salah menghukum. “Lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada salah menghukum,” ujarnya dalam wawancara di kanal YouTube pribadinya UIY Official, Jumat (07/11/2025).

 

Hal tersebut ia sampaikan sebagai tanggapan mengenai kaidah hukum al-ashlu bara'atu dzimmah bahwa seseorang itu bebas dari tanggungan atau tidak bersalah yang tertulis dalam buku Khilafah Memahami Sistem Politik dan Pemerintahan Islam.  

 

"Karena kalau tidak menghukum orang yang bersalah karena cukup bukti itu urusannya dia yang bertanggung jawab sampai ke negeri akhirat, tetapi kalau salah menghukum itu dia yang bertanggung jawab di dunia dan di akhirat," terangnya.

 

"Di dalam Islam ada yang disebut ahkamul bayyinah yaitu hukum pembuktian. Orang itu baru dinyatakan bersalah kalau memang betul-betul terbukti bersalah, berlakulah apa yang disebut sekarang ini asas praduga tak bersalah" jelasnya.

 

UIY mengatakan bahwa hukum Islam itu mengatur perkara sanksi sedemikian rupa sehingga maksimal  bagi pelaku kejahatan.

 

"Hukuman dalam Islam itu adalah hukuman yang kalau bahasa sekarang itu yang maksimal, gitu," ujarnya.

 

"Katakanlah kalau mencuri lebih dari seperempat dinar itu potong tangan gitu. Kalau dia itu membunuh, sengaja, itu harus bersiap diri kena kisas. Kisas itu qatlu qatli (membunuh pembunuh) dan kalaupun diberi maaf, dia kena diat sampai 1.000 dinar. Karena itu penting sekali memastikan bahwa orang ini betul-betul bersalah," sambungnya.

 

UIY menjelaskan dalam Islam juga mengatur macam-macam pembuktian untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak. “Salah satunya adalah pengakuan,” sebutnya.

 

"Nah, pengakuan ini yang hampir-hampir sekarang ini jarang dilakukan karena tidak ada perkara yang membuat mereka harus ngaku" tambahnya.

 

Ia menyontohkan kasus Ma'iz bin Malik Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah dalam pengakuannya kepada Rasulullah kala itu bahwa dirinya telah berzina. “Pengakuan inilah yang kemudian mendasari Rasulullah menjatuhi hukuman atas tindakan mereka,” ungkap UIY.

 

"Kalau dalam Islam ada yang disebut jawabir yaitu hukuman di dunia itu akan menjadi kafarat di akhirat, penebusan. Jadi dia akan terdorong untung mengaku sebagaimana yang dialami Ma'iz bin Malik Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah,” bebernya.

 

“Nah, pengakuan itu yang memastikan dia bersalah. Andai tidak mengaku sebagaimana para sahabat datang, bahkan andai bersumpah tiga kali mungkin akan selamat, tetapi karena dengan iman itu dia menolak. Karena bisa saja selamat di dunia tapi tidak selamat di akhirat," paparnya.

 

Sama halnya dengan perkara saksi, UIY menyebut jika Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman. “Bahkan kasus Ali bin Abi Thalib yang berseteru dengan orang Yahudi sempat ditolak persaksiannya karena saksi berasal dari kalangan keluarga,” kisahnya.

 

"Ini kan menunjukkan bahwa bisa saja saksi memberatkan pencuri itu. Ini kan yang sekaligus menunjukkan hati-hatinya Islam itu di dalam menetapkan seseorang bersalah sampai-sampai saksi yang dia tidak berbohong, benar, tidak diterima, dan Ali juga menerima," kisahnya.

 

Dalam kasus ini, lanjutnya, sebagai khalifah, Ali menerima peradilan yang terjadi hingga kemudian membuat Yahudi tersebut akhirnya mengakui tindakan pencurian yang dilakukannya.

 

“Sebagai khalifah, Ali tidak menggunakan kekuasaannya untuk semena-mena terhadap peradilan yang berlaku seperti yang saat ini sering terjadi. Justru penerimaannyalah yang membuat Yahudi kagum atas sistem peradilan Islam yang sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman,” pungkasnya.[] Hima Dewi


Opini

×
Berita Terbaru Update