Hal tersebut ia sampaikan sebagai
tanggapan mengenai kaidah hukum al-ashlu bara'atu dzimmah bahwa
seseorang itu bebas dari tanggungan atau tidak bersalah yang tertulis dalam
buku Khilafah Memahami Sistem Politik dan Pemerintahan Islam.
"Karena kalau tidak menghukum
orang yang bersalah karena cukup bukti itu urusannya dia yang bertanggung jawab
sampai ke negeri akhirat, tetapi kalau salah menghukum itu dia yang bertanggung
jawab di dunia dan di akhirat," terangnya.
"Di dalam Islam ada yang disebut
ahkamul bayyinah yaitu hukum pembuktian. Orang itu baru dinyatakan
bersalah kalau memang betul-betul terbukti bersalah, berlakulah apa yang
disebut sekarang ini asas praduga tak bersalah" jelasnya.
UIY mengatakan bahwa hukum Islam itu
mengatur perkara sanksi sedemikian rupa sehingga maksimal bagi pelaku kejahatan.
"Hukuman dalam Islam itu adalah
hukuman yang kalau bahasa sekarang itu yang maksimal, gitu," ujarnya.
"Katakanlah kalau mencuri lebih
dari seperempat dinar itu potong tangan gitu. Kalau dia itu membunuh, sengaja,
itu harus bersiap diri kena kisas. Kisas itu qatlu qatli (membunuh
pembunuh) dan kalaupun diberi maaf, dia kena diat sampai 1.000 dinar. Karena
itu penting sekali memastikan bahwa orang ini betul-betul bersalah,"
sambungnya.
UIY menjelaskan dalam Islam juga
mengatur macam-macam pembuktian untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak.
“Salah satunya adalah pengakuan,” sebutnya.
"Nah, pengakuan ini yang
hampir-hampir sekarang ini jarang dilakukan karena tidak ada perkara yang
membuat mereka harus ngaku" tambahnya.
Ia menyontohkan kasus Ma'iz bin Malik
Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah dalam pengakuannya kepada Rasulullah kala itu bahwa
dirinya telah berzina. “Pengakuan inilah yang kemudian mendasari Rasulullah
menjatuhi hukuman atas tindakan mereka,” ungkap UIY.
"Kalau dalam Islam ada yang
disebut jawabir yaitu hukuman di dunia itu akan menjadi kafarat di
akhirat, penebusan. Jadi dia akan terdorong untung mengaku sebagaimana yang
dialami Ma'iz bin Malik Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah,” bebernya.
“Nah, pengakuan itu yang memastikan
dia bersalah. Andai tidak mengaku sebagaimana para sahabat datang, bahkan andai
bersumpah tiga kali mungkin akan selamat, tetapi karena dengan iman itu dia
menolak. Karena bisa saja selamat di dunia tapi tidak selamat di akhirat,"
paparnya.
Sama halnya dengan perkara saksi, UIY
menyebut jika Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman. “Bahkan
kasus Ali bin Abi Thalib yang berseteru dengan orang Yahudi sempat ditolak
persaksiannya karena saksi berasal dari kalangan keluarga,” kisahnya.
"Ini kan menunjukkan bahwa bisa
saja saksi memberatkan pencuri itu. Ini kan yang sekaligus menunjukkan
hati-hatinya Islam itu di dalam menetapkan seseorang bersalah sampai-sampai
saksi yang dia tidak berbohong, benar, tidak diterima, dan Ali juga
menerima," kisahnya.
Dalam kasus ini, lanjutnya, sebagai
khalifah, Ali menerima peradilan yang terjadi hingga kemudian membuat Yahudi
tersebut akhirnya mengakui tindakan pencurian yang dilakukannya.
“Sebagai khalifah, Ali tidak
menggunakan kekuasaannya untuk semena-mena terhadap peradilan yang berlaku
seperti yang saat ini sering terjadi. Justru penerimaannyalah yang membuat Yahudi
kagum atas sistem peradilan Islam yang sangat berhati-hati dalam menjatuhkan
hukuman,” pungkasnya.[] Hima Dewi
