TintaSiyasi.id -- Fenomena perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren mengkhawatirkan. Angka perceraian meningkat tajam di berbagai daerah, bahkan di beberapa wilayah mencapai ribuan kasus per tahun. PA Bojonegoro mencatat, hanya dalam 10 bulan pertama tahun 2025 sudah ada 2.240 perkara perceraian yang diputus, mayoritas karena gugatan dari pihak istri (pa-bojonegoro.go.id). Di tingkat nasional, Kompas.id (4 November 2025) melaporkan tren serupa: angka pernikahan menurun, sementara perceraian—terutama cerai gugat—melonjak drastis.
Bukan hanya pasangan muda yang mudah menyerah dalam rumah tangga. Detik.com (4 November 2025) menyoroti fenomena baru bernama “grey divorce”, perceraian di usia senja yang semakin sering terjadi. Pasangan yang sudah puluhan tahun menikah kini juga banyak memilih berpisah. Di sisi lain, CNBC Indonesia (30 Oktober 2025) mencatat setidaknya ada 13 faktor utama pemicu perceraian, mulai dari pertengkaran, ekonomi, KDRT, hingga perselingkuhan. Bahkan fenomena “judol” (judi online) ikut memperparah masalah keuangan dan mental dalam keluarga.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pernikahan, yang seharusnya menjadi benteng pertama bagi ketahanan masyarakat, kini justru menjadi titik rawan kehancuran sosial.
Lemahnya Pemahaman tentang Makna Pernikahan
Penyebab utama maraknya perceraian bukan sekadar faktor ekonomi atau perselingkuhan, melainkan lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan. Pernikahan dalam pandangan Islam adalah mitsaqan ghaliza—perjanjian yang kokoh—bukan kontrak emosional yang bisa dibatalkan saat kecewa atau bosan. Namun di tengah arus sekularisme, makna sakral ini tereduksi menjadi hubungan pragmatis, tempat mencari kenyamanan atau pemuasan diri.
VOI.id (3 November 2025) menyoroti tren meningkatnya cerai gugat karena perempuan kini dianggap “lebih mandiri” secara ekonomi. Kemandirian ekonomi tentu bukan masalah, tetapi ketika disertai dengan pandangan hidup individualistik, keluarga kehilangan semangat saling menanggung beban. Pasangan mudah merasa cukup hidup sendiri tanpa rasa tanggung jawab sosial dan moral terhadap pasangannya.
Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalistik dalam Menjaga Keluarga
Jika ditelusuri lebih dalam, meningkatnya perceraian adalah buah dari negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalistik yang menanamkan nilai-nilai materialisme dan kebebasan individual ke dalam sendi-sendi kehidupan. Dalam sistem ini, ukuran kebahagiaan ditentukan oleh harta, karier, dan kepuasan pribadi, bukan oleh keberkahan rumah tangga dan ketakwaan kepada Allah.
Sistem pendidikan sekuler juga gagal membentuk kesiapan emosional dan spiritual generasi muda sebelum menikah. Pendidikan hanya mengajarkan bagaimana mencari pekerjaan, bukan bagaimana membangun keluarga. Padahal, persiapan mental, spiritual, dan moral jauh lebih penting daripada kesiapan materi.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik menekan keluarga dengan biaya hidup yang tinggi, sementara kesejahteraan tidak dijamin oleh negara. Akibatnya, banyak keluarga rentan terhadap konflik karena stres ekonomi. Ketika masalah muncul, sistem sosial tidak memberikan solusi berbasis syariat Islam, tetapi mendorong individu untuk “menyelesaikan sendiri”—bahkan jika itu berarti berpisah.
Inilah realitas pahit masyarakat yang hidup di bawah paradigma sekuler: keluarga kehilangan arah, dan generasi yang lahir darinya tumbuh tanpa pondasi nilai yang kuat.
Islam: Menegakkan Ketahanan Keluarga dan Generasi
Islam memandang keluarga sebagai institusi utama pembentuk peradaban. Maka, ketahanan keluarga tidak bisa dibiarkan bergantung pada kesadaran individu semata. Ia harus dibangun melalui sistem negara yang menanamkan nilai Islam secara menyeluruh: dalam pendidikan, pergaulan sosial, dan politik ekonomi kehidupan bernegara.
Sistem pendidikan Islam membina kepribadian Islam yang kokoh sejak dini. Anak dididik untuk memahami makna hidup, tanggung jawab, dan peran keluarga dalam masyarakat. Pendidikan Islam tidak berhenti di pengetahuan, tetapi menanamkan akhlak dan kesiapan ruhiyah untuk menjadi suami, istri, dan orang tua yang bertakwa.
Sistem pergaulan Islam menjaga interaksi laki-laki dan perempuan dalam batas syar’i, mencegah pergaulan bebas, serta memuliakan lembaga pernikahan. Hubungan dalam rumah tangga pun dibangun atas dasar ketakwaan, bukan hawa nafsu. Konflik diselesaikan dengan musyawarah dan bimbingan agama, bukan dengan emosi atau tuntutan materi.
Sistem politik ekonomi Islam menjamin kesejahteraan keluarga. Negara berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar rakyat—sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan—sehingga tekanan ekonomi tidak menjadi pemicu perceraian. Dalam Islam, kesejahteraan bukan sekadar hasil kerja keras individu, tetapi tanggung jawab kolektif di bawah kepemimpinan yang amanah. Jika ada yang bertanya, lalu dari mana negara memiliki dana untuk membiayai itu semua? Di sinilah letak keunggulan syariat Islam. Ia memiliki segenap konsep ekonomi-politik yang khas, mulai dari pengelolaan harta, pembagian jenis-jenis kepemilikan atas SDA (negara, umum, dan individu), dan distribusi maliyah yang sudah tercatat rapi dalam dalil-dalil syara’. Justru mengherankan jika kaum Muslim yang sudah ribuan tahun mengenal kegemilangan syariat Islam ketika diterapkan, kini menolak penerapannya. Sungguh mengherankan
Oleh: Prayudisti SP
Aktivis Muslimah