Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Karhutla: Puisi Duka dari Hutan yang Dijual Kapitalisme

Minggu, 16 November 2025 | 22:24 WIB Last Updated 2025-11-16T15:24:53Z
TintaSiyasi.id -- Pohon-pohon yang dulu berzikir kini rebah dalam diam, sementara manusia sibuk bernegosiasi atas izin dan kompensasi. Diantara asap yang menyesakkan, kita menyadari: bukan kemarau yang membakar, tapi keserakahan yang disistemkan.

Karhutla kembali jadi headline, seolah tragedi musiman yang tak pernah benar-benar selesai.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan baru saja menerima dana REDD+ sebesar US$3,4 juta untuk rehabilitasi hutan dan penanganan karhutla — sebagaimana diberitakan Media Indonesia (4/11/2025).

Beberapa hari kemudian, Koran Jakarta (7/11/ 2025) melaporkan aksi penanaman 1.500 pohon belangeran dan eucalyptus di Embung Lokudat, Banjarbaru, sebagai bagian mitigasi kebakaran.
Angka-angka ini terdengar menjanjikan, tapi di baliknya tersimpan ironi: dunia terus membayar untuk memulihkan apa yang sistem kapitalisme rusak sejak awal.

Rehabilitasi terus berjalan, namun api ideologi tetap menyala — selama paradigma pengelolaan hutan masih berpijak pada untung rugi, bukan pada amanah dan keberkahan.

Sebab sejatinya, karhutla di Kalimantan Selatan bukan sekadar kelalaian teknis, bukan pula sekadar kurangnya alat pemadam.
Akar masalahnya adalah politik tata kelola lahan yang lahir dari rahim kapitalisme.Di sistem ini, hutan hanyalah komoditas, bukan amanah. Ia dihitung dalam hektare, dinilai dalam dolar, dan dijadikan agunan demi investasi.
Negara yang seharusnya pengurus rakyat justru berperan sebagai regulator pasar.
Sementara korporasi besar menjadi aktor dominan, menanam modal di atas tanah rakyat, lalu pergi meninggalkan bara ketika lahan mengering dan terbakar.

Inilah wajah kapitalisme ekologis: mengeruk bumi dengan hitung-hitungan pasar, bukan dengan tuntunan wahyu.Hutan dijadikan sumber pajak, bukan sumber berkah. Sistem ini menanam pohon bukan karena iman, tapi karena proyek karbon kredit. Maka jangan heran jika setiap program rehabilitasi berakhir dengan siklus yang sama: pohon ditanam untuk foto, bukan untuk kehidupan.

Khilafah dan Amanah Pengelolaan Hutan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang hutan sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai oleh individu maupun korporasi.

Rasulullah ﷺ bersabda:
 “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kata padang rumput dalam hadis ini mencakup seluruh ekosistem alami seperti hutan, padang savana, dan vegetasi yang menopang kehidupan.
Maka negara dalam sistem Khilafah wajib menjaga dan mengelola hutan bukan untuk kepentingan ekonomi, tetapi sebagai amanah Allah untuk kemaslahatan umat.

Negara tidak boleh menyerahkan izin konsesi kepada perusahaan yang mengubah hutan menjadi ladang profit. Sebaliknya, ia menegakkan fungsi hutan sesuai syariat: menjaga keseimbangan ekologis, memastikan akses rakyat terhadap sumber kehidupan, dan menghindarkan kerusakan yang mengancam makhluk hidup.

Jika terjadi kebakaran atau kerusakan, negara tidak menunggu dana asing seperti REDD+, tetapi mengambil langsung dari Baitul Mal, sumber keuangan negara Islam yang berdiri di atas zakat, kharaj, dan fai’, bukan utang atau investasi.

Teladan dari Para Khalifah

Rasulullah ﷺ sendiri telah mempraktikkan konsep konservasi dengan menetapkan Hima ar-Rabadzah, kawasan lindung di sekitar Madinah yang tidak boleh diganggu karena menjadi tempat gembalaan unta zakat umat. Khalifah Umar bin Khaththab ra. memperluas konsep itu, menegaskan bahwa “tidak boleh ada hima kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya” — artinya, hanya negara yang boleh menetapkan kawasan lindung demi kemaslahatan rakyat, bukan individu atau suku.

Umar juga mengangkat petugas khusus yang mengawasi agar hutan dan padang rumput tidak rusak akibat pembakaran liar.

Pada masa Abbasiyah, proyek penghijauan dilakukan besar-besaran. Khalifah al-Ma’mun bahkan menanam pepohonan di wilayah tandus Irak untuk mencegah erosi dan gurunisasi.
Sedangkan pada masa Khilafah Utsmaniyah, diterapkan Qanun al-Ghabat (Undang-Undang Kehutanan 1870) yang menegaskan hutan sebagai milik publik dan melarang penebangan tanpa izin syariat. Pelanggar bisa dijatuhi sanksi berat karena dianggap melakukan jarimah terhadap kepemilikan umum.

Paradigma yang Menyelamatkan, Bukan Menghitung

Khilafah bukan sekadar simbol negara Islam, melainkan sistem yang mengatur hubungan manusia dengan alam dalam bingkai amanah.
Ia menolak privatisasi bumi, menegakkan hukum tanpa tebang pilih, dan menjadikan keberlanjutan ekosistem sebagai bagian dari ibadah.
Negaranya tidak menambal kebijakan, tapi menegakkan paradigma: bahwa bumi bukan milik manusia, melainkan titipan Allah.

Maka, solusi karhutla bukan sekadar reboisasi, melainkan revolusi cara pandang.
Kalsel tidak butuh sekadar alat pemadam atau dana hibah, tapi butuh sistem yang menempatkan hutan untuk kemaslahatan umat, bukan dalam saham. Dan sistem itu hanya ada di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah — ketika bumi dikelola dengan panduan iman, bukan dengan investasi.

Wallahu'alam.

Oleh: Tuty Prihatini,S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update