Tintasiyasi.id.com -- Kasus penculikan balita yang terjadi di Kota Makassar kembali menyentak kesadaran publik. Peristiwa ini bukan kasus tunggal; berbagai kota di Indonesia juga mengalami kejahatan serupa, seolah menunjukkan pola yang sistematis.
Kasus penculikan terjadi belakangan ini di antaranya adalah kasus Balita berusia 4 tahun bernama Bilqis. Dia diculik di Makassar dan dijual kepada Suku Anak Dalam di Jambi. Terbaru, kasus Maria Gabriella atau Gaby yang hilang selama seminggu setelah akhirnya ditemukan Rabu, 12 November 2025. (https://sinpo.id, 15/11/2025).
Dugaan keterlibatan sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) memperlihatkan betapa seriusnya persoalan ini, terlebih ketika pelaku diduga memanfaatkan jejaring masyarakat adat untuk menyamarkan aksi kriminalnya.
Fenomena ini mempertegas satu kenyataan pahit bahwa tidak adanya jaminan keamanan bagi anak-anak di ruang publik. Orang tua hidup dalam kecemasan, sementara ruang-ruang sosial yang seharusnya aman justru berubah menjadi area rawan.
Ironisnya, hukum di Indonesia kerap terlihat tumpul dalam menghentikan maraknya penculikan dan perdagangan anak. Penegakan yang lamban, sanksi yang tidak menjerakan, serta jaringan kriminal yang terus berkembang membuat masalah ini seolah tak berujung.
Dalam Islam, menjaga jiwa manusia (ḥifẓ al-nafs) adalah salah satu tujuan utama syariah (maqāṣid al-syarī‘ah). Islam menempatkan keamanan sebagai hak dasar yang tidak boleh dikompromikan. Setiap anak, perempuan, orang tua, dan kelompok lemah memiliki jaminan perlindungan dari segala bentuk ancaman.
Islam bukan hanya menolak penculikan dan perdagangan manusia. Islam menganggapnya sebagai kejahatan besar yang melanggar kehormatan manusia sebagai makhluk mulia. Allah menegaskan bahwa membunuh atau mencelakai satu jiwa tanpa hak seakan telah membunuh seluruh manusia.
Dalam masyarakat Islam, keamanan bukan sekadar urusan personal, tetapi tanggung jawab negara dan masyarakat secara kolektif. Sistem sosial, aturan, dan sanksi dibangun untuk menjamin setiap individu dapat hidup aman di ruang publik.
Berbeda dengan sistem hukum sekuler yang seringkali memberikan sanksi tidak menjerakan, Islam memiliki struktur sanksi yang jelas, tegas, dan berfungsi sebagai pencegah (zajr) dan penyembuh ketidakadilan (jabr).
Islam menutup celah bagi sindikat kriminal berkembang, karena hanya hukum yang tegas dan konsisten dapat mematahkan jaringan kejahatan seperti TPPO. Sanksi dalam Islam bersifat: preventif, membuat pelaku berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan, represif, menghentikan kejahatan yang telah terjadi.
Kuratif, mengembalikan keadilan kepada korban dan masyarakat. Dalam sistem Islam, tidak ada ruang bagi toleransi terhadap tindakan yang mengancam keamanan publik.
Daulah Islam bertanggung jawab untuk menjamin keamanan publik dengan menyediakan aparat yang amanah, patroli yang efektif, pengawasan wilayah, sistem hukum yang cepat dan tidak berbelit.
Negara juga bertanggung jawab juga untuk menghilangkan faktor pendorong kriminalitas. Maraknya penculikan sering terkait kemiskinan, perdagangan anak, dan lemahnya ekonomi keluarga.
Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar rakyat dijamin, pendidikan dan layanan sosial diperkuat, eksploitasi ekonomi dicegah. Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan tegaknya ketakwaan masyarakat, tingkat kejahatan menurun secara alami.
Negara juga membina masyarakat menjadi bertakwa. Ketakwaan bukan sekadar urusan individu. Negara berkewajiban untuk menyebarkan nilai moral, menegakkan aturan syariah, menciptakan lingkungan yang melahirkan manusia-manusia jujur dan berakhlak.
Masyarakat yang bertakwa adalah benteng terbaik dari munculnya jaringan kejahatan, karena tidak hanya aparat, tetapi juga masyarakat menjadi penjaga keamanan satu sama lain.
Saatnya melihat bahwa kejahatan seperti penculikan tidak akan pernah berhenti selama sistem yang ada tidak mampu memberikan jaminan keamanan hakiki. Islam telah menyediakan solusinya, tinggal apakah manusia mau kembali kepada sistem yang menjaga martabat dan jiwa manusia secara menyeluruh. Wallahu’alam bishshawwab.[]
Oleh: Lia Julianti
( Aktivis Dakwah Tamansari Bogor)