TintaSiyasi.id -- (Refleksi Ruhani atas QS. Ali ‘Imran: 31 dan Penjelasan Imam Al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub).
Pendahuluan: Cinta yang Mengundang Cinta Ilahi
Setiap insan beriman pasti mendambakan cinta Allah. Namun, cinta kepada Allah bukan sekadar ungkapan di lisan, bukan pula getaran sesaat dalam hati. Cinta sejati kepada Allah adalah ketaatan yang disertai kesetiaan kepada Rasulullah Saw, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad): Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali ‘Imran: 31).
Ayat ini merupakan batu ujian cinta sejati. Barangsiapa mengaku mencintai Allah tetapi enggan mengikuti Rasulullah Saw, maka pengakuannya palsu. Sebaliknya, siapa yang menapaki jejak Rasul dengan keikhlasan, maka ia sedang berjalan menuju pelukan cinta Ilahi.
Makna “Ikutilah Aku” Menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub menjelaskan bahwa perintah “Ikutilah Aku” (فاتبعوني) berarti mengikuti seluruh ajaran, perilaku, dan budi pekerti Rasulullah Saw. baik dalam urusan ibadah, akhlak, maupun adab.
Mengikuti beliau bukan hanya meniru sunnah lahiriah, tetapi menyerap cahaya batin beliau, yaitu cahaya keikhlasan, kesabaran, tawadhu‘, dan cinta kasih kepada sesama.
Menurut Al-Ghazali, hakikat mengikuti Rasulullah SAW mencakup tiga dimensi:
1. Mengikuti ajarannya (syariat).
Yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan sesuai sunnah Nabi. Ini adalah bentuk nyata cinta dalam amal.
2. Meneladani akhlaknya (khuluqiyyah).
Rasulullah Saw. adalah teladan kesabaran, pemaaf, dan kasih sayang. Mengikutinya berarti memerangi amarah, iri, dan kesombongan dalam diri.
3. Menapaki ruhnya (ma‘nawiyyah).
Inilah tingkat tertinggi. Mencintai apa yang beliau cintai, membenci apa yang beliau benci, dan menempuh jalan zuhud sebagaimana beliau.
“Barangsiapa mencintai Allah, niscaya ia akan mencintai utusan-Nya. Barangsiapa mencintai Rasulullah, niscaya ia akan mengikuti jalannya, sebab cinta sejati selalu menuntut ketaatan.”
(Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub).
Cinta yang Teruji Lewat Ketaatan
Cinta sejati kepada Allah bukan hanya dalam kata-kata, melainkan dalam ketaatan yang teguh meski disertai ujian. Al-Ghazali menjelaskan bahwa Allah sering menguji hamba yang mencintai-Nya agar tampak kejujuran cintanya. Sebab cinta yang tidak diuji hanyalah khayalan.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Ujian itu datang kepada manusia sesuai kadar imannya. Bila ia kuat imannya, berat pula ujian yang menimpanya.”
(HR. Tirmidzi).
Karenanya, siapa yang mengaku mencintai Allah, tetapi tidak bersabar atas ujian, tidak menahan nafsunya, dan tidak menjaga syariat-Nya, maka ia belum jujur dalam cinta. Mengikuti Nabi berarti siap menanggung ujian sebagaimana beliau diuji dengan kesabaran, bukan keluhan; dengan keteguhan, bukan putus asa.
Menempuh Jalan Nabi: Menyucikan Jiwa dari Nafsu
Mengikuti Rasulullah juga berarti menempuh jalan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Sebab musuh terbesar manusia bukan orang lain, melainkan nafsunya sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda setelah kembali dari peperangan:
“Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu.”
Al-Ghazali menjelaskan, siapa yang ingin meraih cinta Allah melalui jalan Rasul, maka ia harus mengendalikan syahwat, menahan amarah, dan menundukkan ego. Sebab, selama nafsu masih menjadi raja, cinta kepada Allah tidak akan bersemayam di hati.
Beliau menulis:
“Tidak akan masuk cinta Allah ke dalam hati yang penuh cinta dunia, sebagaimana tidak akan masuk air ke dalam wadah yang sudah penuh.”
(Mukasyafatul Qulub).
Refleksi Ruhani: Jalan Cinta yang Sunyi, tetapi Mulia
Mengikuti Rasulullah Saw. bukan sekadar kewajiban syariat, tetapi jalan menuju kebahagiaan ruhani.
Di tengah dunia yang sibuk mengejar gemerlap materi, mengikuti jejak Nabi berarti memilih hidup dalam kesederhanaan, kasih sayang, dan kedamaian hati.
Cinta kepada Allah yang diwujudkan dengan mengikuti Rasul akan menumbuhkan:
1. Ketenangan batin, karena hidupnya sejalan dengan kehendak Ilahi.
2. Cahaya hati, karena sunnah Rasul adalah cahaya yang menuntun dari kegelapan.
3. Kasih kepada sesama, karena hati yang dipenuhi cinta Allah tak lagi sempit oleh kebencian.
Buah Mengikuti Rasulullah: Cinta dan Ampunan Allah
Allah menjanjikan dua karunia besar bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah Saw:
1. Allah akan mencintai mereka.
Ini adalah puncak derajat ruhani tertinggi — menjadi kekasih Allah (mahbubullah).
2. Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka.
Karena cinta Allah tidak datang sendirian, ia membawa rahmat dan ampunan yang melimpah.
“Cinta Allah adalah keberuntungan yang tak ternilai. Ia tidak diberikan kepada kecuali kepada hati yang jujur mengikuti Nabi-Nya.”
(Al-Ghazali).
Penutup: Jalan Satu-Satunya Menuju Cinta Allah
Cinta kepada Allah tidak bisa ditempuh melalui jalan lain selain mengikuti Rasulullah Saw. Tidak cukup hanya shalat, zikir atau doa tanpa meneladani akhlak dan kehidupan beliau.
Sebab Rasulullah bukan hanya penyampai risalah, tetapi jalan itu sendiri, yakni jalan menuju cinta dan ridha Allah.
“Jadilah engkau pengikut Rasul dalam segala keadaanmu, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah. Karena mengikuti kekasih-Nya adalah jalan menuju cinta-Nya.”
(Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub).
Renungan Akhir
Cinta kepada Allah adalah tujuan. Mengikuti Rasulullah adalah jalannya.
Barangsiapa melangkah dengan ikhlas di jalan itu, maka ia akan sampai kepada tujuan yang agung, cinta yang abadi di sisi Allah.
“Cinta yang sejati bukan di lisan, tetapi di ketaatan.
Jalan menuju Allah hanya satu: mengikuti Rasulullah Saw.”
Dr Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo