Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menata Ulang Paradigma Mitigasi Siaga Bencana Hidrometeorologi

Senin, 24 November 2025 | 19:53 WIB Last Updated 2025-11-24T12:53:48Z

TintaSiyasi.id -- Musim hujan kembali menuruni langit Kalimantan Selatan. Bersamanya, bab lama kembali dibuka: kewaspadaan terhadap banjir, angin kencang, hujan ekstrem, dan rob. Media Indonesia (12/11/2025) memberitakan apel siaga Pemerintah Provinsi Kalsel yang menekankan normalisasi sungai serta pemeliharaan irigasi sebagai garda awal menghadapi ancaman hidrometeorologi. 

Tribun Banjarmasin (12/11/2025) menurunkan laporan tentang penguatan sistem peringatan dini dan pembaruan peta rawan oleh BPBD—sebuah rangkaian teknis yang berulang tiap tahun. Beberapa hari sebelumnya, Prokal (10/11/2025) mengingatkan ancaman banjir pesisir dan rob di tiga kabupaten akibat curah hujan tinggi dan fenomena supermoon yang memicu kenaikan permukaan air laut.

Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa pemerintah bergerak. Namun publik memahami bahwa pola ini seperti lingkaran yang selalu kembali. Kita siaga, kita waspada, kita gelar apel, tetapi akar masalah tetap berdiri: penataan ruang yang keliru, alih fungsi lahan yang dibiarkan, penyempitan sempadan sungai, serta hilangnya ruang air. Alam hanya menjalankan sunnatullah—air mencari jalurnya ketika manusia menutup jalan aslinya.

Lapisan persoalan tidak berhenti pada teknis. Ia bersumber dari paradigma politik yang membentuk cara negara memutuskan kebijakan. Banyak keputusan lahir sebagai respons jangka pendek, mengikuti siklus anggaran dan tekanan investasi. Yang prinsipil ditunda, yang ekologis dikompromikan, sementara pembangunan terus memakai narasi “pertumbuhan” sebagai alasan.

Di sinilah kita melihat teknis diutamakan, sementara perkara prinsip diabaikan. Peringatan dini diperkuat, tetapi izin alih fungsi lahan tetap berjalan. Kanal dibersihkan, sementara ruang air di pusat kota terus hilang. Kita memperbaiki gejala tetapi memelihara sebab. Semua ini lahir dari pemisahan kebijakan dari pandangan hidup yang benar. Keputusan publik kemudian berdiri di atas kalkulasi keuntungan, bukan amanah menjaga kehidupan. Kebijakan menjadi produk pragmatis, bukan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Ketika akidah ditinggalkan di luar ruang rapat, mitigasi berubah dari kewajiban berbasis iman menjadi sekadar pekerjaan teknis. Negara memandang bencana sebagai urusan proyek, bukan amanah menjaga kehidupan rakyat. Kapitalisme pun merayap dalam seluruh proses pengambilan keputusan: izin tambang dipercepat, investasi properti menelan daerah resapan, dan proyek komersial menyingkirkan ekologis. Kritik dibungkam dengan alasan pembangunan, sementara rakyat justru menerima dampaknya.

Islam tidak memisahkan kebijakan dari akidah. Dalam Daulah Islam sejak masa para khalifah, setiap keputusan—besar maupun kecil—terikat hukum syara’. Negara tidak bertindak hanya dengan pertimbangan teknis, tetapi mengukur setiap kebijakan dengan pandangan iman. Khilafah memahami kewajiban untuk menghukumi dengan apa yang Allah turunkan (QS. Al-Maidah: 49). Kompas keputusan adalah akidah, bukan pasar dan bukan kepentingan politik.

Mitigasi dalam Islam bukan tindakan reaktif, tetapi amanah untuk menjaga kehidupan. Sejarah para khalifah membuktikannya secara nyata. Ketika gempa kecil mengguncang Madinah, Umar bin Khattab tidak hanya menenangkan rakyat tetapi menyeru mereka bermuhasabah. Seruan itu menegaskan bahwa kebijakan harus berangkat dari kesadaran iman, bahwa kerusakan alam bertaut dengan ulah manusia. Beliau lalu menata ulang beberapa wilayah pemukiman dan memastikan ruang hidup rakyat tidak menambah kerawanan bencana.

Umar bin Abdul Aziz memandang mitigasi sebagai tanggung jawab jangka panjang. Negara memperbaiki saluran air, menjaga daerah konservasi, dan menolak proyek yang merusak struktur ekologis meski menjanjikan pemasukan besar. Baginya, pembangunan yang mengabaikan keseimbangan adalah kezhaliman.

Pada masa Ali bin Abi Thalib, ketika paceklik mengancam, negara menggerakkan seluruh perangkat sosial dan fisik: distribusi pangan, pembukaan jalur air, dan pemeliharaan infrastruktur yang memastikan keberlangsungan hidup rakyat. Semua didorong oleh prinsip bahwa menjaga jiwa adalah fardhu, bukan pilihan.

Model inilah yang menunjukkan bahwa negara berbasis akidah tidak memisahkan pembangunan dari tanggung jawab iman. Mitigasi tidak direduksi menjadi proyek, tetapi amanah.

Kalsel tidak hanya membutuhkan apel siaga dan peringatan dini. Ia membutuhkan penataan ulang paradigma. Kebijakan penguasa seharusnya berakar pada pandangan hidup yang shahih—ideologi Islam. Tanpa itu, sungai akan terus menyempit, hutan surut, dan rakyat akan menanggung bencana yang lahir dari keputusan yang kehilangan ruh iman.

Wallahu’alam.

Oleh: Tuty Prihatini, S. Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update