TintaSiyasi.id -- Tol tersepi di Sumatera Utara, dibangun sepanjang 136,8 kilometer menghubungkan tempat danau terbesar di Sumut. Hal ini baru disampaikan Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggono, saat melaksanakan rapat kerja bersama Komisi V DPR RI pada September 2025 (Ayobandung.com, 14/11/2025). Menurut informasi dari laman klop.pu.go.id, jalan tol di Sumatera Utara ini dibangun dengan biaya investasi senilai Rp13,4 triliun.
Mahalnya tarif tol serta lemahnya perekonomian di Sumatera Utara adalah penyebab utama jalan tol ini sepi. Tujuan pariwisata sepertinya harus dikesampingkan dulu demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keadaan perekonomian di Sumatera Utara semakin hari semakin lesu.
Tingkat inflasi yang tinggi serta masalah pengangguran dan narkotika yang merajalela memperburuk keadaan warga Medan khususnya. Jangankan untuk pariwisata, bahkan untuk memenuhi kebutuhan perut saja warga Sumut harus berjuang keras. Rasanya pemimpin Sumut lebih mementingkan infrastruktur ketimbang masalah pokok warganya. Masalah pokok warga Sumut adalah kemiskinan akibat sulitnya lapangan pekerjaan.
Adapun outsourcing semakin membuat para buruh diperas tenaganya, sedangkan gaji mereka dipotong dengan persentase yang besar. Para pelaku UMKM pun mengeluhkan lemahnya daya beli masyarakat. Apalagi para pengangguran yang terkadang memiliki penghasilan dan sering kali tidak memiliki penghasilan—kebanyakan dari mereka melakukan jalan pintas dengan menjelma menjadi "rayap besi" demi memenuhi kebutuhan.
Memang tujuan infrastruktur adalah untuk mempermudah jalannya perekonomian kita. Hanya saja peruntukannya tidak tepat. Di saat warga Sumut beradu dengan rasa laparnya, pemerintah daerah hanya fokus membuat megah kota-kotanya.
Tarif tol yang mahal disebabkan oleh pembangunan yang dibiayai oleh swasta. Pengembalian modal serta margin laba yang besar tentu menjadi tujuan para investor swasta. Dari sini telah jelas bahwa penguasaan tol hanyalah bisnis belaka antara para korporat dengan rakyat.
Sumatera Utara memiliki potensi sumber daya manusia yang besar. Diharapkan SDM yang ada berkontribusi dalam bisnis jalan tol ini. Namun fakta berkata lain, SDM Sumut sebagian besarnya sudah menjerit kesusahan.
Namun suara ini tidak pernah didengar oleh penguasanya. Alih-alih masuk ke jalan tol, hanya sekadar jalan dan menghabiskan satu liter bensin pun hari ini kebanyakan warganya berpikir panjang. Sasaran bisnis yang tidak tepat ini menyebabkan jalan tol pun sepi.
Pembangunan ini sejatinya bukan milik rakyat, tetapi milik investor swasta. Para korporat ini berharap warga lokal "menyewa" jalan tol mereka dengan membayar tarif tol guna mengembalikan modal serta keuntungan yang mereka harapkan. Jadi, tol ini bukanlah untuk warga Sumut melainkan untuk para korporat.
Islam memiliki pengaturan dalam masalah infrastruktur. Pembangunannya didasarkan pada kebutuhan rakyat, didanai dari kas negara (Baitul Mal), dan tidak boleh menimbulkan utang berbunga atau menguntungkan pihak swasta. Pembangunan disesuaikan dengan standar teknologi terkini pada masanya untuk kemaslahatan umat.
Islam memiliki prinsip bahwa pembangunan infrastruktur merupakan tanggung jawab negara. Tidak boleh negara lepas tangan dalam hal ini, apalagi menyerahkannya kepada swasta dan kemudian menjadi ajang bisnis. Sistem ekonomi Islam meniscayakan negara mengelola sumber kekayaan alamnya sendiri untuk membangun infrastruktur berteknologi mutakhir yang berbasis kemaslahatan umat.
Sehingga negara tidak perlu berutang kepada swasta, karena dengan kekayaan alamnya saja sudah bisa membiayai seluruh infrastruktur yang dibutuhkan umat. Dari Ibnu Umar ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya…” (HR. Bukhari).
Sebagai pemimpin, rakyat adalah amanah dari Allah. Para pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kebijakan yang telah ia putuskan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh: Endah Sefria, S.E.
Aktivis Muslimah