TintaSiyasi.id -- Demo anarkis yang mengguncang negeri sejak 28 Agustus 2025, terutama di Jakarta, bukanlah peristiwa biasa. Ia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari fakta-fakta yang menimpa masyarakat secara langsung, sekaligus dari pertarungan para pemain politik dalam lingkaran kekuasaan.
Rakyat hari ini sejatinya sedang berada pada posisi paling lemah, dijadikan objek penderita oleh kebijakan zalim negara. Kenaikan PBB-P2 yang sangat tajam—antara 250 hingga 1.200 persen di sejumlah daerah—menjadi pemicu utama kegelisahan. Beban APBN yang terus meningkat akibat program Makan Bergizi Gratis dan cicilan utang yang jatuh tempo sebesar Rp2.827 triliun dalam periode 2025–2027, membuat pemerintah pusat mengurangi transfer ke daerah. Daerah pun mencari jalan pintas: membebankan kenaikan pajak yang mencekik rakyat. Ironisnya, di saat yang sama, anggota DPR justru menaikkan tunjangan dan mempertontonkan sikap arogan di hadapan publik.
Ketidakadilan ekonomi dan hukum semakin melengkapi penderitaan ini. Sumber daya alam besar dilepas ke tangan segelintir pengusaha, sementara rakyat dicekik pajak demi menutup defisit. Hukum pun tajam ke bawah, tumpul ke atas. Semua ini menambah bara dalam dada rakyat, hingga gejolak pun tak terbendung.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa di balik demonstrasi itu ada pula faktor subyektif berupa persaingan politik dalam tubuh kekuasaan. Ada pihak dari rezim lama yang tidak rela kehilangan pengaruh, ada kelompok yang merasa terancam reshuffle kabinet, bahkan ada pihak yang terusik oleh upaya penghentian mega korupsi nikel, timah, dan migas. Mereka lalu memainkan peran di belakang layar: mendorong rakyat untuk bertindak anarkis, sementara aparat diarahkan untuk bersikap represif. Hasilnya adalah benturan sosial politik yang kita saksikan di lapangan.
Upaya peredaman tentu akan dilakukan. Pemerintah bisa saja membatalkan kenaikan pajak dan tunjangan DPR, memecat anggota DPR yang arogan, membuka dialog dengan mahasiswa, atau bahkan meminta maaf secara terbuka. Namun semua itu hanyalah penenang sementara. Pada hakikatnya, para politisi akan terus menjadikan penderitaan rakyat sebagai komoditas politik. Rakyat dijadikan bahan bakar, sementara mereka tetap bertransaksi demi melanggengkan kekuasaan.
Dari perspektif Islam, kezaliman sekecil apapun tidak boleh ditoleransi. Sejarah membuktikan, siapa pun penguasa yang bertahan di atas kezaliman akan terus mengulanginya. Sistem kapitalistik justru memberi jalan bagi lahirnya kekuatan ekonomi yang bertumpu pada hasil kejahatan. Dengan uang haram, mereka membeli partai politik, menguasai elit, merekayasa opini, bahkan mengatur hukum sesuai kepentingannya. Dari situ lahirlah kekuatan yang tak tersentuh, untouchable, yang pada akhirnya berani melawan siapa saja yang mencoba mengusiknya. Tak jarang, justru penguasanya yang tumbang, sebagaimana terjadi pada ujung kekuasaan Orde Baru.
Dalam kerangka dakwah, peristiwa ini harus dibaca sebagai bagian dari dinamika umat dan pertarungan elit politik. Dakwah justru bisa memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan kebusukan sistem sekuler dalam politik, ekonomi, dan pemerintahan. Demokrasi yang sering dipuji sebagai saluran aspirasi rakyat, ternyata hanyalah alat legitimasi elit untuk meloloskan kepentingan mereka, mulai dari revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, UU Minerba, hingga aturan syarat cawapres. Begitu pula jargon “demi rakyat” yang kerap didengungkan, nyatanya hanyalah kedok untuk memperkaya diri, bahkan dari dana haji.
Kita harus jujur mengatakan, siapa pun pejabatnya, selama berada di dalam sistem kapitalisme, cepat atau lambat ia akan ikut rusak atau terlempar. Karena itu, kebencian rakyat terhadap sistem sekuler harus diarahkan menuju kesadaran akan sistem Islam. Dakwah harus terus bersentuhan dengan dinamika umat, namun tidak boleh hanyut di dalamnya. Perubahan hakiki hanya akan lahir bila umat memahami Islam secara mendalam, bukan sekadar karena emosi sesaat.
Pemahaman Islam itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun melalui dakwah, pembinaan, dan pengkaderan. Karena itu, jumlah pengemban dakwah harus diperbanyak agar kebangkitan segera terwujud. Aktivitas politik Islam harus melahirkan politisi yang konsisten, pemimpin sejati yang mengawal masyarakat menuju perubahan ke arah sistem Khilafah. Dengan kesadaran politik Islam yang tersebar di tengah umat, gejolak sosial tidak akan mudah dibajak oleh politisi busuk yang menipu rakyat demi melanggengkan kekuasaan, tetapi justru akan menjadi jalan bagi tegaknya perubahan sistem Islam.[]
Sulistiawati Ummu Salamah
Politisi Muslimah