Tintasiyasi.ID -- Menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengklaim bahwa pengangguran turun di Indonesia pada Februari 2025, Pengamat Ekonomi Islam Ustazah Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I., menjelaskan harus disertakan data jumlah absolut penganggur.
“Jadi kalau
dikatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka itu menurun maka sebetulnya belum
tentu bahwa jumlah penganggurannya itu berkurang, kalau tidak disertakan data
berapa besaran jumlah absolut para penganggur,” jelasnya dalam program Economic
Understanding yang disiarkan dalam kanal Youtube Muslimah Media Hub
pada Jumat (08/08/2025).
Klaim pemerintah
tersebut bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merupakan hasil survey
angkatan kerja pada Februari 2025 yang menyebutkan bahwa tingkat pengangguran
terbuka sebesar 4,76 persen. Jumlah ini yang jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya mengalami penurunan sebesar 0,06 persen.
Ia mengatakan untuk
membandingkan adanya prestasi penurunan jumlah pengangguran harus disajikan
data real jumlah penganggur absolutnya.
“Jadi untuk bisa
membandingkannya itu maka harus ada disajikan data jumlah absolut
penganggurnyaa. Orang yang betul-betul memang menganggur,” tambahnya.
“Kalau kita
memahami bahwa cara menghitung tingkat pengangguran terbuka itu jumlah
penganggur dibagi jumlah angkatan kerja kemudian dikalikan 100 persen,”
bebernya.
Lanjut dikatakan, ada
dua variabel, ada penyebut dan ada pembilangnya. “Maka akan kita temukan bahwa
sekalipun jumlah penganggurnya itu tetap, tetapi jika jumlah angkatan kerjanya
itu naik, maka sudah pasti angka tingkat pengangguran terbukanya akan menurun
karena pembaginya mengalami kenaikan,” paparnya.
Ustazah Nida juga
menyampaikan bahwa jika paham mengenai cara penghitungan tadi, maka dapat disimpulkan
bahwa penurunan persentase tersebut bukan menggambarkan adanya suatu
“prestasi”.
“Jadi kesimpulannya
kalau tadi kita sudah pahami cara menghitungnya seperti itu, maka ketika
terjadi penurunan persentase tanpa ada penjelasan jumlah absolut penganggur,
kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa terjadi serapan tenaga kerja yang
lebih besar,” terangnya.
Ia juga memberikan
penjelasan jika dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam, sesuai dengan konsep
politik ekonomi Islam dalam salah satu kitab yang berjudul As-Siyasah Iqtisodi
Al-Mutsla dijelaskan bahwa cukup dilihat dari kondisi per individu.
“Kalau kita
membahas tentang parameter kondisi baik atau tidak itu cukup dilihat dari
masing-masing orang per individu. Jadi standar Islam itu jika setiap laki-laki
yang dia sudah masuk usia mukalaf, dia sudah masuk dalam serapan dunia kerja,
maka sebetulnya cukup dilihat apakah masih ada laki-laki yang menganggur atau
tidak,” jelasnya.
“Satu orang saja
jika dia seharusnya bisa memberikan nafkah tetapi dia kesulitan mendapatkan
lapangan pekerjaan maka itu langsung diselesaikan,” lanjutnya tegas.
Hal itu pun telah
dicontohkan pada masa Rasulullah dan Khalifah Umar saat ada yang menganggur,
maka diberikan tools atau alat untuk menyelesaikannya.
“Demikian kalau
kita lihat dalam Islam itu menyelesaikan persoalan ini tidak sepelik berdebat
kusir tentang angka, tetapi bisa kita lihat langsung kepada individu per
individunya. Ini yang tidak mampu ditandingi oleh sistem selain Islam,”
ungkapnya mengakhiri.[] Hima Dewi