Manusia adalah makhluk yang bukan hanya berpikir, tetapi juga merasa. Kita tidak hanya menyimpan data layaknya komputer; kita merekam pengalaman beserta rasa yang menyertainya. Sering kali, yang tersisa dari sebuah peristiwa bukan hanya apa yang terjadi, tapi bagaimana peristiwa itu membuat kita merasa.
Allah ﷻ telah membekali manusia dengan hati (qalb) yang menjadi pusat rasa dan makna. Dalam Al-Qur’an, hati disebut sebagai alat untuk memahami dan mengingat:
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami..."
(QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini memberi isyarat bahwa pemahaman mendalam lahir dari keterlibatan hati — yang erat kaitannya dengan emosi.
Ilmu Pengetahuan Membenarkan: Amigdala & Hipokampus
Di dalam otak kita, ada dua bagian yang bekerja sama dalam membentuk memori kuat:
1. Amigdala – pusat pengolahan emosi, yang memberi “tanda penting” pada suatu kejadian.
2. Hipokampus – pusat pembentukan memori jangka panjang, yang menyimpan detail peristiwa.
Ketika kita mengalami kejadian yang memicu emosi kuat (senang, sedih, takut, bangga, terharu), amigdala mengirim sinyal ke hipokampus: "Ini penting, simpan baik-baik!" Hormon seperti adrenalin dan kortisol pun dilepaskan, memperkuat jejak memori tersebut.
Itulah sebabnya, kita mungkin lupa makanan yang kita santap seminggu lalu, tetapi sangat ingat suasana hari kelahiran anak kita, atau peristiwa kehilangan orang terkasih.
Hikmah Qur’ani: Allah Mengikat Memori dengan Rasa
Al-Qur’an sendiri menggunakan strategi emosional untuk menguatkan ingatan umat. Perintah, larangan, dan kisah-kisah disampaikan dengan bahasa yang menggugah hati — sering kali dipadukan dengan janji surga atau ancaman neraka — agar pesan itu tertanam mendalam.
Misalnya, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat diperintahkan menyembelih putranya (QS. As-Saffat: 102-107) tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi juga membangkitkan rasa haru, takjub, dan kagum. Inilah yang membuat kisah itu hidup dalam ingatan umat sepanjang zaman.
Pelajaran Praktis untuk Kehidupan
1. Dalam Pendidikan
Guru yang mengajar dengan cerita, humor, dan empati akan lebih diingat siswanya. Materi yang dibungkus dengan perasaan akan bertahan lebih lama di memori anak didik.
2. Dalam Dakwah
Dai yang menyentuh hati, bukan sekadar otak, akan meninggalkan bekas dalam jiwa mad’unya. Kisah nyata, pengalaman pribadi, dan sentuhan kasih sayang adalah kunci dakwah yang membekas.
3. Dalam Keluarga
Ciptakan momen kebersamaan yang disertai emosi positif. Perayaan kecil, kata-kata penuh cinta, dan doa bersama akan menjadi kenangan yang mengikat hati keluarga.
4. Dalam Kehidupan Pribadi
Kelola emosi agar lebih banyak memori positif yang tersimpan. Saat menghadapi ujian hidup, hadapi dengan sabar, sehingga kenangan itu menjadi sumber kekuatan, bukan luka.
Menjaga Agar Memori Kita Menjadi Warisan Kebaikan
Setiap memori adalah batu bata yang membangun bangunan jiwa kita. Jika kita isi hidup dengan emosi yang benar — cinta kepada Allah, syukur atas nikmat-Nya, dan kasih sayang kepada sesama — maka memori yang terbentuk akan menjadi sumber motivasi di dunia dan penolong di akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa mengingat Allah dalam keadaan senang, maka Allah akan mengingatnya dalam keadaan sulit."
(HR. Ahmad)
Ini menunjukkan bahwa memori spiritual yang kita bentuk melalui rasa cinta dan dzikir akan menjadi penolong ketika kita membutuhkannya kelak.
Penutup: Jadikan Setiap Rasa Bernilai Ibadah
Hidup ini singkat, dan yang akan kita bawa pulang bukanlah harta atau jabatan, tetapi kenangan yang mengandung nilai amal. Mari kita ciptakan momen-momen penuh cinta, syukur, dan makna — karena setiap getaran hati yang baik akan menjadi memori yang bukan hanya bertahan di dunia, tapi juga bernilai di hadapan Allah.
Hidup bukan hanya soal berapa lama kita menghirup udara, tetapi berapa banyak momen yang membuat kita benar-benar hidup.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)