Tintasiyasi.id.com -- Generasi muda saat ini, terutama Gen Z menjadi aktor utama dalam dunia digital. Kehidupan mereka tidak lepas dari media sosial, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Mereka yang menjadi kelompok pengguna media sosial terbanyak di Indonesia berada di rentang usia 18-24 tahun, dengan rata-rata penggunaan lebih dari 3 jam per hari (Garuda.website, 2024).
Bagi mereka, berbagai platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tidak hanya sebagai sarana hiburan. Mereka juga menjadikannya sebagai media penyampaian opini, ekspresi diri, bahkan bentuk kepedulian mereka terhadap isu-isu sosial.
Hal itu begitu nyata dalam berbagai peristiwa baik di tingkat nasional maupun global. Misalnya, ketika konflik Palestina memanas, jagat media sosial penuh dengan dukungan dari anak-anak muda Indonesia. Demikian pula dengan konten dakwah Islam dan isu politik, yang membanjiri timeline dan trending topic.
Aktivisme dengan bentuk seperti ini mampu mempercepat arus informasi dan menjangkau audiens yang luas dalam waktu singkat. Dalam konteks Generasi Z, media digital dianggap menjadi sebuah alat perjuangan yang efektif dikarenakan mereka mampu memanfaatkan fitur interaktif media sosial untuk menyampaikan pesan secara masif.
Namun dalam pelaksanaannya efektivitas dari aktivisme ini masih diperdebatkan, karena tidak semua aksi yang dilakukan secara digital mampu menghasilkan perubahan yang struktural di dunia nyata.
Sebagian besar aktivisme ini masih mencukupkan diri terbatas di ruang digital.
Fenomena ini sering disebut dengan istilah slacktivism, yaitu aktivisme yang dilakukan secara minimal, dimana mencukupkan dengan klik, share, atau komentar. Sebagaimana juga dalam petisi online di Change.org, penandatangan dilakukan karena orang-orang merasa peduli terhadap suatu permasalahan atau isu tertentu dan kemudian merasa telah membantu dan berbuat sesuatu setelah menandatangani petisi tersebut (langgam.id,2024).
Sering kali, keterlibatan ini hanya sampai pada tahap tersebut dan tidak diikuti dengan aksi lanjutan seperti advokasi publik atau upaya nyata mendorong perubahan kebijakan. Jika kampanye digital berhenti pada dunia digital, tanpa kelanjutan aksi nyata, maka dampaknya, isu yang besar di media sosial sering kurang memiliki dampak konkret di lapangan.
Mengapa Hal ini Kerap Terjadi?
Salah satunya karena penyebaran opini di dunia digital, meski mampu menggugah empati, namun belum tentu membangun kesadaran. Empati sesaat bisa memunculkan simpati, tetapi tidak serta-merta mendorong aksi.
Sementara, perubahan sejati sesungguhnya berakar pada kesadaran mendalam yang terbentuk melalui diskusi, perenungan, dan interaksi yang lebih mendalam. Hal itu menjadi sesuatu yang kerap luput dalam ritme dunia digital yang cepat.
Kita mendapatkan pelajaran berharga dari #BlackLivesMatter, salah satu gelombang aktivisme terbesar yang dimulai di Amerika Serikat pada 2013 (Campaign.com, 2021).
Gerakan ini muncul sebagai respon dari banyaknya pembunuhan pemuda keturunan Afrika-Amerika Serikat oleh polisi. Tagar ini pun dipakai untuk menekankan rasisme, diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang keturunan Afrika-Amerika Serikat.
Gerakan ini berhasil membawa perubahan karena tidak hanya terbatas di media sosial, tetapi juga dilanjutkan dengan aksi turun ke jalan dan diskusi di luar ranah digital. Kegiatan itu menyebar ke seluruh Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Hal itu menunjukkan sebuah kesadaran yang menimbulkan sebuah aksi nyata tidak berhenti hanya sebatas di ruang digital.
Kondisi yang sama juga berlaku bagi berbagai isu besar seperti Palestina, kemiskinan, perubahan iklim, dan pendidikan. Perubahannya tidak cukup dengan posting atau repost saja. Dunia nyata membutuhkan kehadiran fisik seperti menjadi relawan, berdonasi langsung, mengorganisasi masyarakat termasuk berdakwah di tengah masyarakat. Tanpa aksi nyata, empati akan berhenti sebagai tren, bukan sebagai nilai hidup.
Sejatinya sebuah perubahan itu lahir dari aksi nyata yang dilakukan manusia. Sementara, aksi nyata atau pergerakan lahir dari sebuah kesadaran. Sedangkan kesadaran hanya lahir dari pembentukan pemikiran yang kokoh.
Pembentukan pemikiran membutuhkan pertemuan fisik yang intensif sehingga terlihat nyata feedback di antara mereka. Penting disadari bahwa opini yang mendorong pergerakan lahir dari kesadaran yang dibangun di atas pemikiran yang matang dan kokoh.
Oleh karena itu, generasi muda dengan potensi besarnya untuk membawa perubahan global perlu menunjukkan aksi nyatanya. Aktivismenya jangan berhenti di ruang digital karena perubahan tidak akan lahir dari layar ponsel saja. Dunia membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar gerakan jempol di media sosial.[]
Oleh: Sri Mellia Marinda
(Ibu Peduli Generasi)