Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Utang LN Bentuk Penjajahan Modern yang Halus tetapi Menghancurkan

Minggu, 06 Juli 2025 | 18:47 WIB Last Updated 2025-07-06T11:47:40Z

TintaSiyasi.id -- Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima laporan semester I Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dan proyeksi terbaru hingga akhir tahun. Defisit APBN 2025 hingga akhir tahun akan melebar menjadi 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp662 triliun.

Penerimaan negara diperkirakan bisa terkumpul Rp2.076,9 triliun dan belanja negara diperkirakan terealisasi Rp3.527,5 triliun. Persetujuan diberikan Banggar DPR yang dipimpin oleh Ketua Said Abdullah dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/7/2025).(cnbcindonesia.com, 3/7/2025)

Lagi-lagi solusi berhutang menjadi jalan keluar atas defisit APBN. Padahal, 
dilansir dari cnbcindonesia.com (2/7/2025) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan posisi kewajiban pemerintah, termasuk utang jangka pendek dan panjang, mencapai Rp 10.269 triliun pada akhir 2024.

Walaupun di sana Sri Mulyani mengatakan meski angka utang terlihat besar, namun posisi keuangan negara tetap sehat dengan total aset mencapai Rp13.692,4 triliun. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perbandingan aset dan kewajiban tersebut posisi ekuitas pemerintah tercatat sebesar Rp3.424,4 triliun. Sri Mulyani menjelaskan bahwa hal tersebut menunjukkan pengelolaan keuangan negara tetap berjalan dengan prinsip kehati-hatian.

Dari tahun ke tahun jumlah utang Indonesia memang semakin tinggi. Dari sisi pemerintah, mereka terus menarasikan bahwa jumlah utang tersebut masih terkategori aman. Mereka juga mengatakan bahwa utang-utang tersebut digunakan secara bijaksana untuk membiayai infrastruktur, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Narasi membangun negara dengan utang merupakan ciri khas pengelolaan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme. Dalam pandangan kapitalisme utang dan pajak adalah instrumen fiskal yang utama untuk pemasukan negara. Padahal, secara logika utang pasti akan membebani yang berutang. Jika negara dibangun dengan utang, tentu saja negara tersebut akan terbelenggu dan tidak bisa berdaulat atas negara mereka sendiri.


Utang LN Menjadi Alat Penjajahan Modern

Meskipun tidak selalu berbentuk pendudukan militer, tapi penjajahan bisa melalui penjajahan ekonomi, politik dan kedaulatan kebijakan.

Pertama, utang LN bisa digunakan sebagai alat kendali kebijakan (Neo-Kolonialisme). Dalam sistem kapitalis terdapat istilah "No free lunch" tidak ada makan siang gratis. Oleh karena itu, wajar jika lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan negata kreditor biasanya menyertakan syarat politik dan ekonomi dalam pinjaman, yang sering disebut "Conditionalities," seperti privatisasi aset negara (air, listrik, tambang), pencabutan subsidi rakyat (BBM, pangan, kesehatan), deregulasi dan liberalisasi pasar (untuk kepentingan asing) dan membuka akses SDA bagi perusahaan multinasional.

Hal tersebut membuat negara peminjam tidak bebas menentukan kebijakannya sendiri. Inilah bentuk penjajahan gaya baru, yaitu neo-imperialisme.

Kedua, perangkap utang (Debt Trap Diplomacy). Negara besar seperti Tiongkok, AS dan lembaga internasional menggunakan utang untuk menjerat negara miskin agar menyerahkan aset penting milik mereka. Masih ingatkah kasus
Pelabuhan Hambantota di Srilanka yang sering disebut sebagai debt trap diplomacy oleh Tiongkok. Tahta penguasaan pelabuhan Srilanka terpaksa berpindah kepada China Merchants Port selama 99 tahun sejak 2017 sebagai bagian dari restrukturisasi utang LN sebesar US$ 1,12 milliar. Persoalan semakin kompleks saat kapal survei militer China masuk dan berinvestasi lebih lanjut seperti kilang minyak masuk ke Srilanka.

Kasus Hambantota menunjukkan pola klasik utang dimana aset strategis berpindah tangan sehingga potensi kontrol militer dan ekonomipun berpindah ke pihak asing yang sering disebut sebagai bentuk kapitulasi ekonomi tanpa senjata.

Ketiga, bunga utang menjadi beban permanen. Bunga utang luar negeri menyedot triliunan rupiah tiap tahun dari APBN. Alih-alih digunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti janji manis saat mengambil utang, namun
uang dari mencekik rakyat justru digunakan untuk membayar bunga kepada asing, bukan untuk kesehatan, pendidikan, ataupun pembangunan. Resikonya, negara akan terus melakukan gali lobang tutup lobang, negara terus bergantung pada utang baru untuk membayar utang lama. Inilah yang dinamakan masuk lingkaran setan.

Keempat, Krisis dan Intervensi. Indonesia pernah mengalami krisis di era 1997–1998 dan Intervensi IMF. Saat itu menurut memori krisis moneter 1997 - 1998 detik.com (22/5/2018) rupiah terjun bebas dari sekitar Rp 2.400 per USD (Juli 1997) ke lebih dari Rp 14.800 (Januari 1998) dan memicu kekacauan keuangan domestik.

IMF dan World Bank bersedia mencairkan paket bailout total ~US$ 43–118 miliar untuk Indonesia dengan syarat paket tersebut memicu langkah pemangkasan subsidi, penutupan bank, dan kenaikan suku bunga hingga 70%, yang memperdalam resesi dan meningkatkan kemiskinan dari 34 juta jadi 49 juta jiwa.

Dampak nyata lainnya adalah penutupan 16 bank yang dianggap gagal dan IBRA didirikan untuk menyapu aset bermasalah. PHK massal & kemiskinan meningkat, pengangguran naik menyentuh >5%, inflasi capai ~58 % di 1998.

Terjadi pula reformasi struktural, seperti privatisasi BUMN, pembatasan subsidi, deregulasi sektor keuangan termasuk pembentukan peradilan kepailitan.

Oleh karena itu, utang LN tidak pernah netral. Justru dia menjadi alat penjajahan modern yang halus tapi menghancurkan. Yang membuat negara kehilangan kedaulatan, menjadi alat tekanan politik, menyerahkan aset strategis ke asing, membebani rakyat dengan pajak & penghematan sosial serta membuat negara kehilangan kedaulatan.

"Kami menggunakan utang untuk menjebak negara-negara agar tunduk kepada kepentingan perusahaan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.” (Jhon Perkins - Confessions of an Economic Hit Man). []


Nabila Zidane
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update