TintaSiyasi.id -- Perundungan anak kembali terjadi. Beredar sebuah video viral terhadap seorang remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) berusia 13 tahun yang menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman-temannya di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pelaku berjumlah tiga orang, dua di antaranya masih anak di bawah umur. Korban dipaksa oleh pelaku untuk meminum tuak dan mengisap rokok sebelum dimasukkan ke dalam sumur sedalam tiga meter. (news.detik.com, 27 Juni 2025)
Beredarnya video ini mendapat perhatian dari Wakil Komisi X DPR, Hadrian Irfani. Ia meminta agar pelaku kasus perundungan yang menceburkan korban ke sumur agar ditindak secara administrasi dan hukum karena telah menyangkut tindak pidana. Ia juga berharap adanya tim pencegahan perundungan yang melibatkan para guru hingga orang tua. (riri.co.id, 27 Juni 2025)
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkam data kasus perundungan di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. JPPI mencatat terdapat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan baik dari lingkungan pendidikan, sekolah, madrasah dan pesantren yang mengalami lonjakan. Sebagai pembanding, pada tahun 2020 tercatat 91 kasus kekerasan lalu meningkat menjadi 142 kasus pada tahun 2021, 194 kasus pada tahun 2022, dan 285 kasus pada tahun 2023. (tirto.id, 30 Desember 2024)
Melihat fakta ini, tentu menjadi PR besar bagi pemerintah, masyarakat maupun orang tua. Sudah seharusnya negara mendeteksi akar permasalahan yang menyebabkan kasus ini semakin tumbuh subur. Padahal berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya adanya regulasi tentang perlindungan anak, serta peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Selain itu, pemerintah juga membuat program Sekolah Ramah Anak, Kota Layak Anak, Revolusi Mental, Pendidikan Karakter, hingga Kurikulum Merdeka, yang bertujuan untuk melindungi anak dari kekerasan. Namun, semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah gagal, hal ini terbukti angka kasus perundungan terus melonjak tajam.
Sistem Kapitalisme Sekuler Sumber Masalah
Tingginya kasus bullying di negeri ini dikarenakan penerapan sistem kapitalisme sekuler. Yakni paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Paham inilah yang melahirkan ide liberalisme yang mengagungkan kebebasan. Salah satunya adalah kebebasan bertingkah laku. Parahnya, paham ini dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, akibatnya lahirlah generasi yang liberal sekuler yang abai terhadap ajaran Islam sebagai sebuah ideologi.
Di samping itu, beban ekonomi yang berat dan peran orang tua yang terpinggirkan, juga menjadi pemicu lahirnya anak-anak yang berpotensi untuk melakukan tindakan bullying. Tingginya beban hidup dalam sistem kapitalisme sekuler memaksa orang tua untuk sibuk bekerja. Selain itu, peran ibu di sistem kapitalisme sekuler mulai terpinggirkan. Para ibu banyak yang bekerja, baik karena kemiskinan sehingga mengharuskan untuk ikut mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga.
Atau karena masuknya ide kesetaraan gender yang diaruskan oleh sistem kapitalisme sekuler, sehingga mempunyai pandangan bahwa perempuan harus bekerja, mandiri, dan punya penghasilan sendiri. Sehingga, tidak bergantung pada laki-laki.
Padahal, ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) untuk anak-anaknya. Ketika ibu sibuk bekerja, ibu tidak punya banyak waktu dengan anak dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan. Ditambah lagi dengan pola asuh kapitalisme sekuler membuat orang tua lebih fokus pada pencapaian duniawi dari pada agama. Alhasil, anak tumbuh dengan visi misi hidup yang jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang minim adab dan jauh dari misi penciptaan sebagai hamba Allah SWT, walaupun secara akademis terkategori pintar.
Di sisi lain, lingkungan sekolah dan masyarakat yang tidak baik akan mempengaruhi generasi. Aktivitas amar makruf nahi mungkar di masyarakat maupun dilingkungan sekolah hampir tidak terlihat disistem kapitalisme sekuler hari ini. Masyarakat cenderung bersifat individualis, apatis, egois dan kurang empati terhadap teman. Sehingga, ketika terjadi perundungan pada temannya terkesan abai, jangankan untuk mencegah perbuatan itu justru lebih memilih untuk menonton atau memvideokan saja.
Di tambah lagi, fungsi negara dalam mencegah dan memberikan sanksi yang tegas lemah. Dengan alasan para pelaku bullying masih anak dibawah umur. Akhirnya membuka celah pada anak untuk melakukan tindakan perundungan. Selain itu, kurikulum pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini justru menjauhkan anak dari pembentukan kepribadian Islam yakni mempunyai pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang sesuai dengan Islam. Serta negara juga gagal dalam membendung tontonan, media, dan konten pornografi maupun kekerasan. Sehingga, para generasi sangat mudah mengakses hal-hal negatif tanpa saringan yang kuat dan ketat dari negara.
Solusi Islam dalam Mencegah Bullying
Keadaan ini tentu berbeda dengan sistem Islam yakni khilafah. Dalam Islam apa pun bentuknya melarang seluruh aktivitas perundungan, baik secara verbal apalagi fisik, bahkan menggunakan barang haram. Karena, perbuatan itu merupakan perbuatan yang diharamkan di dalam Islam. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Dan barang Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim” (TQS. Al-Hujurat :11).
Dari ayat di atas secara tegas melarang untuk melakukan perundungan kepada siapapun. Selain itu, Islam tidak mengenal istilah anak di bawah umur. Ketika anak sudah baligh maka ia menjadi seorang mukallaf yang sudah berlaku pembebanan (taklif) hukum kepada dirinya. Maka, apabila ia melanggar syariat, maka ia akan mendapat dosa dan dikenakan sanksi. Disinilah negara akan berperan dalam menerapkan kurikulum pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam, yang memberi bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh.
Tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk keperibadian Islam (syaksiyah islamiah) pada generasi. Yang membentuk pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Sehingga, akan menumbuhkan rasa kesadaran pada generasi bahwa ia adalah seorang hamba yang harus tunduk dan taat kepada perintah sang Pencipta, dan ia juga akan menyadari bahwa ketika ia bermaksiat kepada Allah maka akan di hisab di yaumil akhir kelak. Alhasil, para generasi akan paham mana yang boleh mana yang tidak boleh. Sehingga, ia tidak akan melakukan bullying kepada temannya baik secara verbal, kekerasan fisik apalagi meminum-minuman yang beralkohol.
Islam juga mewajibkan kepada orangtua untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan yang terbaik untuk anaknya. Para orang tua harus memahamkan anak tentang syariat Islam secara kaffah dan hakikat kehidupan di dunia ini. Sehingga, anak paham tujuan dari penciptaannya.
Negara khilafah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para ayah sebagai kepala keluarga. Sehingga, peran ibu sebagai sekolah pertama (madrasatul ula) tidak terpinggirkan, dengan begitu anak tidak kekurangan kasih sayang dari para orang tuanya.
Selain itu, kontrol dari masyarakat dan negara dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar terwujud. Masyarakat yang lahir dari sistem Islam tidak bersifat individualis. Mereka akan menegur ketika ada pelanggaran syariat, termasuk ketika ada anak yang melakukan perundungan. Mereka akan mencegah, menasehati bahkan melaporkan kepada pihak yang berwenang. Tidak apatis terhadap kondisi sekitar.
Ditambah lagi, negara khilafah juga akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kriminal. Termasuk, para pelaku perundungan. Yakni dengan memberlakukan hukum kisas. Negara juga akan memebersihkan tontonan-tontonan yang tidak baik di media sosial. Dengan begitu, para generasi terjaga dari tontonan-tontonan yang buruk baik dari pornografi, pornoaksi maupun kekerasan.
Alhasil, Hanya sistem Islamlah yang dapat mencegah generasi dari kerusakan pemikiran dan tingkah laku. Termasuk, terhindar dari melakukan perundungan kepada orang lain. Dengan penerapan Islam secara kaffah dalam sistem Islam (khilafah) akan terlahir generasi yang taat kepada Allah SWT yang kelak akan membawa pada peradaban Islam yang gemilang. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Aqila Deviana, Amd.Keb.
Aktivis Muslimah