Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meretas Jalan Pulang

Kamis, 10 Juli 2025 | 09:36 WIB Last Updated 2025-07-10T02:36:57Z
TintaSiyasi.id -- Hidup adalah perjalanan. Yang membedakan sebuah perjalanan dengan jalan-jalan adalah tujuannya. Seseorang disebut sedang jalan-jalan karena poin pentingnya adalah aktivitas berjalan itu sendiri. Sebaliknya, seseorang yang sedang melakukan perjalanan, fokusnya ada pada tempat yang hendak ditujunya.

Perjalanan dalam kehidupan ini adalah perjalanan pulang. Kita hanya bisa disebut pulang apabila kita tahu alamat asal yang akan kita tuju. Mana mungkin kita bisa pulang apabila asal yang kita tuju saja belum terdefinisikan? Lalu, di mana alamat asal kita sebelum kita hidup dan berjalan di muka bumi ini?

Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn

Awal agama adalah ma‘rifatullāh. Artinya, sebelum kita melakukan aktivitas ibadah apa pun, yang harus kita miliki adalah identifikasi terhadap Allah. Kita harus mengenal Allah lebih dulu ketimbang mengenal, misalnya, cara berwudu. Kita harus terlebih dahulu mengenal Allah sebelum kita melakukan salat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya suatu saat nanti. Menapaki jalan menuju iman secara rasional adalah cara terbaik yang bisa memberikan keyakinan tanpa keraguan akan keberadaan atau eksistensi Tuhan. Karena hanya akal yang bisa diyakinkan 100%, dengan syarat dihadirkan bukti yang bisa difahami secara rasional.

Kullu nafsin dzā’iqul maut

Setiap jiwa pasti akan mengalami mati. Selama ini, apakah kita sudah menyadari sepenuhnya bahwa sebagai makhluk hidup yang telah ditiupkan ruh, kita juga akan mati? Jangan-jangan selama ini kita bahkan berusaha untuk melupakan mati. Apa bukti bahwa kita ingat mati, sedangkan segala sumber daya kita senantiasa diarahkan untuk pencapaian kenikmatan duniawi?

Apabila kita mendengar kata mati, apa yang terlintas pada benak kita, kegembiraan atau kesedihan? Apabila kita masih merasa takut ketika mendengar kata mati, jangan-jangan kita belum memahami esensi dari kematian itu sendiri. Jangan-jangan kita mengenal kata mati hanya melalui narasi—bahwa mati itu mengerikan, bahwa dengan mati kita tidak bisa lagi merasakan kemewahan hidup, dan lain sebagainya.

Mati di dalam Hidup

Ketika seseorang takut pada kematian, sesungguhnya dunia masih melekat di hatinya. Apabila ia telah memahami bahwa dunia ini hanyalah tempat meninggal, bukan tempat tinggal, maka ia tidak akan merasa sedih untuk meninggalkan keduniaannya. Bahkan, ia akan mengorbankan kenikmatan dunia untuk ditukar dengan kebahagiaan akhiratnya.

Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tidak akan mau menukar akhiratnya hanya demi sekerat dunia yang tidak seberapa. Sebaliknya, orang yang telah terjebak pada pemikiran materialis maupun sekuleris akan senantiasa mengejar dunia sekuatnya sehingga tidak mungkin diharapkan berkorban untuk agamanya. Bahkan, ia bisa berkhianat kepada agamanya demi kepentingan pribadinya.

Ghayah Butuh Washilah

Seperti layaknya sebuah perjalanan, kita membutuhkan gerak dan sarana untuk mencapai tujuan. Tidak mungkin kita sampai ke tempat tujuan bila kita hanya sekadar menginginkannya tanpa melakukan upaya agar bisa sampai ke sana. Dan upaya tersebut tentu saja membutuhkan sarana yang tepat untuk mengantarkan kita kepada tujuan.

Sarana yang tepat untuk mencapai tujuan adalah keimanan dan ketakwaan. Iman seperti kita membeli tiket kereta. Takwa itu ibarat mencetak boarding pass, menjalani proses pemberangkatan, serta menaati segala aturan di perjalanan. Dakwah adalah tiket go show yang harganya terjangkau dan dapat dilakukan kapan saja.

Penghulu Para Syuhada

"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh." (HR Ath-Thabarani)

Para pengembang dakwah memiliki kesempatan untuk menjadi Sayyidusy Syuhadā’. Aktivitas mereka adalah dakwah, termasuk di dalamnya adalah muhāsabah lil hukkām atau mengoreksi penguasa. Aktivitas ini tentu saja memiliki konsekuensi dan oleh karenanya membutuhkan kesadaran spiritual yang tinggi.

Kesadaran spiritual ini adalah ruh dari semua aktivitas yang berawal dari terjawabnya tiga pertanyaan primordial manusia: dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan akan ke mana setelah kematian. Dengan terjawabnya pertanyaan ini, ia memiliki pemikiran mendasar tentang kehidupan yang akan menjadi landasan semua pemikiran, sikap, dan tindakannya selama hidup di dunia.

Khatimah

Hidup adalah perjalanan pulang menuju ke rumah akhirat. Pintu menuju akhirat adalah kematian. Orang yang cerdas akan mempersiapkan kepulangannya dengan amal yang ahsan. Sementara orang yang bebal mengira bahwa dunia ini selamanya sehingga berebut dengan menghalalkan segala cara.

Anda termasuk yang mana, yang cerdas atau yang bebal?
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
[dsh]


Oleh: Trisyuono D. 
Aktivis Muslim

Opini

×
Berita Terbaru Update