TintaSiyasi.id -- Indonesia dan China telah memasuki babak baru dalam kerja sama di sektor kendaraan energi baru (new energy vehicle/NEV) melalui proyek baterai listrik hasil kolaborasi sejumlah perusahaan dari kedua negara, yang diluncurkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto, di Karawang, Provinsi Jawa Barat, pada Sabtu (29/6) pekan lalu.
Para pakar menyebut megaproyek senilai hampir 6 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp16.231) ini akan memberikan dorongan positif terhadap perkembangan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di dalam negeri.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan bahwa produksi baterai secara domestik dapat mendorong perkembangan pasar EV di Indonesia.
Kerja sama ini melibatkan perusahaan-perusahaan Indonesia, yakni PT Aneka Tambang (ANTAM) dan Indonesia Battery Corporation (IBC), dengan Konsorsium CATL, Brunp, Lygend (CBL) yang terafiliasi CATL. Ekosistem baterai listrik ini diklaim akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara (antaranews.com, 1/7/2025).
Pembangunan pabrik baterai sebagai bagian dari program hilirisasi diklaim akan membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah menyebut proyek ini mampu menekan angka impor dan membuka ribuan lapangan kerja bagi masyarakat, langsung maupun tidak langsung—mulai dari pabrik, logistik, teknisi, sampai pekerja pendukung (kantin, keamanan, dan lain-lain).
Selain itu, diharapkan pula ada peningkatan ekonomi lokal. UMKM bisa tumbuh karena permintaan barang dan jasa meningkat. Jika dirancang dengan baik, bisa meningkatkan kapasitas tenaga kerja lokal melalui pelatihan teknologi tinggi, serta mampu berkontribusi terhadap transisi energi, turut mendukung kendaraan listrik dan pengurangan polusi udara.
Namun, jika ditelaah lebih dalam harapan terwujudnya kesejahteraan rakyat, maka hal tersebut tidak sepenuhnya nyata. Karena proyek ini justru melibatkan dominasi perusahaan swasta, bahkan asing, seperti Hyundai dan LG Energy Solution. Adapun fokus utamanya adalah pengolahan nikel (bahan baku utama baterai), produksi baterai hingga daur ulang.
Tentu saja, keterlibatan swasta asing dan swasta tersebut berpotensi lebih mengutamakan keuntungan perusahaan daripada rakyat. Apalagi jika pengolahan bahan tambang tidak memberi nilai tambah maksimal di dalam negeri. Dampak lainnya adalah dikorbankannya lingkungan dan petani lokal. Karena pengolahan nikel (terutama lewat smelter atau HPAL) menghasilkan limbah berbahaya, polusi debu logam berat dari aktivitas penambangan atau pabrikasi, penggundulan hutan jika bahan baku (nikel, kobalt, dan lain-lain) diambil dari wilayah hutan seperti Sulawesi dan Halmahera. Intinya, terdapat risiko pencemaran air, tanah, udara, dan konflik lahan dengan masyarakat.
Jika dikatakan menciptakan ribuan lapangan kerja, maka pekerjaan yang tercipta bagi rakyat biasanya bersifat pekerjaan kasar, rendah upah, dan minim perlindungan. Sedangkan pekerjaan bernilai tinggi mungkin akan diisi oleh tenaga kerja asing atau luar daerah. Tanpa pengawasan dan regulasi ketat, pekerja bisa dieksploitasi. Oleh karena itu, jika proyek hanya fokus ekspor atau kendaraan mahal, maka rakyat tidak jadi bagian dari manfaatnya.
Cara Islam Mengelola Megaproyek Baterai
Pertama, dalam sistem Islam, khilafah akan mengelola sumber daya alam (SDA) hanya demi kemaslahatan masyarakat. Dalam Islam, sumber daya alam ditetapkan sebagai milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, melainkan wajib dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat, yakni dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat dan mewujudkan kemakmuran yang merata. Tambang besar, seperti nikel, termasuk kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah), sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah saw.:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api.”
(HR Abu Dawud)
Ini menunjukkan bahwa kekayaan alam dengan karakter strategis dan vital adalah milik bersama, dan negara bertanggung jawab penuh dalam pengelolaannya berdasarkan syariat Islam dalam kapasitasnya sebagai ra‘in (pengurus umat), sebagaimana sabda Nabi saw.:
"Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, SDA tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh swasta, asing maupun lokal. Tidak boleh dijadikan komoditas komersial bebas seperti dalam sistem kapitalis. Pengelolaan dilakukan oleh negara, hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik: pendidikan, kesehatan, transportasi, subsidi, dan lain-lain.
Dengan mengambil alih pengelolaan sumber daya alam, khalifah dapat mengatur pertambangan sesuai syariat, bukan kepentingan oligarki. Sehingga dampak lingkungan dapat diminimalkan.
Kedua, dalam hal teknologi dan industri, khilafah akan mendorong kemandirian, bukan ketergantungan. Khilafah mengembangkan teknologi strategis secara mandiri (self-reliance) sebagai bagian dari kebijakan industri. Menguasai penuh rantai produksi dari tambang sampai baterai dan kendaraan listrik, tanpa penyerahan kontrol ke asing. Negara boleh mengimpor teknologi dari luar, tapi hanya sebagai sarana alih teknologi, bukan menjadikan negara sebagai pasar atau tempat eksploitasi.
Ketiga, pendanaan proyek tanpa riba dan tanpa investasi asing. Pendanaan berasal dari pos baitul mal (kas negara). Adapun pajak darurat (dharibah) hanya dalam kondisi sangat terbatas, yaitu saat kas baitul mal kosong.
Keempat, distribusi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan investor. Hasil dari proyek baterai tidak masuk ke kantong individu, korporasi, atau investor, tapi untuk memastikan listrik, transportasi, dan energi terjangkau bagi seluruh rakyat. Negara tidak menjual ke rakyat dengan prinsip komersial, melainkan melayani karena ketakwaan.
Kelima, menjaga lingkungan dengan penuh amanah, bukan eksploitasi. Karena konservasi lingkungan adalah bagian dari amanah (khilafah fil ardh),
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.”
(QS Al-A‘raf: 56)
Oleh karena itu, negara akan melarang metode pertambangan yang merusak lingkungan. Limbah dan emisi harus dikelola sesuai prinsip la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain). Menjamin kelestarian hutan, tanah, dan ekosistem lokal.
Dengan langkah-langkah demikian, maka negara dapat berdiri tegak sebagai entitas mandiri yang kuat dan berpotensi menjadi negara adidaya yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis