TintaSiyasi.id -- Kementerian Kesehatan RI mencatat 51 aduan dugaan malapraktik selama 2023 hingga pertengahan 2025. Dari jumlah tersebut, 24 kasus berujung kematian, dan 7 lainnya menyebabkan luka berat (Liputan.com, 04-07-2025). Fakta ini kembali mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan dan menuntut jawaban atas pertanyaan krusial: bagaimana negara melindungi rakyat dari kelalaian medis yang fatal?
Dalam Islam, nyawa manusia adalah hal yang sangat agung. Allah Swt. berfirman:
“Barang siapa membunuh seorang manusia—bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi—maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.” (TQS. Al-Māidah: 32)
Karena itu, setiap bentuk kelalaian yang menyebabkan kematian tidak bisa dianggap ringan. Islam memandang urusan kesehatan sebagai amanah besar, bukan sekadar pelayanan jasa.
Keadilan untuk Pasien dan Tenaga Medis
Islam menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan pembelaan terhadap tenaga medis. Jika kelalaian terbukti menyebabkan kematian atau luka serius, maka pelaku bertanggung jawab secara hukum syariah: mulai dari diyat (kompensasi) hingga qishash bila ada unsur kesengajaan atau kelalaian berat. Namun, jika tenaga medis telah menjalankan tugas sesuai standar dan profesionalisme, maka tidak boleh dikriminalisasi tanpa alasan syar’i.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya satu jiwa tanpa hak.” (HR. Nasa’i)
Negara Tidak Boleh Lepas Tangan
Sistem pelaporan dan pengawasan dalam kasus malapraktik memang sudah tersedia—dari fasyankes, organisasi profesi, hingga Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan. Namun sistem ini seringkali tertutup dan tidak berpihak pada keadilan yang sesungguhnya. Dalam Islam, keadilan tidak cukup di atas kertas. Ia harus nyata, dirasakan, dan ditegakkan oleh negara.
Solusi Islam: Tegakkan Syariah, Hadirkan Khilafah
Pertama. Pengawasan dan hukum yang tegas dan independen.
Dalam sistem Islam, lembaga qadha (peradilan) bertugas menyelesaikan perkara dengan adil dan cepat. Kasus malapraktik akan ditangani langsung oleh Qadhi Madzalim atau Qadhi Hisbah—lembaga kehakiman yang fokus menangani penganiayaan rakyat oleh aparat, pejabat, maupun profesional.
Kedua. Penegakan qishash dan diyat secara konsisten.
Jika malapraktik terbukti menyebabkan kematian, maka hukum Islam menetapkan sanksi yang tegas berupa qishash atau diyat. Ini bukan semata bentuk hukuman, tapi juga jaminan keadilan bagi korban dan peringatan keras bagi pelaku agar lebih berhati-hati.
Ketiga. Pendidikan akhlak dan ketakwaan dalam profesi.
Islam menanamkan nilai takwa sebagai fondasi setiap profesi. Tenaga medis akan dididik bukan hanya secara teknis, tapi juga ruhiyah, menyadari bahwa pekerjaannya adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Keempat. Sistem pelayanan kesehatan gratis dan profesional di bawah khilafah.
Dalam khilafah, negara adalah penanggung jawab utama layanan kesehatan. Seluruh rakyat berhak mendapatkan pengobatan terbaik tanpa harus terbebani biaya. Negara akan mempekerjakan dokter dan tenaga medis profesional, mengatur beban kerja secara adil, serta menyediakan infrastruktur medis lengkap—semua dibiayai dari Baitul Mal, bukan dari swasta berorientasi laba.
Kelima. Tidak ada kriminalisasi, tapi juga tidak ada imunitas.
Sistem khilafah tidak akan membiarkan kriminalisasi tenaga kesehatan yang jujur. Namun juga tidak akan membiarkan pelaku kelalaian fatal lolos begitu saja. Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, sesuai syariat, tanpa tekanan politik atau kepentingan korporasi
Penutup: Keadilan Sejati Butuh Sistem Ilahi
Kasus malapraktik tidak cukup diselesaikan dengan regulasi administratif atau imbauan moral. Butuh sistem menyeluruh yang mampu melindungi jiwa, menegakkan keadilan, dan mendidik masyarakat serta tenaga kesehatan untuk menjalani amanah profesinya dengan penuh tanggung jawab.
Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, keadilan semacam itu bisa terwujud. Bukan semata menindak pelaku, tapi juga memperbaiki sistem pelayanan kesehatan dari akarnya—agar benar-benar berpihak pada manusia, bukan pada laba atau statistik semu.
Wallāhu a‘lam. []
Oleh: Mujiman
Penulis