TintaSiyasi.id -- “Kaya sejati adalah ketika jarak dunia dilipat untukmu, sehingga kau melihat akhirat lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari
Pendahuluan: Meninjau Ulang Makna Kekayaan
Dalam dunia yang serba materialistik ini, ukuran kekayaan sering kali disempitkan pada harta benda, angka di rekening bank, rumah mewah, kendaraan mahal atau keberlimpahan aset. Padahal, semua itu hanyalah bagian kecil dari realitas kehidupan. Dalam pandangan para arif billah seperti Ibnu Athaillah, kekayaan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada bagaimana jiwa kita melihat dunia dan akhirat.
1. Dunia yang Dilipat: Menyempitnya Cinta Dunia dalam Hati
Ketika Ibnu Athaillah berkata “jarak dunia dilipat untukmu”, beliau ingin menunjukkan bahwa orang yang ma’rifat (mengenal Allah dengan sebenar-benarnya) akan melihat dunia sebagai sesuatu yang sangat kecil, fana, dan tak memiliki nilai hakiki. Dunia menjadi seperti kain lusuh yang dilipat dan tak menarik lagi bagi hatinya.
Ini bukan berarti dunia dibenci dalam arti mutlak. Dunia tetap dipandang sebagai ladang amal, tempat menjalankan ibadah, berbuat baik, dan menyebar rahmat. Namun, kedudukan dunia dalam hati telah sirna. Ia tak lagi mengikat, memikat, atau membutakan pandangan. Dunia hanya menjadi alat, bukan tujuan.
Orang seperti ini telah melampaui ambisi duniawi, tidak lagi terbelenggu oleh nafsu untuk diakui, dikagumi atau dikuasai oleh materi. Mereka hidup sederhana, tetapi hati mereka penuh kelapangan. Mereka bisa memiliki dunia, tetapi dunia tak memiliki mereka.
2. Akhirat yang Mendekat: Kesadaran Ruhani yang Hidup
Bagian kedua dari hikmah ini adalah “Sehingga kau melihat akhirat lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri.” Ini menggambarkan tingkatan ruhani yang sangat tinggi, dimana seseorang merasakan kehadiran akhirat, seperti maut, hari kebangkitan, hisab, surga, dan neraka, lebih nyata daripada dirinya sendiri.
Ini bukanlah hayalan, tetapi kesadaran batin yang terus hidup. Ia bangun di pagi hari dengan mengingat pertemuan dengan Allah. Ia beraktivitas dengan pandangan ke akhirat. Ia menutup harinya dengan muhasabah dan taubat. Akhirat bukan lagi sekadar konsep dalam buku, melainkan kenyataan yang lebih dekat dari urat lehernya.
3. Kaya yang Mencerdaskan dan Mencerahkan
Kekayaan seperti ini bukan hanya memuliakan pemiliknya, tetapi juga mencerahkan orang di sekitarnya. Ia menjadi mata air hikmah, pelita di tengah gelapnya dunia yang dikuasai syahwat dan ambisi. Kehadirannya menjadi penyejuk, tutur katanya mengingatkan pada akhirat, dan perilakunya mencerminkan kehidupan yang penuh makna.
Ia tidak sibuk memamerkan hartanya, tetapi sibuk menanam amal. Ia tidak tergoda pujian, tetapi takut akan hisab. Ia bukan hanya menasihati, tetapi menjadi teladan. Inilah hamba-hamba Allah yang kaya dalam jiwa, lapang dalam dada, dan kokoh dalam iman.
4. Mengapa Umat Butuh Refleksi Ini?
Umat Islam hari ini hidup dalam dunia yang sangat bising. Media sosial memancing kompetisi kosong. Ukuran kesuksesan bergeser menjadi seberapa banyak followers, seberapa mewah gaya hidup atau seberapa viral tindakan. Dalam kekacauan makna ini, kita butuh kearifan para wali Allah seperti Ibnu Athaillah.
Kita perlu mengembalikan standar kejayaan umat bukan pada kemewahan lahir, tetapi pada kejernihan batin. Kita perlu mencetak generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga cerdas secara ruhani, yang tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga menguasai hati.
Maka, tafsir atas kekayaan sejati ini bukan sekadar pelajaran tasawuf, tetapi proyek besar membangun peradaban yang utuh, yakni peradaban yang tak hanya maju, tetapi juga lurus dan jernih.
Penutup: Jalan Menuju Kekayaan Sejati
Kekayaan sejati bukan milik segelintir orang suci. Setiap Muslim bisa meraihnya dengan langkah-langkah yang istiqamah:
• Bersihkan hati dari cinta dunia berlebihan
• Perkuat zikir dan muraqabah (kesadaran bahwa Allah melihat kita)
• Perbanyak membaca dan merenungi Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
• Berteman dengan orang-orang shalih dan zuhud
• Bangun malam, istighfar, dan taubat sebagai kebiasaan
Pada akhirnya, kaya sejati adalah mereka yang melihat dunia dalam genggaman, dan akhirat di depan mata. Bukan karena mereka memiliki segalanya, tetapi karena hati mereka hanya tertambat pada Yang Maha Memiliki.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr: 27-28).
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo