TintaSiyasi.id -- Kebijakan Sekolah Rakyat yang akan dimulai Juli 2025 menarik perhatian dan menelan anggaran yang tak sedikit.
Untuk tahap awal, pemerintah telah mengeluarkan dana Rp1,2 triliun untuk merenovasi 100 Sekolah Rakyat rintisan yang menggunakan aset-aset milik gedung Kementerian Sosial. Dengan renovasi gedung tersebut, diharapkan program Sekolah Rakyat rintisan ini akan bisa dimulai tanggal 14 Juli 2025.
Termasuk di Kabupaten Magelang, ada di Kecamatan Pakis dan Kecamatan Salaman yang rencananya akan beroperasi Juli 2025.
Sementara itu, Kementerian Perumahan Umum akan mulai membangun gedung baru untuk Sekolah Rakyat pada September 2025.
Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun satu lokasi Sekolah Rakyat, menurut Menteri PU Dody Hanggodo, sebesar Rp200 miliar di atas tanah seluas minimal 6 hektare.
Jika negara berencana mendirikan 100 lokasi untuk Sekolah Rakyat, maka minimum anggaran yang akan dibutuhkan negara kurang lebih sebesar Rp20 triliun. Anggaran tersebut sudah termasuk perlengkapan isi sekolah di atas lahan minimal 6 hektare yang akan digunakan untuk tiga jenjang, yaitu SD, SMP, dan SMA.
Ada asrama guru, asrama murid, lapangan olahraga, hingga lapangan upacara. Pembangunan Sekolah Rakyat ini akan dimulai pada bulan September 2025 dan ditargetkan selesai Juni 2026 sehingga bisa beroperasi di tahun ajaran baru 2026/2027.
Setiap kepala daerah boleh mengajukan lahan untuk pembangunan Sekolah Rakyat dengan syarat lahan bukan lahan sengketa, tidak ada masalah pada sertifikat hak milik (SHM), dan izin mendirikan bangunan (IMB).
Tak hanya itu, program Sekolah Rakyat ini juga didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Menurut Wayan Toni Supriyanto selaku Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kementerian Komunikasi dan Digital, sekolah bebas biaya ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk memperluas akses pendidikan dan mempercepat transformasi digital, khususnya di daerah terpencil.
Sehingga, menurut dia, komunitas-komunitas tersebut akan memiliki peluang baru untuk berkembang.
Selain daripada itu, ia menilai bahwa pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar perangkat dan akses internet. Pendidikan digital juga menuntut komitmen terhadap keadilan sosial, sehingga setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Sejalan dengan tujuan diadakannya Sekolah Rakyat, yaitu mencetak siswa berprestasi guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Kementerian Komunikasi dan Digital telah menyediakan akses internet berkecepatan tinggi di dua Sekolah Rakyat di Yogyakarta, yaitu di Bantul dan Sleman, dengan 100 Mbps untuk 75 siswa dan 200 Mbps untuk 200 siswa.
Dari sarana dan prasarana yang disediakan, Sekolah Rakyat ini terbilang sangat cukup menunjang untuk terwujudnya capaian pendidikan yang baik.
Baik dari sisi dekatnya asrama tenaga pendidik maupun muridnya, hingga tersedianya fasilitas internet untuk menunjang segala kebutuhan sistem pengajaran di sekolah.
Namun, sayangnya, ada syarat bagi individu calon siswa yang diterima menjadi siswa Sekolah Rakyat, yaitu anak dari keluarga desil dua dan satu atau dari keluarga miskin dan sangat miskin.
Pada kondisi yang sama, ada keluarga di atas desil 2 yang harus mengejar pendidikan anak-anaknya dengan pembiayaan ditanggung sendiri dan upaya yang tak mudah di tengah lesunya ekonomi.
Misalnya keluarga desil 3, yaitu keluarga hampir miskin; desil 4, rentan miskin; desil 5, pas-pasan; sedangkan desil 6–10 adalah keluarga menengah ke atas (tidak prioritas penerima bansos).
Dari desil 6–10, yaitu keluarga tidak prioritas penerima bansos itu saja, sangat banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan keluarga desil 1 dan desil 2. Karena fakta di lapangan, ada banyak keluarga yang tidak menerima bansos. Belum lagi keluarga yang ada di posisi desil 3–5 adalah mereka yang bisa berubah nasib ekonomi keluarganya sewaktu-waktu sesaat setelah adanya satu hingga beragam kebijakan pemerintah yang berimbas terhadap laju ekonomi.
Sehingga, anggaran negara triliunan ini hanya menyasar sebagian kecil saja, yaitu masyarakat dalam tanda kutip yang masuk kategori miskin dan sangat miskin. Namun akan berimbas pada banyaknya kebijakan pajak dan ekonomi yang efek dominonya sangat dirasakan oleh keluarga desil 3–5. Tak menutup kemungkinan akan menjadi badai ekonomi bagi keluarga desil 6–10.
Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maupun pasal-pasalnya, disebutkan bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara dan negara wajib memberikannya.
Artinya, tidak ada perbedaan kelas antara miskin hingga kaya dalam akses pendidikan. Sehingga setiap warga negara akan berlomba-lomba dalam menuntut ilmu jika layanan dan aksesnya mudah dijangkau. Inilah bukti nyata negara yang mencerdaskan warga negaranya.
Sayang seribu sayang, dalam prinsip ekonomi kapitalisme dunia, rakyat diminta untuk memenuhi kebutuhan sendiri, termasuk pendidikan. Negara hanya sebagai regulator saja, negara tidak bermain sepenuhnya dalam mewujudkan kecerdasan warga negaranya.
Di negara-negara kapitalis yang sudah maju, pendidikan bisa nampak gratis, namun pajak yang dikenakan kepada rakyatnya sangat tinggi.
Sehingga, dalam waktu lama, akan memunculkan depresi pada warga negara akibat beban hidup yang makin hari makin berat. Memandang generasi sebagai beban ekonomi, hingga merasa pendidikan tak mengubah kondisi akhlak generasi, karena mental yang dibangun hanya materi dan materi saja.
Kontradiksi dengan Islam, ketika Islam memimpin umat manusia. Tatkala Islam digunakan sebagai aturan kehidupan keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara, maka pendidikan benar-benar bisa diakses semua lapisan masyarakat. Tak hanya miskin hingga kaya, laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak hingga orang tua.
Karena Islam memandang menuntut ilmu adalah wajib. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Muslim)
Sehingga, negara ada untuk memudahkan kewajiban setiap hamba-Nya berjalan sempurna. The real taat bareng-bareng itu sampai bikin bahagia dunia hingga akhirat.
Jika pendidikan tidak memandang kaya dan miskin, akhirnya tidak ada kecemburuan sosial di masyarakat, tidak membentuk mental miskin dan meminta-minta di kalangan warganya hanya karena berlomba-lomba mendapatkan fasilitas negara dan bantuan sosial.
Banyak dijumpai warga negara rela mendaftar penerima bantuan dengan mengaku tidak mampu, mendapatkan layanan kesehatan pun harus berbohong mengaku tidak mampu, apalagi di masa yang akan datang, bukan mustahil akan lebih banyak lagi masyarakat yang mengaku miskin demi mendapatkan fasilitas Sekolah Rakyat.
Ini bukan salah warga sepenuhnya, tapi bukti rusaknya sistem kapitalisme yang merusak mental individu. Karena pendidikan adalah bagian dari kebutuhan manusia secara fitrah. Secara fitrahnya, manusia ingin senantiasa maju dan berkembang dari sisi pengetahuan seiring dengan pertambahan usia. Sehingga, kapitalisme juga tidak sesuai fitrah manusia.
Sebaliknya, Islam justru melahirkan banyak ulama bermental kaya dari beragam ilmu yang berbeda-beda. Karena Islam sesuai dengan fitrah manusia, yaitu menjawab fitrah itu dengan menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban manusia yang berakal. Selama akalnya berjalan normal, maka ia harus menuntut ilmu. Terutama tsaqafah Islam, karena tsaqafah Islam akan memengaruhi perilaku manusia yang nantinya dihisab di akhirat. Sehingga, sistem Islam menjamin keselamatan individu hingga di akhirat selama ia adalah Muslim dan taat.
Ilmuwan dan tokoh di dalam peradaban Islam yang mewakafkan ilmu dan hartanya di jalan Islam di antaranya: Nizham Al-Mulk, Wazir dari Bani Seljuk, yang membangun madrasah pertama dalam Islam bernama Madrasah Nidzamiyah. Hartanya diwakafkan untuk operasional pendidikan di madrasah tersebut. Nuruddin Zinki yang mewakafkan tanah, kebun, hingga rumah untuk membangun Madrasah Nuriyah Kubra.
Selain mereka, masih banyak lagi ulama dan tokoh Islam yang mewakafkan harta dan ilmunya di jalan Islam, seperti Abu Thalhah, Utsman bin Affan, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, Abu Al-Qasim Al-Zahrawi, Muhammad bin Zakariya Al-Razi, dan masih banyak lagi.
Inilah bukti perbedaan sistem yang diterapkan mampu mewarnai generasi manusia dalam bersikap. Jika negara ini serius ingin mengubah mental generasi dari perilaku korupsi dan mental negatif lainnya, maka tak ada pilihan lain kecuali dengan perubahan sistem.
Karena kerusakan generasi hari ini, termasuk generasi korup di kalangan pejabat, adalah buah dari sistem kapitalisme yang melahirkan mental materialisme. Hal ini sangat berkebalikan dengan Islam yang melahirkan generasi yang senantiasa menginginkan kebaikan akhirat sebagai yang utama, kemudian kebaikan dunia dikejar semata-mata untuk memberikan manfaat kepada sesama makhluk Allah, sehingga berbuah kebaikan di akhirat bagi individu tersebut.
Jadi, kebijakan Sekolah Rakyat perlu dikaji karena akan menyebabkan ketimpangan di kalangan masyarakat, khususnya pelajar di kemudian hari. Dan merupakan wujud dikotomi ketidakadilan dalam meraih hak pendidikan warga negara, yaitu hanya untuk si miskin dan sangat miskin pendidikan gratis, sementara di luar itu mereka harus membeli layanan pendidikan dengan nilai fantastis.
Oleh: Heni Trinawati
Aktivis Muslimah