×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI Soroti Potensi Nuklir Indonesia: Uranium dan Torium Sebagai Pilar Kedaulatan Energi Masa Depan

Jumat, 04 Juli 2025 | 11:07 WIB Last Updated 2025-07-04T04:09:19Z

Tintasiyasi.ID -- Di tengah tantangan krisis energi dan meningkatnya kebutuhan listrik nasional, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) melalui rilisnya No. 009, Kamis (03/07/2025), menyoroti potensi besar sumber daya energi nuklir di Indonesia, yaitu uranium dan torium, yang kedua unsur itu menyimpan peluang strategis tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, tetapi juga sebagai fondasi  kedaulatan energi nasional di masa depan.

 

“Uranium dan torium, kedua unsur itu menyimpan peluang strategis tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, tetapi juga sebagai fondasi  kedaulatan energi nasional di masa depan,” rilis perhimpunan tersebut kepada TintaSiyasi.ID.

 

Mereka menyitat data Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Indonesia diperkirakan memiliki cadangan uranium sebanyak 80.000 ton. “Wilayah Kalan di Kalimantan Barat saja dilaporkan mengandung potensi 24.000 ton uranium logam. Meskipun angka ini belum sebesar negara produsen utama seperti Kanada, Australia, atau Kazakhstan,” bebernya.

 

“Jumlah tersebut cukup signifikan untuk mendukung pengembangan reaktor nuklir skala kecil maupun besar jika dikelola secara optimal. Uranium sendiri adalah unsur logam radioaktif yang menjadi bahan bakar utama Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), mampu menghasilkan listrik jauh lebih efisien dibandingkan batu bara atau gas alam. Sebagai perbandingan, 1 gram uranium (ditambang dari sekitar 300 kg batuan) dapat menghasilkan energi setara dengan 3 ton batu bara,” imbuh mereka.

 

Eksplorasi, ulas mereka, menunjukkan bahwa Pulau Kalimantan merupakan wilayah berpotensi uranium terbesar di Indonesia, dengan Kalan, Kalimantan Barat, menjadi pusat penelitian dan eksplorasi sejak 1980-an.

 

“Di sana ditemukan endapan uranium dalam batuan granit dan metamorf dengan kadar ekonomis antara 0,1 persen  hingga 0,3 persen. Beberapa daerah lain seperti Papua, Sulawesi, dan Bangka Belitung juga menunjukkan anomali radiometrik yang mengindikasikan potensi uranium, meski belum dieksplorasi secara mendalam,” ujarnya.

 

Mereka mengatakan, salah satu isu penting dalam pemanfaatan uranium adalah pengayaan (enrichment). Uranium alami hanya mengandung sekitar 0,7 persen isotop Uranium-235 (U-235), yang merupakan bagian reaktif, sementara sisanya adalah Uranium-238 (U-238) yang tidak reaktif.

 

“Untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar reaktor modern, uranium harus diperkaya menjadi 3–5 persen U-235. Proses pengayaan ini dilakukan menggunakan alat sentrifugal yang memisahkan isotop U-235 dari U-238. Teknologi ini sangat sensitif, karena jika pengayaan dilanjutkan hingga mencapai 90persen U-235, uranium tersebut akan tergolong "weapons-grade" dan dapat digunakan dalam bom atom,” tandas HILMI.

 

Oleh karena itu, lanjut mereka, fasilitas pengayaan uranium selalu berada di bawah pengawasan internasional ketat, seperti dari IAEA (Badan Energi Atom Internasional), untuk mencegah proliferasi senjata nuklir. “Indonesia sendiri telah berkomitmen penuh pada penggunaan energi nuklir secara damai, termasuk meratifikasi perjanjian nonproliferasi senjata nuklir (NPT),” ujarnya.

 

“Dengan asumsi penggunaan reaktor skala 1.000 megawatt (MW), kebutuhan uranium per tahun sekitar 180 ton uranium alam. Ini berarti cadangan uranium Indonesia yang 80.000 ton secara teoritis cukup untuk mengoperasikan satu PLTN besar (berdaya 1 GW) selama 444 tahun. Potensi ini dapat diperpanjang jika menggunakan teknologi daur bahan bakar nuklir tertutup,” ulas mereka.

 

Dengan demikian, jika Indonesia mengembangkan PLTN modular berukuran kecil (SMR) yang hanya membutuhkan beberapa ton uranium per tahun, kemandirian energi berbasis nuklir akan menjadi sangat mungkin. “Pengembangan ini, bersama bauran energi terbarukan lainnya, dapat memperkuat sistem kelistrikan nasional tanpa ketergantungan pada energi fosil atau impor BBM,” beber HILMI.

 

“Selain uranium, torium juga dianggap sangat potensial untuk energi. Torium tiga kali lebih melimpah dibandingkan uranium dan memiliki keunggulan tidak dapat dijadikan senjata nuklir, serta menghasilkan limbah radioaktif jauh lebih sedikit,” jelas mereka.

 

“Indonesia diperkirakan memiliki potensi torium sebesar 210.000 ton, terutama tersebar di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Torium ini ditemukan dalam mineral monasit, produk sampingan dari penambangan timah. Jika digunakan dalam PLTN berbasis torium (LFTR) bertipe pembiak (breeder), hanya sekitar 1 ton torium per tahun diperlukan untuk PLTN berdaya 1 GW. Ini berarti cadangan 210.000 ton torium Indonesia cukup untuk menghidupi satu PLTN selama 210.000 tahun,” ungkap para intelektual tersebut.

 

HILMI menegaskan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab historis untuk menguasai dan mengarahkan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan seluruh alam.

 

“Mengutip Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, HILMI menekankan bahwa kekuatan negara sangat bergantung pada ilmu dan teknologi, dan bahwa teknologi harus dikembangkan untuk memerdekakan, mencerdaskan, dan menyejahterakan, bukan untuk menindas,” tuturnya.

 

HILMI menutup rilisnya dengan dorongan kuat, “HILMI mengajak Indonesia untuk keluar dari keraguan dan ketakutan akan "bahaya nuklir" yang seringkali lebih bersifat politis daripada teknis. Dengan niat yang lurus, sistem yang transparan, dan kepemimpinan yang amanah, Indonesia didorong untuk memulai riset terpadu nasional torium, dari hulu hingga hilir, yang juga akan melibatkan riset uranium.”[] Rere

 

Opini

×
Berita Terbaru Update