×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ironi Beras Mahal di Negeri Agraris: Bukti Kegagalan Sistem Kapitalis

Rabu, 02 Juli 2025 | 17:31 WIB Last Updated 2025-07-02T10:31:13Z

TintaSiyasi.id -- Prof. Lilik Sutiarso, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan dukungannya terhadap respons cepat Satgas Pangan Mabes Polri yang langsung turun ke lapangan untuk memeriksa kejanggalan distribusi beras SPHP di sejumlah pasar induk besar, termasuk di Cipinang, Jakarta Timur.
“Saya mengapresiasi tindakan cepat Satgas Pangan yang segera menyelidiki lonjakan harga beras, padahal ketersediaan stok cukup melimpah hingga 4,2 juta ton. Tentu perlu dilakukan validasi secara langsung di lapangan,” ujar Prof. Lilik. 
(www.beritasatu.com, 19/06/2025) 


Ironi Harga Beras Mahal Meski Stok Melimpah

BPS menyatakan bahwa terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras pada awal Juni 2025 . Jumlah ini meningkat menjadi 133 wilayah di pekan berikutnya. Pengamat AEPI, Khudori, menilai harga beras medium dan premium terus berada di atas HET karena penyerapan besar-besaran oleh Bulog yang justru menyebabkan penumpukan di gudang. Ia mendorong pemerintah segera menyalurkan bantuan beras 10 kg untuk periode Juni–Juli 2025. (www.ekonomi.bisnis, 17/06/2025) 

BPS juga mencatat kenaikan harga beras terjadi di 133 kabupaten/kota pada minggu kedua Juni 2025, meningkat dari 119 wilayah pada minggu pertama. Deputi BPS Pudji Ismartini menyebut beras sebagai komoditas yang perlu diperhatikan, karena terus mengalami kenaikan harga berdasarkan indeks perkembangan harga (IPH). (www.ekonomi.bisnis, 16/06/2025) 

Di tengah klaim melimpahnya stok beras nasional yang mencapai jutaan ton, rakyat justru dihadapkan pada fakta getir yaitu harga beras yang terus melonjak, melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), dan makin membebani masyarakat kecil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada pekan kedua Juni 2025, jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras melonjak dari 119 menjadi 133 wilayah. Ini bukan sekadar angka, ini adalah jeritan ibu-ibu yang resah saat belanja di pasar, tangis anak-anak yang tidak lagi merasakan kenyang, dan beban berat kaum ayah yang berjuang memutar otak demi memenuhi kebutuhan harian keluarga. Semua ini tentu menambah jumlah beban panjang kehidupan masyarakat. Di tengah tingginya angka pengangguran, masyarakat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan pangannya.

Masalah ini bukan sekadar teknis distribusi atau kurangnya koordinasi. Akar persoalan terletak pada sistem kapitalisme yang mengatur tata kelola pangan saat ini. Kapitalisme menjadikan pangan bukan sebagai hak dasar rakyat, melainkan sebagai komoditas dagang yang mengikuti hukum untung dan rugi.

Lihat saja, kebijakan penyerapan gabah oleh Bulog yang semula bertujuan membantu petani, justru membuat gudang penuh dan pasar kekurangan suplai. Akibatnya, harga naik dan rakyat menderita. sebab dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai pembuat aturan atau regulator, bukan sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Selama masih mengikuti mekanisme pasar, maka yang diuntungkan hanyalah korporasi besar, para penimbun, dan elite bisnis bukan rakyat jelata.

Namun berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam memandang bahwa pangan merupakan sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam Khilafah Islamiyah, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalam sistem Islam, negara mengelola langsung produksi dan distribusi pangan, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar bebas. Negara memiliki sistem yang tepat dalam menangani keuangan negara yang dinamakan baitulmal (kas negara) yang kuat untuk mensubsidi kebutuhan rakyat.

Petani diberi kemudahan akses: bibit, pupuk, air irigasi, bahkan pelatihan teknis pertanian secara cuma-cuma.
Penimbunan pangan dilarang tegas, karena menyebabkan kelangkaan dan menzalimi rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda:
 "Siapa yang menimbun (makanan) maka ia berdosa." (HR. Muslim)

Distribusi dalam Islam dilakukan merata dan adil. Tidak ada daerah yang kelebihan sementara daerah lain kelaparan, karena negara Islam memiliki struktur wilayah yang solid dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Islam juga tidak menetapkan harga dengan paksaan, namun negara menghilangkan sebab-sebab yang membuat harga naik, seperti kartel, penimbunan, dan monopoli. Rasulullah ﷺ tidak mematok harga, namun menghilangkan sebab kerusakan pasar.

 "Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan, yang melapangkan dan yang memberi rezeki." (HR. Abu Dawud)

Maka sudah saatnya Kembali pada sistem Ilahi. Wahai kaum Muslimin, sampai kapan kita terus berharap pada tambal sulam kebijakan yang lahir dari sistem rusak ini? Kapitalisme telah berkali-kali gagal menjamin kebutuhan pokok kita. Pangan, pendidikan, kesehatan, semuanya hanya bisa diakses jika kita punya uang. Sementara dalam Islam, negara menjamin semua itu karena taat pada Allah, bukan demi suara atau untung rugi.

Maka saatnya kita menyadari bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tapi sistem hidup (way of life) yang sempurna, datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita harus mengembalikan Khilafah Islamiyah, sistem kepemimpinan global yang telah terbukti selama lebih dari 1300 tahun menjaga keadilan, kesejahteraan, dan kehormatan umat.

Para guru, petani, pedagang, mahasiswa, dan rakyat biasa—kita semua punya peran. Marilah kita memulainya dengan belajar Islam secara menyeluruh, lalu sebarkan kesadaran, dan ambil bagian dalam perjuangan menegakkan kembali sistem Islam. Karena saat Islam memimpin dunia, tidak akan ada satu pun rakyat yang lapar, tidak ada satu pun kebutuhan dasar yang diabaikan.

Hari ini, kita melihat kapitalisme memiskinkan. Namun di bawah naungan Islam, Insyaallah akan terwujud kehidupan yang penuh berkah, adil, dan sejahtera.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update