TintaSiyasi.id -- Seorang anak berlumuran darah di kepalanya usai ditendang hingga terbentur batu, lalu diceburkan ke dalam sebuah sumur di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Kejadian tersebut berujung viral di media sosial.Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah mengungkapkan kejadian yang menimpa anak itu, terjadi pada Mei 2025. Anak tersebut, kata Ilmansyah merupakan korban perundungan.
Jika diperhatikan tingkat kasus perundungan masih terus meningkat. Dan bahkan dengan tindakan yang makin mengarah kriminal, dan rata-rata pelaku adalah anak-anak SMP yaitu sebaya korban. Menurut data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus bullying menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan di lingkungan sekolah. Data mencatat setidaknya ada 1,478 kasus bullying dilaporkan. Angka ini meningkat tajam jika dibanding tahun-tahun sebelumnya 266 kasus bullying yang dilaporkan pada tahun 2022, sebelumnya lagi yang hanya mencapai 53 kasus pada 2021 dan 119 kasus pada 2020. Fakta terus bertambahnya kasus perundungan setiap tahunnya makin menguatkan bahwa kasus perundungan anak ini adalah fenomena gunung es. Sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kebijakan pendidikan hari ini untuk bisa mengurangi tingkat kasus perundungan.
Demikian program-program sekolah masih sering salah fokus dengan orientasi materialistis. Yaitu bagaimana mencetak generasi yang unggul daya saing, untuk bisa mendapatkan nilai tinggi di antara sekolah-sekolah lainnya. Pemerintah kerap FOMO untuk senantiasa mengikuti trend global, contohnya membuat kurikulum Ai dan coding untuk anak-anak SD. Padahal negeri ini masih belum bisa menjangkau dan menjamin semua kalangan untuk bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah tidak melihat krisisnya moral anak-anak saat ini ada pada masalah yang serius? Ataukah ketidakcakapan pembuat kebijakan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada?
Hal tersebut wajar jika dilihat anak-anak saat ini semakin jauh dari pendidikan yang berorientasi islam, dan pemerintah semakin mempersuasif kebebasan dan kemerdekaan arah anak-anak untuk menentukan pilihannya. Padahal dalam Islam, peran sistem pemerintahlah yang benar-benar menentukan arah pada generasi, memastikan setiap pendidik untuk sevisi dalam membentuk generasi yang berkepribadian dan berkarakter Islam. Dan ini wajar apabila landasan atau orientasi sistem negeri adalah demokrasi yang menjamin kebebasan, membuat kurikulum dan sistem pendidikan yang membentuk kepribadian bisa apa saja, oleh siapa saja yang memiliki kepentingan.
Yang mana di dalam Islam tidak disegankan atau diperbolehkan bagi siapapun menentukan arah atau definisi keinginan manusia yang berlawanan dengan Islam. Islam memahami anak adalah amanah yang harus dijaga bagi siapapun yang mengurusinya. Dan yang mampu menjaga anak tersebut tidak lain dengan syari’at-syariat Islam. Maka wajib hukumnya negeri ini untuk mengambil sistem Islam dan sistem pendidikan Islam dalam mendidik generasi. Dan menjamin setiap kebutuhan penunjang pendidikan berlandaskan Islam ini. Maka pendidikan dalam Islam wajib pula gratis bagi siapapun baik yang mampu ataupun tidak mampu dengan kualitas terbaik. Negara pun harusnya memastikan setiap tenaga pendidik untuk tidak sekedar mengajar tetapi juga membentu generasi yang berkepribadian Islam yaitu pemikiran dan tingkah lakunya berlandaskan Islam, dari sinilah setiap anak akan terjaga, dan juga akan memunculkan pada diri mereka kepemimpinan Islam.
Namun sayangnya hal tersebut akan jauh terealisasi apabila negeri ini tidak memakai sistem Islam, yang mana tidak memakai seluruh syariat-syariat Islam sebagai landasan dalam mengatur masyarakat. Jika negeri ini berkehendak untuk bisa meraih cita-cita meraih generasi unggul ala Islam, maka sudah seharusnya negeri ini berpindah, berhijrah memakai sistem Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dari Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ainun Syaifia
(Aktivis Surabaya)