TintaSiyasi.id -- Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyampaikan tren kenaikan harga beras terjadi lantaran harga gabah di tingkat petani juga naik (detik, 30 Juni 2025). Inilah pernyataan pemerintah untuk menanggapi mahalnya harga beras yang menyentuh ratusan kota di tengah melimpahnya stok beras. Benarkah ini penyebab utamanya?
Pada dua bulan terakhir, masyarakat memang menghadapi mahalnya harga beras yang melampaui harga eceran tertinggi (HET). Terbaru, harga beras naik di 163 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Ironisnya, kenaikan harga terjadi di tengah stok cadangan beras pemerintah melimpah.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan, hari ini rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 6.733/kg. Harga tersebut setara 3,58% dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 6.500/kg. Sedangkan untuk harga beras secara umum, BPS mencatat Rata-rata harga beras di zona 1 mencapai Rp 14.211/kg, zona 2 mencapai Rp 15.293/kg, dan zona 3 sebesar Rp 19.798/kg. (detikFinance, 30 Juni 2025)
Sebelumnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyampaikan stok beras di gudang Perum Bulog saat ini mencapai 4,2 juta ton. Kemudian penyerapan dari hasil panen petani oleh Bulog sebesar 2,6 juta ton setara beras. (detikFinance, 30 Juni 2025)
Biang kerok kenaikan harga beras ini tentu tidak sesederhana dikarenakan kenaikan harga gabah. Ada akar masalah yang lebih rumit lagi, terlebih memandang stok beras yang melimpah. Saatnya menelusuri adanya bottleneck (penyumbatan atau hambatan) di jalur distribusi.
Di mana titik sumbat atau bottleneck pada jalur distribusi beras? Apa dampak dari bottleneck distribusi? Bagaimana jalan keluar bottleneck distribusi?
Menelusuri Adanya Bottleneck di Jalur Distribusi
Dibanding kenaikan harga gabah, yang lebih mendominasi penyebab naiknya harga beras di pasar adalah persoalan distribusi. Terjadinya bottleneck di jalur distribusi nampak pada kenyataan melimpahnya stok beras tetapi aliran stok keluar beras tidak stabil. Di sistem hari ini, jalur distribusi beras meliputi dari produsen (petani, penggilingan), kemudian gudang (Bulog, distributor), lalu pasar, dan terakhir konsumen.
Menelusuri dari jalur distribusi tersebut, kita mencoba menganalisa titik sumbatnya, di antaranya:
Pertama. Penumpukan cadangan di gudang bulog. Apabila stok beras Bulog diklaim mencapai 4,2 juta ton, berarti ada penyumbatan pada jalan alir beras dari Bulog ke pasar atau konsumen. Ketika pasar kekurangan pasokan beras tentu akan berakibat pada kenaikan harga. Bisa jadi ada keterlambatan atau keengganan melakukan operasi pasar secara masif.
Kedua. Pasar dikendalikan tengkulak dan swasta. Dalam sistem kapitalis hari ini, pasar memiliki kuasa dalam mengendalikan harga barang dan jasa. Berbagai sumber menyebut 80-90 persen distribusi dan stok beras dikuasai swasta. Ini keniscayaan dalam mekanisme pasar yang dikuasai kapitalis. Tengkulak bisa menahan stok, sehingga menciptakan kesan kelangkaan.
Ketiga. Manipulasi data distribusi. Data jumlah beras yang “keluar” dari pasar induk tidak akurat. Publik disuguhkan data seolah-olah suplai cukup, padahal di lapangan tidak terasa. Temuan Satgas: data jumlah beras yang “keluar” dari pasar induk tidak akurat.
Semisal temuan Satgas Pangan mengenai manipulasi data pengeluaran beras dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Disampaikan seolah-olah “11.410 ton beras keluar” dari gudang PIBC. Namun ini hasil perhitungan selisih administratif, bukan real pengeluaran aktual. Pemeriksaan di lapangan oleh Satgas membuktikan bahwa pengeluaran riil hanya 2.368 ton, bukan 11.410 ton seperti dicatat dalam panel informasi. (detikFinance, 6 Juni 2925)
Kenaikan harga gabah bukan masalah utama kenaikan harga beras. Penumpukan cadangan beras di Bulog dan dominasi swasta/tengkulak atas 80–90% stok dan distribusi beras adalah penyebab sistemis utama dari masalah harga beras tinggi. Mekanisme ini menciptakan bottleneck distribusi, meskipun stok ada, alirannya tidak diatur dengan baik, sehingga harga tetap tinggi di pasaran.
Bottleneck Distribusi Beras Membuat Rakyat Terjepit
Ketidakefisienan sistem hari ini dalam mengelola distribusi beras menyebabkan hidup rakyat makin terjepit dalam menghadapi kenaikan harga beras yang tak kunjung turun dalam dua bulan terakhir. Rakyat terpaksa harus membeli beras di atas harga HET.
Terlebih para petani harus terjebak dalam sistem distribusi yang tidak transparan. Petani yang berperan sebagai produsen harus menanggung beban biaya produksi yang tinggi akibat biaya pupuk dan kebutuhan pertanian yang meningkat. Namun ironisnya, petani saat panen kehilangan kendali atas harga dan distribusi. Dominasi tengkulak memutus mata rantai dari petani ke konsumen secara langsung. Petani tidak tahu berasnya akan dijual ke mana, dengan harga berapa, atau kapan akan sampai ke pasar.
Parahnya, negara yang memiliki stok melimpah, tetapi tak mampu menjangkau pasar secara langsung dan cepat. Inilah keniscayaan sistem kapitalis, negara hanya sebagai penjaga stok, bukan sebagai pengatur pasar aktif karena harga pasar didominasi dan dikontrol oleh swasta. Jadi, meskipun stok beras ada tapi rakyat tetap membeli beras dengan harga mahal karena stok beras pemerintah terlambat sehingga tidak mampu mengintervensi harga pasar.
Strategi Jalan Keluar untuk Memutus Bottleneck Distribusi
Beras mahal bukan sekadar akibat harga gabah tinggi. Masalah utamanya ada di jalur distribusi yang tidak adil, tidak efisien, dan dikuasai segelintir pihak. Tanpa intervensi serius dan keberanian menembus jaringan kartel, masyarakat akan terus membayar mahal atas ironi ini. Ini adalah permasalahan sistemis, yakni akar masalahnya ada pada tata kelola pangan di sistem kapitalis.
Berkaca pada sistem Islam, negara memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan pokok per individu rakyatnya. Dalam pengelolaannya Islam menjauhkan adanya intervensi swasta dan langsung berperan memastikan kebutuhan beras sampai ke tangan rakyat.
Pemerintah dalam Islam pun menjamin kebutuhan petani dalam proses produksi pertanian mulai dari subsidi bibit, pupuk, hingga kebutuhan pertanian lainnya. Negara mendorong produksi pertanian secara maksimal sehingga kebutuhan pokok rakyat akan pangan dapat terpenuhi.
Dalam proses distribusi, negara akan menghilangkan berbagai bottleneck distribusi yang akan menghambat ketersediaan beras sampai ke tangan rakyat. Baik untuk praktik penimbunan beras, kecurangan proses distribusi, monopoli harga ataupun pematokan harga. Dalam proses distribusi ke berbagai wilayah pun negara akan memfasilitasi sarana dan prasarananya sehingga pasokan beras tidak terlambat dan terhambat.
Begitu pula dengan peran satgas pasar akan dioptimalkan, bukan sekadar bergerak ketika terjadi lonjakan harga. Ketika terjadi pelanggaran di pasar, pihak pengawas pasar memiliki wewenang menindak atau memberi sanksi secara langsung.
Kecacatan sistem kapitalis hari ini menihilkan kemampuan menjalankan mekanisme tata kelola pangan secara maksimal dan independen tanpa intervensi swasta. Peran maksimal negara mengurus rakyat dapat terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah di semua lini kehidupan terutama mengelola pangan baik mulai dari produksi, distribusi, hingga sampai konsumsi. []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo