×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Apa yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Kau Sibuk Ikut Campur (Refleksi Atas Hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandari)

Senin, 28 Juli 2025 | 14:11 WIB Last Updated 2025-07-28T07:11:27Z

TintaSiyasi.id -- “Istirahatlah dari keinginan mengatur, karena apa yang Allah atur untukmu, lebih sempurna daripada yang kau atur untuk dirimu sendiri.”
(Ibnu Athaillah as-Sakandari, Al-Hikam).

Pendahuluan: Jalan Hidup yang Penuh Pertanyaan
Sering kali dalam hidup, manusia disibukkan dengan pertanyaan:
“Mengapa begini?”
“Mengapa bukan begitu?”
“Kenapa tidak sesuai rencanaku?”
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari keinginan manusia untuk ikut campur dalam urusan yang sebenarnya sudah ditetapkan oleh Allah.
Padahal, dalam kedalaman hikmah para wali dan ulama, ada nasihat bijak dari Ibnu Athaillah yang mengguncang jiwa yang sedang gelisah:
"Apa yang telah diatur oleh Allah, tak perlu kau sibuk ikut campur."
Ucapan ini bukan ajakan untuk pasif, melainkan ajakan untuk tahu diri. Mana wilayah yang menjadi tugasmu sebagai hamba, dan mana yang menjadi wilayah eksklusif Allah sebagai Rabb.

1. Memahami Batas Peran: Hamba vs Rabb
Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah banyak mengulas tentang hakikat kehambaan dan ketuhanan. Salah satu pilar utamanya adalah menyadari bahwa tugas manusia hanyalah berikhtiar, bukan mengatur hasil.
Allah telah berfirman:
"Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu." (QS. Al-Hijr: 21).

Semua telah ditakar. Semua telah diatur dengan takaran yang sempurna. Lalu, mengapa manusia merasa harus mengatur ulang takdir yang telah disusun oleh Allah?

2. Ketika Campur Tangan Menjadi Beban
Banyak kegelisahan hidup lahir dari sikap ingin mengendalikan hal-hal yang sebenarnya bukan ranah kita. Contohnya:
• Ingin memastikan rezeki datang dari jalan yang kita mau, padahal Allah punya rencana lebih baik.
• Ingin segera menikah, padahal Allah masih mendidik jiwa untuk pantas menerima pasangan terbaik.
• Ingin sukses instan, padahal Allah sedang menyiapkan fondasi keikhlasan dalam setiap kegagalan kecil.
Kita merasa harus "mengatur" hidup, tetapi justru semakin terjerat dalam rasa lelah dan kecewa. Karena sesungguhnya, keinginan untuk ikut campur dalam urusan Allah adalah beban yang sia-sia.

3. Tawakal: Antara Usaha dan Berserah
Tawakal bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Tawakal adalah menjalani tugas sebagai hamba dengan sepenuh hati, tetapi menyerahkan hasil akhirnya kepada Sang Maha Mengetahui.
“Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS. Al-Ahzab: 3).

Dalam tafsir ruhani, para arif menyebut bahwa tawakal adalah bentuk tertinggi dari keyakinan seorang hamba. Ia tahu bahwa Allah-lah yang menggenggam segalanya: rezeki, jodoh, masa depan, bahkan kesuksesan dan kegagalan.

4. Pelajaran dari Para Nabi dan Orang Shalih
Nabi Ya’qub tidak memaksakan kehendaknya agar Yusuf tetap bersamanya.
Nabi Ibrahim tidak memaksa agar Ismail tidak disembelih.
Nabi Musa tidak memaksa laut terbuka lebih cepat.
Semua berjalan dalam bingkai keimanan bahwa Allah Maha Mengatur.
Bahkan Rasulullah Saw. sendiri bersabda:
"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki: pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang."
(HR. Tirmidzi).

Apa yang dilakukan burung? Ia tetap terbang dan berusaha, tetapi tidak pernah resah akan hasilnya. Inilah pelajaran agung dari makhluk kecil bagi hati yang besar.

5. Manusia Merancang, Allah Menentukan
Merancang kehidupan adalah baik. Namun, jangan pernah mengira bahwa rencana kita lebih indah dari rencana Allah. Sebab Allah melihat sesuatu dari ujung waktu, sedang kita hanya dari potongan saat ini.
Betapa banyak hal yang dulu kita tangisi, ternyata justru menyelamatkan.
Betapa banyak yang dulu kita kejar mati-matian, justru Allah palingkan demi kemaslahatan.
Maka tugas kita adalah:
• Menyusun rencana dengan tawadhu.
• Melangkah dengan doa.
• Menerima hasil dengan ridha.
Dan menyerahkan sisa perjalanannya kepada Allah yang Maha Mengetahui jalan terbaik bagi hamba-Nya.

Penutup: Ketenangan Hati Ada Pada Penyerahan
Saat kita berhenti ikut campur dalam urusan takdir, justru di situlah kita menemukan kedamaian.
Saat kita berhenti mendikte Allah, justru di situlah kita mengenal makna ikhlas sejati.
Hiduplah sebagai hamba, bukan sebagai pengatur.
Lakukan apa yang bisa kau lakukan, dan percayakan sisanya kepada Sang Pengatur Kehidupan.
“Istirahatkan hatimu dari keinginan mengatur. Karena apa yang Allah atur untukmu, lebih sempurna dari apa yang engkau bayangkan.”
(Ibnu Athaillah as-Sakandari).

Semoga tulisan ini menjadi lentera bagi jiwa yang gelisah dan mengantar kita pada ridha Allah Ta’ala.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si. 
Penulis buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update