“Ada sebagian masyarakat yang kurang
tepat memahami hubungan jihad dan khilafah, dalam konteks solusi untuk
persoalan Palestina,” rilisnya kepada TintaSiyas.ID, Ahad (22/06/2025).
Menurut Kiai Shiddiq, mereka
berasumsi bahwa untuk menyelesaikan penjajahan di Palestina, khilafah harus
tegak terlebih dahulu, kemudian khilafah itulah yang akan melangsungkan jihad
fi sabilillah guna mengakhiri keberadaan entitas Yahudi Zionis yang kafir yang
telah menjajah Palestina sejak tahun 1948. “Benarkah pemahaman seperti ini?,”
ujarnya mengawali penjelasan.
Pendahuluan
“Sebagian umat Islam yang sudah mulai
paham akan agamanya, telah menyambut dan setuju solusi “jihad dan khilafah“
untuk masalah Palestina. Jihad dalam Islam telah dipahami artinya, yaitu perang
(al-qitāl), bukan perjuangan (struggle, al-kifāh) seperti yang
disebarkan oleh sebagian orientalis yang kafir, untuk menyesatkan dan membodohi
kaum Muslim,” tuturnya.
Sedang khilafah, jelasnya, juga telah
dimengerti maksudnya, yaitu negara Islam, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah saw. di Madinah saat itu dan dilanjutkan oleh khulafaurasyidin setelah
wafatnya Rasulullah saw. (632 M).
Koreksi Pemahaman: Jihad Tetap Wajib walau
Tak Ada Khalifah
“Pemahaman seperti yang diuraikan di
atas tidak tepat, yakni bahwa solusi masalah Palestina adalah tegaknya khilafah
lebih dulu, kemudian khilafah itulah yang akan melaksanakan jihad untuk
menghapuskan entitas Yahudi Zionis yang kafir yang telah menjajah Palestina
sejak tahun 1948,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pemahaman yang benar
adalah jihad itu wajib dilaksanakan saat ini, tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah.
“Hal ini karena kewajiban jihad dalam Islam merupakan kewajiban yang mutlak dan
tanpa syarat, artinya, baik khilafah ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib
dilaksanakan tanpa disyaratkan harus dipimpin oleh khalifah (Imam) sebagai
pemimpin tertinggi dalam negara khilafah,” bebernya.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977
M), rahimahullah, telah menjelaskan hubungan jihad dan khilafah itu dengan
sangat baik, di dalam kitabnya Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah Juz II
sebagai berikut :
الْجِهَادُ فَرْضٌ مُطْلَقٌ، وَلَيْسَ مُقَيَّدًا بِشَيْءٍ، وَلَا
مَشْرُوطًا بِشَيْءٍ، فَالْآيَةُ فِيهِ مُطْلَقَةٌ: ﴿ كُتِبَ عَلَيْكُمْ
الْقِيَالُ﴾. فَوُجُودُ الْخَلِيفَةِ لَا دَخْلَ لَهُ فِي فَرْضِ الْجِهَادِ، بَلْ
الْجِهَادُ فَرْضٌ سَوَاءٌ هُنَاكَ خَلِيفَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ أَمْ لَمْ يَكُنْ.
“Jihad itu kefarduan (kewajiban) yang
bersifat mutlak, tidak terikat (muqayyad) dengan sesuatu, begitu juga
tidak disyaratkan dengan sesuatu, jadi ayat mengenai jihad itu bersifat mutlak:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
Diwajibkan atas kamu berperang. (QS
Al-Baqarah: 216).
“Jadi keberadaan khalifah tidak masuk
ke dalam kewajiban jihad, bahkan jihad itu hukumnya fardu baik ada khalifah
bagi kaum Muslim maupun tidak ada khalifah,” sebutnya yang menyitat pendapat Imam
Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz
II, hlm. 152.
“Jelaslah bahwa jihad itu fardu
(wajib) hukumnya, baik ketika khalifah ada maupun ketika khalifah tidak ada,”
tandasnya.
Ia menyatakan, pemahaman bahwa jihad
untuk melawan Zionis Yahudi harus menunggu tegaknya khilafah lebih dulu, agar khalifah
(imam) sebagai pemimpin khilafah itu dapat memimpin jihad, adalah pemahaman
yang tidak benar.
Lanjut dikatakan, Syekh Dr. Muhammad
Khair Haikal, dalam kitabnya Al-Jihād wa al-Qitāl fī As-Siyāsah
al-Syar’iyyah, juga menegaskan hal yang sama dengan penjelasan Imam
Taqiyuddin An-Nabhani tersebut di atas. Syekh Dr. Muhammad Khair Haikal
menyatakan:
لَيْسَ وُجُودُ الْإِمَامِ شَرْطًا لِلْقِيَامِ بِفَرْضِ الْقِتَالِ
لِلْأَعْدَاءِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ آيَاتِ الْقُرْآنِ فِي شَأْنِ الْقِتَالِ جَاءَتْ
مُطْلَقَةً غَيْرَ مُقَيَّدَةٍ بِمِثْلِ هَذَا الشَّرْطِ، كَمَا فِي قَوْله
تَعَالَى: ﴿ كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْقِتَالُ﴾، وقَوْله تَعَالَى: ﴿ وَقَاتِلُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ ﴾.
“Keberadaan imam (khalifah) bukanlah
syarat untuk melaksanakan kewajiban berperang melawan musuh-musuh (kafir),
karena ayat-ayat Al-Qur`an dalam urusan perang telah datang dalam bentuk mutlak
yang tidak diikat dengan syarat seperti ini (wajib ada imam/khalifah).”
Ini sebagaimana firman Allah Ta’la:
﴿ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ ﴾
Diwajibkan atas kamu berperang. (QS
Al-Baqarah: 216).
Dan juga sebagaimana firman Allah Taala:
﴿ وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَكُمْ ﴾
Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu. (QS Al-Baqarah: 190). (Muhammad
Khair Haikal, Al-Jihād wa al-Qitāl fī As-Siyāsah al-Syar’iyyah, Juz I,
hlm. 250).
Syekh Dr. Hakim Al-Muthairi, ujarnya,
seorang ulama kontemporer ahli fikih siyāsah, pernah ditanya dengan
sebuah pertanyaan,”Benarkah pendapat bahwa jihad tidak disyariatkan jika tidak
ada Imam (khalifah), dan setiap perang tanpa adanya imam (khalifah) hanyalah
perang fitnah dan orang yang mati tidak dianggap mati syahid?” Beliau menjawab
sebagai berikut :
أَنَّ النُّصُوصَ الْقُرْآنِيَّةَ وَالْأَحَادِيثَ النَّبَوِيَّةَ الَّتِي
تَأْمُرُ بِالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَيْسَ فِيهَا اشْتِرَاطُ شَيْءٍ مِنْ
ذَلِكَ ، بَلْ هِيَ عَامَّةٌ مُطْلَقَةٌ وَالْخِطَابُ فِيهَا لِعُمُومِ أَهْلِ
الْإِيمَانِ وَالْإِسْلَامِ ؛ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَقَاتِلُواْ فِي
سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ﴾ وقوله: ﴿إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ﴾ و كَمَا فِي قَوْلِهِ ﷺ:
(جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ)
“Sesungguhnya nas-nas Al-Qur`an dan hadis-hadis
Nabi saw. yang memerintahkan jihad di jalan Allah, tidak ada pensyaratan
seperti itu (wajib adanya imam/khalifah), bahkan ayat-ayat atau hadis-hadis
yang memerintah perang itu bersifat umum dan mutlak, dan khithāb
(seruan) yang ada dalam nas-nas tersebut bermakna umum bagi setiap orang yang
beriman dan beragama Islam, sebagaimana firman Allah Taala:
﴿ وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَكُمْ ﴾
Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu. (QS Al-Baqarah : 190).
Juga sebagaimana firman Allah Taala:
﴿ إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ ﴾
Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh." (QS
At-Taubah: 111).
Juga sebagaimana dalam sabda
Rasulullah saw.:
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
Perangilah orang-orang musyrik dengan
harta-hartamu, diri-dirimu, dan lisan-lisanmu. (HR Abu Dawud, no.2504;
Ahmad, no. 12.268; dan Al-Nasa`i, no. 3096). (Hākim Al-Muthairī, Buthlān
(I)sythirāt al-Imām wa al-Rāyah fī Masyrū’iyyati al-Jihād fī Sabīlillāh,
www. http://www.dr-hakem.com, artikel ditulis tahun 2004).
Selanjutnya Syekh Dr. Hakim
Al-Muthairī mengutip pendapat Imam Ibnu Qudamah dari kitabnya Al-Mughnī
dalam masalah ini sebagai berikut:
فَإِنْ عُدِمَ الْإِمَامُ لَمْ يُؤَخَّرِ الْجِهَادُ؛ لِأَنَّ مَصْلَحَتَهُ
تَفُوْتُ بِتَأْخِيْرِهِ وَإِنْ حَصَلَتْ غَنِيمَةٌ قَسَمَهَا أَهْلُهَا عَلَى
مُوجِبِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ
“Jika imam (khalifah) tidak ada, maka
jihad tidak boleh ditunda, karena kemaslahatan jihad akan lenyap dengan
penundaan jihad itu, dan jika diperoleh ganimah (harta rampasan perang), maka
orang yang berjihad itu membagikannya sesuai ketentuan yang diwajibkan oleh
hukum-hukum syara’.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Juz X, hlm. 375).
“Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa jihad merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, yakni tidak
mensyaratkan keberadaan atau eksistensi imam (khalifah) sebagai pemimpin negara
Khilafah. Hukum ini berlaku umum baik jihad yang dilancarkan itu berupa jihād
hujūmī (jihad ofensif), yakni jihad yang diinisiasi atau dimulai oleh umat
Islam maupun jihād difā’ī (jihad defensif), yakni jihad yang sifatnya
bertahan dari serangan kaum kafir,” tutur Kiai Shiddiq yang menukil pandangan Muhammad
Khair Haikal di dalam kitab Al-Jihād wa al-Qitāl fī As-Siyāsah al-Syar’iyyah,
Juz I, hlm. 250-251.
Pemahaman bahwa jihad itu tidak
mensyaratkan keberadaan Khalifah, berdasarkan nas-nas syariah dari Al-Qur`an
dan As-Sunah yang mewajibkan jihad yang bersifat mutlak, yakni tanpa mengaitkan
jihad itu dengan syarat tertentu berupa keharusan adanya imam (khalifah). Hal tersebut
sesuai kaidah ushul fikih yang berbunyi:
الْمَطْلَقُ يَجْرِي عَلَى إِطْلَاقِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيلُ
التَّقْيِيدِ نَصًّا أَوْ دَلَالَةً
“Lafaz yang mutlak tetap dalam
kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang menjadi taqyīd-nya
(syarat/batasannya), baik taqyid berupa nas maupun berupa dalalah.” (Mushthofa
Al-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī Al-Madzāhib
Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 378).
“Inilah pendapat yang haq
(benar) yang wajib menjadi pegangan setiap Muslim, khususnya para pengemban
dakwah yang berjuang untuk menegakkan Islam secara kaffah (menyeluruh). Jangan
sampai pemahaman mereka bengkok, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja,
yang akhirnya dapat membengkokkan metode (tharīqah) dakwah yang kita
tempuh,” bebernya.
Jika Khalifah Ada: Urusan Jihad Akan
Diatur Olehnya
“Hanya saja, meski benar bahwa
keberadaan khalifah bukan syarat untuk melaksanakan jihad, namun ketika suatu
saat nanti khilafah tegak kembali, in syā`a Allah dalam waktu dekat ini,
maka khalifah (imam) sebagai pemimpin tertinggi dalam negara khilafah, berhak
untuk melakukan pengaturan (tadbīr/tanzhīm) dalam urusan jihad
yang dilakukan oleh umat Islam ini. Umat Islam dalam kondisi demikian wajib menaati
khalifah (Imam) tersebut ketika khalifah mengatur dan mengoordinasikan jihad,
agar jihad yang dilaksanakan menjadi tertib dan teratur, sehingga tidak terjadi
benturan atau tumpang tindih (over lapping) di lapangan ketika jihad ini
dilaksanakan oleh umat Islam,” ulasnya berdasar pendapat Imam Taqiyuddin
An-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm.
152.
Imam Ibnu Qudamah, rahimahullah,
telah mengatakan:
...وَأَمْرُالْجِهَادِ مَوْكُوْلٌ إِلىَ اْلإِماَمِ,
وَاجْتِهَادِهِ، وَيَلْزَمُ الرَّعِيَّةَ طَاعَتُهُ
“Dan urusan jihad itu, diwakilkan
kepada imam (khalifah) berdasarkan ijtihadnya, dan rakyat wajib menaati imam
itu.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Juz X, hlm. 373).
Wajibnya umat Islam menaati khalifah
dalam urusan jihad tersebut, didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah Swt.:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ
وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (para pemegang
kekuasaan) di antara kamu. (QS An-Nisā` ; 59).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
فَالإِمَامُ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (khalifah) adalah
(bagaikan) penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya
(termasuk urusan jihad).” (HR Al-Bukhari, 2409; Muslim, no. 1829).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيرٍ بَرًّا كَانَ أَوْ
فَاجِرًا
Jihad itu wajib atas kamu, bersama
setiap-tiap pemimpin, baik dia pemimpin yang baik (saleh) maupun pemimpin yang fajir
(fasik).” (HR Abu Dawud, no. 2533: Al-Dāraquthni, no. 1764).
Kesimpulan
Kiai Shiddiq menyimpukan, “Solusi “jihad
dan khilafah” untuk masalah Palestina harus dipahami dengan benar, jangan
sampai umat Islam memahaminya secara keliru, misalnya terkait dengan definisi
“jihad”, definisi “khilafah”, khususnya mengenai hukum jihadnya itu sendiri
ketika dikaitkan dengan khilafah.”
“Jadi jihad itu wajib dilaksanakan
sekarang oleh umat Islam saat ini, sekarang, untuk menghapuskan penjajahan atas
Palestina yang diakukan oleh Yahudi yang kafir, walaupun saat ini kaum Muslim
tak punya khalifah lagi sejak runtuhnya negara khilafah pada tahun 1924 di
Turki,” tandasnya.
Maka, sebut Kiai Shiddiq, tidaklah
benar pemahaman bahwa jihad menunggu tegaknya khilafah lebih dulu, atau jihad
mensyaratkan keberadaan khalifah.
“Sungguh ini pemahaman yang tidak
benar. Yang benar adalah, jihad itu wajib hukumnya, baik ketika khalifah ada
maupun ketika khalifah tidak ada seperti kondisi saat ini,” tegasnya.
Hanya saja, lanjutnya, jika suatu
ketika khilafah berdiri kembali, dengan seizin Allah, sesuai janji Allah dan
kabar gembira dari Rasulullah, maka khalifah itulah nantinya yang akan mengatur
segala urusan jihad, dan umat Islam wajib hukumnya menaati khalifah dalam
urusan jihad ini.
“Dengan tegaknya khilafah, maka jihad
yang dilakukan umat Islam khususnya jihad untuk menghapuskan penjajahan atas
Palestina yang dilakukan oleh Yahudi Zionis sejak tahun 1948, akan dapat
ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, sampai pada level yang layak untuk
melawan bahkan untuk menghancurkan entitas Yahudi Zionis yang kafir itu,”
bebernya.
Ia kemudian menukil firman Allah Swt.:
telah berfirman :
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلْهُدَىٰ وَدِينِ ٱلْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْمُشْرِكُونَ
“Dialah (Allah) yang telah mengutus
Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Islam) agar Dia
memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membencinya. Wallāhu
a’lam,” pungkasnya dengan menyitir firman Allah di dalam Al-Qur’an surah
Ash-Shaff ayat 9.[] Rere